17 Februari 2010


Dulu Kita Tiada (Bonus tulisan pertama dalam buku Journey of Life)

Catatan Rahman Hanifan: Dulu Kita Tiada (Bonus tulisan pertama dalam buku Journey of Life)
Min pukul 2:26

Hari ini, ketika kau runtut kalimat-kalimat dalam buku ini, sudah berapa tahunkah usiamu? Tujuh belas, dua puluh, dua lima, tiga pulu, atau empat puluh? Yang pasti karena kau telah lihai membaca, kau bukan lagi siswa Taman Kanak-kanak.
Coba kau ingat kembali, waktu itu kau begitu senang diantar ibu atau barangkali ayah tercinta menuju sekolah. Sungguh hari yang teramat membahagiakan, karena untuk pertama kalinya kau berangkat sekolah, seperti anak-anak lain yang lebih dewasa dan lebih dahulu sekolah. Kau pun menenteng tas ransel kecil yang dibelikan ayahmu dengan penuh bangga.


Atau barangkali sebaliknya. Hari itu justru kau merasa begitu sebal, benci. Begitu enggan kau menuju TK. Bukan sehari, tapi selama di TK kau selalu minta diantar ibumu. Terkadang kau pun masih sering merengek kepada ibumu ”Ma... pulang ma...” Iya, karena kau belum pengen sekolah. Mending pulang, lalu main sebebas-bebasnya. Mandi di kali, menembaki burung-burung di tegalan pakai ketapel, atau mencari jangkrik di sawah.


Pernahkah kau merasa, bahwa hari-hari itu seakan baru saja berlalu? Baru beberapa saat lalu kau mendapatkan ijazah untuk pertama kalinya; Ijazah Taman Kanak-kanak. Lalu untuk pertama kalinya kau jejakkan kakimu di lantai Sekolah Dasar. Rentang waktu enam tahun kau jalani, hari-haripun berlalu begitu cepat, hingga ijazah kedua telah kau peroleh pula. Bagaimana nilainya?


Di SMP daya nalarmu semakin dewasa. Engkau pun mulai lebih akrab dengan sahabatmu-sahabatmu daripada orang tua sendiri. Kau isi hari-harimu dengan keriangan remaja. Apa lagi bila cinta mulai menyapa. Indah dan bahagia. Itu bagi yang telah menemukan teman kencannya. Bagi yang tak berani mengungkap rasa; mulut tercekat ketika hendak bilang cinta, sudah menulis surat panjang, tapi tak beri memberikan pada si dia, ya merana. Lah, itu cinta monyet.


Sebentar kemudian, kau telah menduduki bangku SMA. Di sana, makin banyak pula cerita. Mulai dari stres karena lupa ada PR Matematika, hati bergetar ketika si dia sang pujaan hati tersenyum dan menyapa, surprais karena bisa jadi juara, gelagepan saat ketahuan nyontek pas ujian tiba, sampai muka bonyok dan membiru karena ikut tawur usai regu basket kamu menang bertanding dengan SMA lain.


Banyak lagi peristiwa. Ada bahagia, ada duka. Ada benci, ada cinta. Ada yang lucu ada pula yang bikin malu. Ada pengalaman baik ada pengalaman buruk. Namun sekali lagi, semua itu terasa begitu cepat berlalu. Kini hanya tinggal rindu di saat sepi malam mengajak untuk memutar kenangan.


Tiba-tiba saja kau telah lulus kuliah. Tiba-tiba saja kau telah bekerja. Tiba-tiba saja kau selalu jauh dari orang tua. Bahkan, tiba-tiba saja kau telah berkeluarga dan menimang anak. Ya, semua terasa begitu tiba-tiba. Kini hari-harimu begitu berbeda. Pedih bukan terasa ketika tak mendapat uang jajan dari sang bunda, melainkan karena sulitnya mencarikan uang jajan buat anak pertama. Bahagian bukan lagi ketika mendapatkan layang-layang putus, melainkan ketika si bos telah mengambil keputusan; kau naik jabatan.


Sekali lagi, kadang semua itu terasa baru beberapa saat berlalu. Rasanya baru kamarin duduk di bangku TK, baru sesaat lalu kau SMP, dan baru sekedip mata kau menapakkan kaki di SMA.

Namun semua itu kini telah berlalu. Waktu bergulir begitu cepat. Kau sama sekali bukan anak TK itu. Tubuhmu telah mengembang, suaramu berubah lebih besar, jerawat telah muncul dan pergi, uban pun terkadang muncul di sela-sela hitam rambutmu. Dan yang lebih penting, kau telah memiliki jauh lebih banyak pemahaman. Kau kini telah mengerti akan tugas, kewajiban, tanggung jawab, serta hak diri dalam menjalani hidup sebagai manusia.


Berapa jawabanmu dari pertanyaanku tadi, selama itulah engkau telah hidup di dunia ini. Anggap saja saat ini kau berusia 25 tahun. Itu berarti kira-kira kau telah hidup selama 300 bulan atau 9.000 hari. Sama artinya kau telah hidup selama 216.000 jam. Sudah lama bukan?


Ya, bila tadi kita merasa segalanya berjalan begitu cepat, kadang justru berlaku sebaliknya. Betapa telah lama kita hidup di dunia ini. Betapa jauh perjalanan telah ditempuh. Betapa banyak peristiwa telah dilewati. Banyak orang telah kita kenal dan kita lupakan lagi. Banyak pengalaman telah membuat kita tertawa dan menangis. Banyak sudah suka dan duka mengisi hari-hari. Banyak warna telah kita goreskan dalam perjalanan hidup ini, menjadi lukisan-lukisan yang indah untuk dikenang.


Kenanglah ketika hatimu telah dibelai cinta. Betapa banyak waktu kau habiskan sia-sia untuk menurutkan rasa. Ketika angin cinta itu telah mendesak-desak rasa, kau pun tak kuasa. Kau mabuk!

Karena mabuk, hal-hal tak biasa pun kau lakukan. 2 jam habis untuk malamunkan si dia. Tujuh lembar HVS tak cukup untuk menuliskan surat cinta. Lalu begitu mudah kau menuang rasa dalam puisi-puisi cinta. Dan berapa banyak kau telah berbuat dosa karena cinta. Astaghfirullah. Mudah-mudahan kau tidak termasuk diantara yang terjerat cinta (semu). Maafkan kalau penulis telah menaruh prasangka.
Ucaplah syukur pada yang kuasa, bila saat remaja kau tak terjebak cinta. Karena banyak diantara kita yang telah terpenjara oleh cinta semu itu begitu lama. Malah ada pula yang telah menikah dan beranak pinak, namun cinta untuk dia yang pertama masih berhembus, lirih... Astaghfirullah, jahilnya...


Waktu terus bergulir dan kadang terasa begitu lama. Dalam setahun saja telah berlaku banyak peristiwa. Setahun ini barangkali kau telah memiliki pekerjaan baru, aktivitas baru, kendaraan baru, bahkan orang tua baru, alias punya mertua.

Alhamdulillah...
Memang, kalau dihitung-hitung kita telah hidup begitu lama. Coba kita kembali berhitung. Bila usia kita saat ini 25 tahun, dalam hitungan jam tadi berarti 216.00 jam. Dalam hitungan detik akan menjadi berapa? Coba kita kalikan; 216.000 X 60 X 60 detik = 770.600.000 detik. Itu bila kita hitung rata-rata 1 bulan sama dengan 30 bulan, setahun sama dengan 360 hari. Bila satu tahun kita hitung 365 hari, berarti usia kita kira-kira 365 x 24 x 60 x 60 detik = 819.936.000 detik. Wah, andai saja kita bisa terbang dengan kecepatan cahaya, sudah berapa galaksi kita lewati ya? Kabarnya satu detik kecepatan cahaya akan mencapai jarak 299.792, 46 km.


Begitulah relativitas. Meskipun buku Relativitasnya Einstein belum sempat mampir di tangan, kita dapat mengerti bahwa waktu memang relatif. Kadang terasa begitu lama; satu jam bagai setahun. Tapi terkadang sebaliknya, begitu cepat berlalu; setahun bagaikan satu jam. Seperti seorang narapidana yang menunggu hari pembebasannya.

Pasti ia rasakan hari-hari dan bulan yang berputar begitu lama. Namun, alangkah beda apa yang dirasa seorang narapidana yang telah diputuskan akan dieksekusi tembak mati bulan depan. Harinya barangkali terasa begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia bunuh orang, ee.. besok pagi dia sendiri yang harus mati.


Oh ya, berapa usiamu tadi?
Berapapun jawabannya, itu berarti semakin mendekati saat kematian. Ya, kita semua sama, dari hari ke hari kita semakin dekat saja dengan waktu untuk mati. Mati, seperti narapidana yang dieksekusi tadi. Usia ideal untuk mati saat ini memang 60 s/d 80 th. Tapi dalam hal mati, kita tidak bisa bersikap idealis, karena bukan kita yang menentukan waktunya. Barangkali sudah saatnya 5 tahun, 2 tahun, 7 bulan, satu minggu lagi atau bahkan esok pagi, giliran kita yang akan mati.


Ya Tuhan...,
Barangkali memang sudah saatnya.
Siap tidak siap, kita harus siap. Kita harus siap jika esok pagi malaikat maut datang berkunjung. Dicabutnya nyawa kita, lalu mati. Mati dan tiada.
Nyatanya…, dulu kita juga tiada.


Kalau direnungkan, semua serba aneh. Kok bisa kita ada di dunia ini? Kalau kita tidak ada kita, adakah dunia tetap seperti ini? Lalu ibu kita akan melahirkan siapa? Boleh kau merenungkannya.


Lalu renungan seperti itu dapat diperluas. Kalau saja alam semesta ini tak pernah dicipta, lalu ada apa? Ada ruang kosong kah? Tidak, karena ruangan biar pun kosong juga tetap dicipta. Atau, ada gulita, seperti saat kita memejamkan mata? Tidak, karena kegelapan juga dicipta. Lantas ada apa? Ya tidak ada apa-apa! Coba kawanku, bayangkan bagaimana keadaan tidak ada apa-apa itu. Tidak ketemu bukan?


Ya Tuhanku, tiadalah Engkau menciptakan semua ini sia-sia.
Nyatanya, alam semesta yang terdiri dari bermilyar-milyar galaksi ini dulu tidak ada. Kita, manusia-manusia kecil ini apa lagi. Dulu kita tak pernah ada sebelum dicipta.

2 komentar:

Komentar Anda