Kisah Kematian:
By
Puput Happy
Menjelang
‘Isya, beberapa menit setelah kurebahkan tubuhku yang penat ke ranjang tuaku.
Kupandangi ponsel tuaku yang beberapa kali ku-servis karena sudah berulang kali
mati suri. Hufft! Pesan masuk telah menumpuk
di layar ponselku. Segera kubuka satu persatu. Sejenak, aku sempat tertegun
dengan pesan pertama masuk:
“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun ….
Mbak, akhirnya istriku dipanggil Allah, tadi sore jam 3. Mohon doanya, agar
diampuni segala dosa-dosanya dan bahagia di sisi-Nya. Amin ….”
Aku
hampir tidak percaya dengan apa yang kubaca. SMS tersebut dari suami mantan binaanku,
Mbak Mardiana. Tenggorokanku langsung tercekat, hanya ucapan istighfar yang
berulang kali kubisikkan pelan. Segera kuambil ponselku, dan kutelpon suami
Mbak Mardiana. Aku menanyakan sekali lagi, dan dia hanya bisa menjawab sambil
sesunggukkan,
“Iya
Mbak, istriku meninggal karena sakit …. “
Belum
sempat kutanyakan kembali, ponselnya langsung dimatikan. Tiba-tiba saja dadaku
sesak, mataku langsung berkaca-kaca dan tak mampu kubendung lagi. Airmataku pun
langsung mengucur deras. Ucapan istighfar seolah enggan berhenti dari lidahku.
“Ya
Allah, ampuni hamba ….. Hamba belum sempat meminta maaf ….” ucapku tanpa henti.
Betapa
rasa penyesalanku makin menggunung, mengguncang hebat di setiap detak
jantungku.
“Mbak
Mar, maafkan aku …. “
***
Masih
kuingat, dua hari sebelum Mbak Mardiana meninggal, suaminya menelponku. Dia
meminta alamat stokis minyak but-but untuk mengobati sakit istrinya. Aku hanya
memberi alamatnya dan menanyakan apa sakitnya. Dia cuma bilang,
“Biasa Mbak ….. “
Aku
tahunya cuma sakit biasa, dan akhirnya aku pun hanya menitip salam untuk Mbak
Mar. Aku baru tahu, kalau ternyata Mbak Mar telah mengidap kanker payudara
cukup lama, tapi Mbak Mar tidak pernah menceritakan pada siapapun. Aku baru
tahu dari suaminya, itu pun diberitahu setelah Mbak Mar sudah meninggal.
Sepanjang
aku menyaksikan jenazah Mbak Mar yang hendak dikebumikan, isak tangisku tak
kunjung berhenti. Bukannya aku tak rela dengan kepergiannya, tapi rasa
bersalahku pada Mbak Mar yang belum sempat menjenguknya, apalagi memenuhi
permintaan terakhirnya.
Aku
masih ingat, pertemuan terakhirku dengan Mbak Mar. Saat itu dia sempat memohon
dengan amat sangat kepadaku untuk membinanya kembali dalam halaqah yang pernah kupimpin. Mbak Mar sudah vakum dari halaqah cukup lama, hampir dua tahun.
Entahlah, kefuturanku membuatku
enggan membina kembali Mbak Mar dan kawan-kawan. Bagiku itu suatu beban yang
tak sanggup kuemban saat ini. Berulang kali kukatakan, agar bergabung saja
dengan kelompok lain, bahkan telah kulimpahkan kepada orang lain yang lebih
kompeten dalam dunia dakwah. Tapi Mbak Mar tetap bersikeras hanya mau dibina
olehku. Aku hanya berucap untuk terakhir kalinya,
“Maaf
Mbak, aku nggak bisa …. “
Airmataku
berlinang, namun tak jua mampu kupenuhi permintaannya. Sungguh, bukannya aku
tidak peduli lagi dengan agama Allah, tapi aku masih belum siap untuk
memulainya kembali. Sakit di hatiku masih belum mampu kuobati dengan jalan dakwahku.
“Aku
lemah, Mbak Mar …. “ bisik hatiku. Aku
tidak ingin semua orang tahu akan kelemahanku, termasuk kau, Mbak Mar ….
Tolong, maafkan aku …. Mengertilah, Mbak Mar ….
Tapi
Mbak Mar tak akan pernah mengerti, karena hingga ajal menjemputnya pun, kata-kata
itu tak pernah kusampaikan pada hatinya. Biarlah orang lain menilaiku futur, hancur, atau entah apa lagi. Aku
hanya ingin diam, tak perlu kata-kata untuk memohon pembenaran dari orang lain
atas keputusanku.
Kutatap
jenazah Mbak Mar di peraduan. Airmata ini semakin mengucur deras bak air hujan.
Orang-orang di sekelilingku memandangku tak mengerti. Kenapa seorang muslimah
menangisi kepergian sahabatnya begitu rupa, seolah tak meridhai akan
keputusan-Nya. Kalian tak perlu tahu, ada apa dengan tangisku, karena
penyesalanku tak sanggup kuungkap dengan kata-kata, bahwa aku telah begitu
kukuh menolak permohonan seseorang yang kini telah menghadap-Nya. Semoga kau
mengerti, Mbak Mar …. Tuhan, sampaikan kata maafku padanya sekali ….. saja,
agar jiwaku tak lagi goncang oleh rasa bersalahku.
Mbak
Mar, damailah kau bersama-Nya selamanya. Andai kau masih kecewa denganku,
tolong hapus rasa itu. Aku tak sanggup mengemban rasa bersalah bertubi-tubi
dalam dadaku. Sungguh, aku tak sanggup ….. Andai kau masih bisa mendengarku,
tolong katakan, bahwa kau telah memaafkanku …. Terimakasih, Mbak Mar ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda