25 Oktober 2011

MAAFKAN AKU, MBAK MAR …..


Kisah Kematian:

                                                                                               By Puput Happy

Menjelang ‘Isya, beberapa menit setelah kurebahkan tubuhku yang penat ke ranjang tuaku. Kupandangi ponsel tuaku yang beberapa kali ku-servis karena sudah berulang kali mati suri. Hufft! Pesan masuk telah menumpuk di layar ponselku. Segera kubuka satu persatu. Sejenak, aku sempat tertegun dengan pesan pertama masuk:
Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun …. Mbak, akhirnya istriku dipanggil Allah, tadi sore jam 3. Mohon doanya, agar diampuni segala dosa-dosanya dan bahagia di sisi-Nya. Amin ….”
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kubaca. SMS tersebut dari suami mantan binaanku, Mbak Mardiana. Tenggorokanku langsung tercekat, hanya ucapan istighfar yang berulang kali kubisikkan pelan. Segera kuambil ponselku, dan kutelpon suami Mbak Mardiana. Aku menanyakan sekali lagi, dan dia hanya bisa menjawab sambil sesunggukkan,
“Iya Mbak, istriku meninggal karena sakit …. “
Belum sempat kutanyakan kembali, ponselnya langsung dimatikan. Tiba-tiba saja dadaku sesak, mataku langsung berkaca-kaca dan tak mampu kubendung lagi. Airmataku pun langsung mengucur deras. Ucapan istighfar seolah enggan berhenti dari lidahku.
“Ya Allah, ampuni hamba ….. Hamba belum sempat meminta maaf ….” ucapku tanpa henti.
Betapa rasa penyesalanku makin menggunung, mengguncang hebat di setiap detak jantungku.
“Mbak Mar, maafkan aku …. “
***
Masih kuingat, dua hari sebelum Mbak Mardiana meninggal, suaminya menelponku. Dia meminta alamat stokis minyak but-but untuk mengobati sakit istrinya. Aku hanya memberi alamatnya dan menanyakan apa sakitnya. Dia cuma bilang,
 “Biasa Mbak ….. “
Aku tahunya cuma sakit biasa, dan akhirnya aku pun hanya menitip salam untuk Mbak Mar. Aku baru tahu, kalau ternyata Mbak Mar telah mengidap kanker payudara cukup lama, tapi Mbak Mar tidak pernah menceritakan pada siapapun. Aku baru tahu dari suaminya, itu pun diberitahu setelah Mbak Mar sudah meninggal.
Sepanjang aku menyaksikan jenazah Mbak Mar yang hendak dikebumikan, isak tangisku tak kunjung berhenti. Bukannya aku tak rela dengan kepergiannya, tapi rasa bersalahku pada Mbak Mar yang belum sempat menjenguknya, apalagi memenuhi permintaan terakhirnya.
Aku masih ingat, pertemuan terakhirku dengan Mbak Mar. Saat itu dia sempat memohon dengan amat sangat kepadaku untuk membinanya kembali dalam halaqah yang pernah kupimpin. Mbak Mar sudah vakum dari halaqah cukup lama, hampir dua tahun. Entahlah, kefuturanku membuatku enggan membina kembali Mbak Mar dan kawan-kawan. Bagiku itu suatu beban yang tak sanggup kuemban saat ini. Berulang kali kukatakan, agar bergabung saja dengan kelompok lain, bahkan telah kulimpahkan kepada orang lain yang lebih kompeten dalam dunia dakwah. Tapi Mbak Mar tetap bersikeras hanya mau dibina olehku. Aku hanya berucap untuk terakhir kalinya,
“Maaf Mbak, aku nggak bisa …. “
Airmataku berlinang, namun tak jua mampu kupenuhi permintaannya. Sungguh, bukannya aku tidak peduli lagi dengan agama Allah, tapi aku masih belum siap untuk memulainya kembali. Sakit di hatiku masih belum mampu kuobati dengan jalan dakwahku.
“Aku lemah, Mbak Mar …. “ bisik hatiku. Aku tidak ingin semua orang tahu akan kelemahanku, termasuk kau, Mbak Mar …. Tolong, maafkan aku …. Mengertilah, Mbak Mar ….
Tapi Mbak Mar tak akan pernah mengerti, karena hingga ajal menjemputnya pun, kata-kata itu tak pernah kusampaikan pada hatinya. Biarlah orang lain menilaiku futur, hancur, atau entah apa lagi. Aku hanya ingin diam, tak perlu kata-kata untuk memohon pembenaran dari orang lain atas keputusanku.
Kutatap jenazah Mbak Mar di peraduan. Airmata ini semakin mengucur deras bak air hujan. Orang-orang di sekelilingku memandangku tak mengerti. Kenapa seorang muslimah menangisi kepergian sahabatnya begitu rupa, seolah tak meridhai akan keputusan-Nya. Kalian tak perlu tahu, ada apa dengan tangisku, karena penyesalanku tak sanggup kuungkap dengan kata-kata, bahwa aku telah begitu kukuh menolak permohonan seseorang yang kini telah menghadap-Nya. Semoga kau mengerti, Mbak Mar …. Tuhan, sampaikan kata maafku padanya sekali ….. saja, agar jiwaku tak lagi goncang oleh rasa bersalahku.
Mbak Mar, damailah kau bersama-Nya selamanya. Andai kau masih kecewa denganku, tolong hapus rasa itu. Aku tak sanggup mengemban rasa bersalah bertubi-tubi dalam dadaku. Sungguh, aku tak sanggup ….. Andai kau masih bisa mendengarku, tolong katakan, bahwa kau telah memaafkanku …. Terimakasih, Mbak Mar ….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda