25 Oktober 2011

TERKUBUR

Cerpenku:

Pedih hati Ratna melihat kepulangan suaminya yang selalu menggandeng seorang wanita. Aneh rasanya jika ia harus menyambut suaminya dengan senyum merekah, menunduk-nunduk hormat, apalagi menyambutnya dengan dekapan hangat bila di sampingnya ada perempuan lain. Hanya orang sinting saja yang mungkin bisa melakukan hal itu. Hati wanita mana yang tahan menyaksikan adegan memalukan dari kekasihnya, apalagi suaminya sendiri! Batas kesabarannya jebol sudah. Oh Tuhan …. Seperti inikah suamiku? Nanar hati Ratna penuh tanya. Entah kali keberapa ia membawa wanita lain yang sama; menantang dan malam-malam mereka habiskan di pembaringan penuh peluh pun aroma tajam kepuasan. Aku bisa menghitung dalam ingatan; kemarin wanita berambut panjang dengan gincu menyala, kali ini wanita yang sarat hasrat mata binatang haus dekapan. Sebab aku menghitung kerutan pada badan, lelakiku lambat laun mencari penggantiku dalam rupa berbeda di tiap malam-malam pesakitan. Ia tak tahu, kepuasan untuknya, luka baru untukku.
“Kaubawa lagi perempuan jalang di rumah ini!!” seru Ratna kepada suaminya, penuh amarah.
Dengan nafas memburu seakan ingin dimuntahkannya kemarahannya saat itu juga. Matanya nanar dan panas hingga mengalirkan pecahan-pecahan kristal bening di matanya. Padahal tak biasanya Ratna bermarah-marah hingga mengumpat suaminya. Kini kesabarannya habis sudah, dan itu membuatnya kehilangan akal sehatnya. Melihat api kemarahan itu, wanita jalang yang dibawa suaminya pun segera kabur, lari tunggang langgang tanpa permisi layaknya ular telanjang tengah mencari mangsa. Bahh! Benar-benar wanita tak punya malu!
Plakkk!!” tamparan suaminya pun langsung mendarat di pipi Ratna. Ratna pun menjerit kesakitan. Dirabanya pipinya yang memerah dan basah.
“Perempuan tak tahu diuntung! Masih beruntung kamu bisa bernaung disini!” jawab suaminya dengan mata yang tak sedap dipandang.
Pemandangan sehari-hari yang memuakkan bagi Sentot, anak semata wayang Ratna yang kini telah tumbuh menjadi pemuda tampan. Meski sayang, Sentot hidup seperti pemuda broken home lainnya yang mengikuti kisah-kisah layaknya sinetron. Bergaul tanpa tujuan, berjalan tanpa arahan. Ia lalui penuh dengan kekecewaan-kekecewaan yang bertumpuk. Dan itu gara-gara papanya! Padahal tak seharusnya ia terpengaruh dengan cerita-cerita picisan tersebut. Bukankah menjadi pemuda tangguh itu lebih baik?
Melihat mamanya diperlakukan sewenang-wenang oleh papanya, tanpa pikir panjang lagi Sentot langsung saja menyerang papanya. Ditinjunya muka papanya penuh amarah.
“Papa yang tak tahu diuntung!! Masih bagus Mama masih mau menjadi pendamping Papa! Aku muak melihat tingkah Papa yang seperti anak kecil! Ingat Pa, Mama itu istri Papa!!” seru Sentot.
“Anak kurang ajar! Sekarang sudah jadi jagoan ya rupanya??!!” jawab papanya sambil memelintir telinga Sentot sekuatnya. Sentot pun menjerit, lalu membalasnya dengan pukulan yang membabi buta. Papa Sentot tak mau kalah. Egonya muncul hingga perkelahian mengerikan antara ayah dan anak membuat Ratna panik dan tidak tahan menyaksikannya. Ia pun segera berlari menuju rumah Randy, tetangganya yang sudah dianggap kakaknya sendiri oleh Sentot.
“Randy! Randy! Tolongin Sentot!” seru Ratna ketakutan.
Dunia tak lagi nampak keindahannya bagi Randy jika Ratna selalu mengadukan hal yang sama tentang perkelahian anaknya dan suaminya. Ia tak habis pikir, mengapa sebuah keluarga yang telah lama menjadi tetangganya itu selalu saja bermasalah, padahal papa Sentot seorang perwira Angkatan Darat. Apakah seorang militer harus menerapkan kemiliterannya dalam rumah tangganya? Menyiksa anaknya sendiri? Keluarga broken home membuat penghuninya tak lagi sehat. Papa Sentot telah menciptakan kehancurannya sendiri, sementara Sentot tumbuh menjadi pemuda yang amburadul. alcoholic, dan enggan bekerja meski dia punya banyak keahlian. Rasa kecewa yang terlalu berat terhadap papanya menjadikannya tidak bisa berpikir jernih lagi. Ia malah ikut hancur seperti papanya yang mudah naik darah. Padahal seharusnya dia menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh Ratna, sebagai obat atas perlakuan buruk suaminya, bukan malah tumbuh menjadi pemuda hancur yang tak ada bedanya dengan papanya.
Sebenarnya Ratna sudah tidak tahan dengan sikap suaminya yang kasar dan tak pernah menghargainya selayaknya istri, wanita yang seharusnya dilindungi dan dicintai, bukan dipelihara layaknya gundik. Ia ingin bercerai, namun hukum militer membuatnya tercekik. Ia tak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman suaminya. Keluhannya yang tak berkesudahan pada keluarga Randy, juga keluhan-keluhan Sentot yang akhirnya membuat adik-adik perempuan Randy sama serkali tak mau bersuamikan seorang militer. Apakah semua keluarga militer begitu? Penuh dengan ketidakbahagiaan? pikir Randy tak mengerti.
“Randy, tolong leraikan perkelahian Sentot dan papanya! Aku tak tahan menyaksikan mereka berkelahi tiada henti, layaknya singa dan harimau …” pinta Ratna di antara isak tangisnya. Randy pun segera mengangkat kakinya menuju rumah Sentot. Dilihatnya mereka beradu layaknya petarung yang sedang berlaga di arena pertarungan.
“Anak kurang ajar! Rasakan ini!” teriak papa Sentot. Amarahnya sudah tak terbendung lagi. Ia benar-benar kesetanan, hingga tanpa pikir panjang lagi segera diambilnya sebilah samurai yang ia pajang di dinding kelabunya. Bertengger dua samurai yang terpajang disana, dengan posisi saling berhadapan satu sama lain. Samurai di dinding itu telah berusia puluhan tahun yang merupakan warisan dari leluhurnya.
Sentot benar-benar ketakutan, apalagi pukulan dan sambitan dari papanya telah melukai tubuhnya.
“Hentikan!!” seru Randy. Tapi seruan Randy tak dihiraukannya sama sekali oleh mereka. Teriakannya bak hembusan angin saja. Randy tak berani mendekat, karena samurai itu terus saja dikibarkan oleh papa Sentot untuk menyerang anaknya. Randy sangat ngeri menyaksikan itu semua.
“Ampun Paaaa!!” jerit Sentot membahana. Ia tak mampu membalas sambitan papanya, meski ia telah berhasil mengambil samurai untuk membalas sambitan papanya. Karena tidak tahan dengan sambitan papanya yang bertubi-tubi, akhirnya Sentot berlari keluar rumah untuk menghindari sambitan papanya yang menggila. Mereka berkejar-kejaran layaknya anjing dan kucing. Papa Sentot benar-benar sudah kesetanan. Tak dihiraukannya jeritan Sentot hingga berdarah-darah, juga tak dipedulikannya tatapan para penghuni kompleks perumahan yang melongok dari jendela-jendela tua. Ia sudah kehilangan rasa malu dan harga dirinya lagi.
“Ampun Paaaaaa!!! Ampuuunnn …!!!” seru Sentot kesakitan. Ia sudah menyerah, tapi teriakan Sentot sama sekali tak masuk ke dalam hati papanya yang telah beku. Entah apa yang membuat papanya enggan memaafkan anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri …. Sentot merasa tubuhnya mulai lemas dan semakin melemah, dan papanya yang sudah menjelma menjadi iblis durjana merasakan kemenangan dan berhasil mengejar Sentot. Iblis pun membisikinya untuk menebas lengan Sentot sekeras-kerasnya. Dan….
Aaaaaaa…..!!!! Ampun Paaa …..!!!!” Sentot menjerit hingga mengagetkan seluruh penghuni langit dan langsung ambruk seketika. Lengan kanannya terlepas dari pundaknya laksana ranting kering yang telah dipatahkan oleh anak kecil. Darah merah segar pun mengucur deras dari tubuh Sentot. Jeritan-jeritan pun menyambutnya dari jendela-jendela tua. Mereka hanya bisa menonton dan menjerit, lalu melongo tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Mereka sudah terlanjur takut dengan sosok papa Sentot yang merupakan pembesar di kompleks perumahan militer tersebut.
“Tidaaaakk …!!!! Sentooooottt ….!!!” Ratna menjerit histeris, dan ia pun ikut ambruk begitu menyaksikan Sentot tumbang tanpa lengan dan sudah tak mampu berkutik lagi. Ratna pingsan dengan berselimutkan airmata.
Langit pun mendadak kelam, gelap seketika. Mentari enggan menyapa, pun burung-burung tak lagi bergairah mengepakkan sayapnya. Sang ayah hanya diam terpaku, antara sadar dan tidak. Hatinya yang telah lama mengeras, tak lagi tersentuh oleh adegan mengerikan yang ia ciptakan sendiri. Ia bahkan tak percaya bahwa tangan dinginnya mampu menghilangkan nyawa anaknya sendiri. Sentot meregang nyawa pun ia tak merasakan sakitnya. Manusiakah ia?
Mata Randy terbelalak kaget melihat kematian Sentot. Tenggorokannya tercekat, tak mampu berkata-kata lagi. Maafkan aku, Sentot …. Aku tak mampu menolongmu dari siksaan papamu …. bisik Randy, pilu. Ia terdiam. Di depan papa Sentot, ia merasa seperti pengecut yang tak berani membela Sentot layaknya pahlawan kebenaran.
Pun dalam diam, papa Sentot segera mengubur anaknya sendiri. Ia juga berusaha mengubur kasus pembunuhan yang telah dilakukannya kepada anaknya sendiri. Ditutupnya mulut-mulut penghuni kompleks perumahan itu rapat-rapat hingga bertahun-tahun lamanya, hingga ia meninggalkan dunia fana ini. Akankah kasus ini terkuak, sementara sang pembunuh telah mati dimakan usia??
                                                           -Puput Happy (Futicha Turisqoh)-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda