Cerpenku:
Pedih
hati Ratna melihat kepulangan suaminya yang selalu menggandeng seorang wanita.
Aneh rasanya jika ia harus menyambut suaminya dengan senyum merekah,
menunduk-nunduk hormat, apalagi menyambutnya dengan dekapan hangat bila di
sampingnya ada perempuan lain. Hanya orang sinting saja yang mungkin bisa
melakukan hal itu. Hati wanita mana yang tahan menyaksikan adegan memalukan
dari kekasihnya, apalagi suaminya sendiri! Batas kesabarannya jebol sudah. Oh Tuhan …. Seperti inikah suamiku? Nanar hati Ratna penuh tanya. Entah kali keberapa ia membawa wanita lain
yang sama; menantang dan malam-malam mereka habiskan di pembaringan penuh peluh
pun aroma tajam kepuasan. Aku bisa menghitung dalam ingatan; kemarin wanita
berambut panjang dengan gincu menyala, kali ini wanita yang sarat hasrat mata
binatang haus dekapan. Sebab aku menghitung kerutan pada badan, lelakiku lambat
laun mencari penggantiku dalam rupa berbeda di tiap malam-malam pesakitan. Ia
tak tahu, kepuasan untuknya, luka baru untukku.
“Kaubawa
lagi perempuan jalang di rumah ini!!” seru Ratna kepada suaminya, penuh amarah.
Dengan
nafas memburu seakan ingin dimuntahkannya kemarahannya saat itu juga. Matanya
nanar dan panas hingga mengalirkan pecahan-pecahan kristal bening di matanya.
Padahal tak biasanya Ratna bermarah-marah hingga mengumpat suaminya. Kini
kesabarannya habis sudah, dan itu membuatnya kehilangan akal sehatnya. Melihat
api kemarahan itu, wanita jalang yang dibawa suaminya pun segera kabur, lari
tunggang langgang tanpa permisi layaknya ular telanjang tengah mencari mangsa. Bahh! Benar-benar wanita tak punya malu!
“Plakkk!!” tamparan suaminya pun langsung
mendarat di pipi Ratna. Ratna pun menjerit kesakitan. Dirabanya pipinya yang
memerah dan basah.
“Perempuan
tak tahu diuntung! Masih beruntung kamu bisa bernaung disini!” jawab suaminya
dengan mata yang tak sedap dipandang.
Pemandangan
sehari-hari yang memuakkan bagi Sentot, anak semata wayang Ratna yang kini
telah tumbuh menjadi pemuda tampan. Meski sayang, Sentot hidup seperti pemuda broken home lainnya yang mengikuti
kisah-kisah layaknya sinetron. Bergaul tanpa tujuan, berjalan tanpa arahan. Ia lalui
penuh dengan kekecewaan-kekecewaan yang bertumpuk. Dan itu gara-gara papanya!
Padahal tak seharusnya ia terpengaruh dengan cerita-cerita picisan tersebut.
Bukankah menjadi pemuda tangguh itu lebih baik?
Melihat
mamanya diperlakukan sewenang-wenang oleh papanya, tanpa pikir panjang lagi
Sentot langsung saja menyerang papanya. Ditinjunya muka papanya penuh amarah.
“Papa
yang tak tahu diuntung!! Masih bagus Mama masih mau menjadi pendamping Papa! Aku
muak melihat tingkah Papa yang seperti anak kecil! Ingat Pa, Mama itu istri
Papa!!” seru Sentot.
“Anak
kurang ajar! Sekarang sudah jadi jagoan ya rupanya??!!” jawab papanya sambil
memelintir telinga Sentot sekuatnya. Sentot pun menjerit, lalu membalasnya
dengan pukulan yang membabi buta. Papa Sentot tak mau kalah. Egonya muncul
hingga perkelahian mengerikan antara ayah dan anak membuat Ratna panik dan
tidak tahan menyaksikannya. Ia pun segera berlari menuju rumah Randy,
tetangganya yang sudah dianggap kakaknya sendiri oleh Sentot.
“Randy!
Randy! Tolongin Sentot!” seru Ratna ketakutan.
Dunia
tak lagi nampak keindahannya bagi Randy jika Ratna selalu mengadukan hal yang
sama tentang perkelahian anaknya dan suaminya. Ia tak habis pikir, mengapa sebuah
keluarga yang telah lama menjadi tetangganya itu selalu saja bermasalah,
padahal papa Sentot seorang perwira Angkatan Darat. Apakah seorang militer
harus menerapkan kemiliterannya dalam rumah tangganya? Menyiksa anaknya
sendiri? Keluarga broken home membuat
penghuninya tak lagi sehat. Papa Sentot telah menciptakan kehancurannya
sendiri, sementara Sentot tumbuh menjadi pemuda yang amburadul. alcoholic, dan enggan bekerja meski dia punya banyak
keahlian. Rasa kecewa yang terlalu berat terhadap papanya menjadikannya tidak
bisa berpikir jernih lagi. Ia malah ikut hancur seperti papanya yang mudah naik
darah. Padahal seharusnya dia menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh Ratna, sebagai
obat atas perlakuan buruk suaminya, bukan malah tumbuh menjadi pemuda hancur
yang tak ada bedanya dengan papanya.
Sebenarnya
Ratna sudah tidak tahan dengan sikap suaminya yang kasar dan tak pernah
menghargainya selayaknya istri, wanita yang seharusnya dilindungi dan dicintai,
bukan dipelihara layaknya gundik. Ia ingin bercerai, namun hukum militer
membuatnya tercekik. Ia tak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkeraman
suaminya. Keluhannya yang tak berkesudahan pada keluarga Randy, juga keluhan-keluhan
Sentot yang akhirnya membuat adik-adik perempuan Randy sama serkali tak mau
bersuamikan seorang militer. Apakah semua
keluarga militer begitu? Penuh dengan ketidakbahagiaan? pikir Randy tak
mengerti.
“Randy,
tolong leraikan perkelahian Sentot dan papanya! Aku tak tahan menyaksikan
mereka berkelahi tiada henti, layaknya singa dan harimau …” pinta Ratna di
antara isak tangisnya. Randy pun segera mengangkat kakinya menuju rumah Sentot.
Dilihatnya mereka beradu layaknya petarung yang sedang berlaga di arena
pertarungan.
“Anak
kurang ajar! Rasakan ini!” teriak papa Sentot. Amarahnya sudah tak terbendung
lagi. Ia benar-benar kesetanan, hingga tanpa pikir panjang lagi segera
diambilnya sebilah samurai yang ia pajang di dinding kelabunya. Bertengger dua
samurai yang terpajang disana, dengan posisi saling berhadapan satu sama lain.
Samurai di dinding itu telah berusia puluhan tahun yang merupakan warisan dari
leluhurnya.
Sentot
benar-benar ketakutan, apalagi pukulan dan sambitan dari papanya telah melukai
tubuhnya.
“Hentikan!!”
seru Randy. Tapi seruan Randy tak dihiraukannya sama sekali oleh mereka. Teriakannya
bak hembusan angin saja. Randy tak berani mendekat, karena samurai itu terus
saja dikibarkan oleh papa Sentot untuk menyerang anaknya. Randy sangat ngeri
menyaksikan itu semua.
“Ampun
Paaaa!!” jerit Sentot membahana. Ia tak mampu membalas sambitan papanya, meski
ia telah berhasil mengambil samurai untuk membalas sambitan papanya. Karena
tidak tahan dengan sambitan papanya yang bertubi-tubi, akhirnya Sentot berlari
keluar rumah untuk menghindari sambitan papanya yang menggila. Mereka
berkejar-kejaran layaknya anjing dan kucing. Papa Sentot benar-benar sudah
kesetanan. Tak dihiraukannya jeritan Sentot hingga berdarah-darah, juga tak
dipedulikannya tatapan para penghuni kompleks perumahan yang melongok dari
jendela-jendela tua. Ia sudah kehilangan rasa malu dan harga dirinya lagi.
“Ampun
Paaaaaa!!! Ampuuunnn …!!!” seru Sentot kesakitan. Ia sudah menyerah, tapi
teriakan Sentot sama sekali tak masuk ke dalam hati papanya yang telah beku.
Entah apa yang membuat papanya enggan memaafkan anaknya sendiri, darah
dagingnya sendiri …. Sentot merasa tubuhnya mulai lemas dan semakin melemah,
dan papanya yang sudah menjelma menjadi iblis durjana merasakan kemenangan dan
berhasil mengejar Sentot. Iblis pun membisikinya untuk menebas lengan Sentot
sekeras-kerasnya. Dan….
“Aaaaaaa…..!!!! Ampun Paaa …..!!!!”
Sentot menjerit hingga mengagetkan seluruh penghuni langit dan langsung ambruk
seketika. Lengan kanannya terlepas dari pundaknya laksana ranting kering yang
telah dipatahkan oleh anak kecil. Darah merah segar pun mengucur deras dari
tubuh Sentot. Jeritan-jeritan pun menyambutnya dari jendela-jendela tua. Mereka
hanya bisa menonton dan menjerit, lalu melongo tanpa tahu apa yang harus
dilakukannya. Mereka sudah terlanjur takut dengan sosok papa Sentot yang
merupakan pembesar di kompleks perumahan militer tersebut.
“Tidaaaakk
…!!!! Sentooooottt ….!!!” Ratna menjerit histeris, dan ia pun ikut ambruk
begitu menyaksikan Sentot tumbang tanpa lengan dan sudah tak mampu berkutik
lagi. Ratna pingsan dengan berselimutkan airmata.
Langit
pun mendadak kelam, gelap seketika. Mentari enggan menyapa, pun burung-burung
tak lagi bergairah mengepakkan sayapnya. Sang ayah hanya diam terpaku, antara
sadar dan tidak. Hatinya yang telah lama mengeras, tak lagi tersentuh oleh
adegan mengerikan yang ia ciptakan sendiri. Ia bahkan tak percaya bahwa tangan
dinginnya mampu menghilangkan nyawa anaknya sendiri. Sentot meregang nyawa pun
ia tak merasakan sakitnya. Manusiakah ia?
Mata
Randy terbelalak kaget melihat kematian Sentot. Tenggorokannya tercekat, tak
mampu berkata-kata lagi. Maafkan aku,
Sentot …. Aku tak mampu menolongmu dari siksaan papamu …. bisik Randy, pilu.
Ia terdiam. Di depan papa Sentot, ia merasa seperti pengecut yang tak berani
membela Sentot layaknya pahlawan kebenaran.
Pun
dalam diam, papa Sentot segera mengubur anaknya sendiri. Ia juga berusaha
mengubur kasus pembunuhan yang telah dilakukannya kepada anaknya sendiri.
Ditutupnya mulut-mulut penghuni kompleks perumahan itu rapat-rapat hingga
bertahun-tahun lamanya, hingga ia meninggalkan dunia fana ini. Akankah kasus
ini terkuak, sementara sang pembunuh telah mati dimakan usia??
-Puput
Happy (Futicha Turisqoh)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda