Lukisan Senja di Padang Pasir Laut
Di bawah langit yang kelabu,
hamparan pasir membentang sejauh mata memandang,
seperti lembaran kitab kuno
yang menyimpan kisah tentang waktu,
tentang manusia yang datang dan pergi
tanpa meninggalkan jejak abadi.
Angin berlari dari laut,
menyusuri lekuk-lekuk tanah lembut,
membentuk garis, alur, dan pahatan
yang tak pernah sama setiap harinya.
Ia menulis, lalu menghapus,
lalu menulis kembali—
seperti kehidupan,
yang mengajari kita menerima,
bahwa tak ada yang benar-benar tinggal,
selain kenangan di dalam dada.
Rumput-rumput hijau di punggung bukit
bergoyang pelan,
seakan menunduk pada rahasia alam semesta.
Mereka tahu,
bahwa bahkan tanah yang tampak gersang
masih bisa melahirkan kehidupan.
Bahwa dalam sunyi,
masih ada napas yang bertahan,
masih ada harapan yang tumbuh perlahan.
Di ujung cakrawala,
senja memantulkan cahayanya ke pasir keemasan,
menciptakan keindahan yang sederhana,
namun memukau siapa saja
yang mau berhenti sejenak,
memandang dengan mata hati.
Di sini, di tepi dunia,
kita belajar diam,
belajar mendengarkan,
belajar memahami bahasa angin
dan bisikan alam yang tak pernah berbohong.
Pasir ini berkata:
“Jangan takut pada hilang,
sebab setiap hilang hanyalah jalan
untuk menemukan bentuk baru.”
Rumput ini berbisik:
“Jangan menyerah pada sunyi,
sebab sunyi hanyalah ruang
bagi jiwa untuk tumbuh.”
Dan langit ini menegaskan:
“Meski awan menutup,
cahaya tak pernah padam,
ia hanya menunggu waktu
untuk kembali bersinar terang.”
Maka,
biarlah hamparan pasir ini
menjadi cermin hatimu,
menjadi jalan pulang bagi jiwamu.
Karena pada akhirnya,
setiap manusia adalah musafir,
dan setiap musafir akan menemukan rumahnya
dalam keabadian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda