Rindu dalam Ujian Cinta
Sinopsis:
Kisah perjalanan Rindu, seorang istri sholihah yang lembut, sabar, dan santun. Hidupnya diuji dengan suami yang keras kepala, gemar merokok, dan akhirnya berpaling pada wanita lain. Keputusannya untuk bercerai membawa dia pada jalan panjang penuh ujian kesendirian, hingga akhirnya ia menikah lagi setelah 20 tahun menjanda. Namun, pernikahan keduanya pun jauh dari sempurna. Dalam hatinya, Rindu terus berjuang untuk mempertahankan rumah tangga dengan sabar, karena ia yakin menikah adalah ibadah yang penuh pahala bila dijalani dengan ikhlas.
Bab 1 – Bara dalam Rumah Tangga
Suara adzan maghrib dari musholla dekat rumah menggema, merambat masuk lewat jendela kecil ruang tamu. Rindu duduk bersila di lantai, menyiapkan teh hangat untuk suaminya. Wajah manisnya tampak tenang, meski hatinya selalu gelisah setiap kali ia mencium bau itu—bau asap rokok yang begitu ia benci.
Panji, suaminya, tengah duduk santai di kursi kayu tua. Satu batang rokok menyala di tangannya. Asapnya mengepul, menari-nari di udara, lalu lenyap entah ke mana.
“Panji...” Rindu menoleh pelan, menatap suaminya dengan tatapan penuh kasih.
“Sudah berapa kali aku bilang, berhentilah merokok. Itu merusak badanmu... merusak rumah ini juga. Aku khawatir...”
Panji mengangkat alisnya, tersenyum tipis—senyum yang membuat Rindu semakin nyeri di dada.
“Aku bisa berhenti, Rindu.” Suaranya tenang, tapi sarat dengan ketegasan. “Asal kamu izinkan aku menikah lagi.”
Seperti pisau, kalimat itu menusuk hatinya. Rindu menunduk, jari-jarinya meremas kain rok panjangnya.
“Kenapa harus begitu, Panji?” suaranya lirih.
“Karena aku butuh sesuatu yang baru. Kamu istri yang baik, aku akui. Tapi aku juga punya hak untuk menikah lagi. Kamu tidak akan rugi apa-apa, toh aku masih tetap bersamamu.”
Rindu terdiam. Air matanya menitik tanpa ia sadari. Selama ini ia selalu patuh, selalu berusaha melayani, selalu sabar meski hatinya perih melihat kebiasaan suami yang sulit diubah. Dan kini, ia diminta menerima luka yang lebih besar.
Hari-hari setelah itu berubah suram. Panji semakin jarang mengajaknya bicara. Kata-katanya sering menusuk, seolah semua kebaikan Rindu tidak ada artinya.
“Masakanmu makin hambar. Kau sibuk apa saja seharian?”
“Kamu terlalu sering ikut campur, Rindu. Aku lebih suka kalau kamu diam saja.”
Ucapan-ucapan itu terus terngiang di telinga Rindu. Ia mencoba sabar, mencoba menelan semua pahitnya. Namun kesabaran itu makin teruji saat seorang wanita lain benar-benar masuk dalam kehidupannya.
Namanya Ratna. Janda beranak satu, wajahnya cantik dan penampilannya selalu rapi. Panji sering membicarakannya di depan Rindu. Dan yang lebih menyakitkan, Ratna mulai berani mengatur urusan rumah tangga Rindu.
“Kenapa dapurnya begini? Seharusnya bumbunya ditata ulang, biar mudah dicari.”
“Pakaian Panji lebih baik dipisahkan, jangan digabung dengan yang lain.”
Rindu hanya menunduk, mendengarkan. Setiap kata Ratna seperti menampar harga dirinya sebagai istri.
Malam itu, setelah Panji pulang dan kembali menegurnya dengan kalimat-kalimat dingin, Rindu akhirnya menangis dalam sujudnya.
“Ya Allah... aku sudah berusaha sabar. Aku ingin menjadi istri yang taat. Tapi hatiku tak lagi mampu menahan luka ini. Tunjukkanlah jalan yang Engkau ridhoi...”
Keesokan harinya, Rindu memberanikan diri berbicara dengan Panji. Suaranya tegas, meski air mata kembali membasahi pipinya.
“Cukup, Panji. Aku sudah mencoba bertahan, tapi aku tidak bisa hidup begini. Aku memilih berpisah.”
Panji terdiam, seolah tak percaya istrinya yang lembut itu akhirnya berkata demikian. Namun keputusan sudah bulat. Hatinya yang lembut kini retak, dan retakan itu tak lagi bisa ia tutupi.
Bab 2 – Sepi Dua Puluh Tahun
Rumah itu kini sepi. Setelah perceraian, Rindu memilih kembali ke rumah orang tuanya, meski akhirnya ia hidup seorang diri ketika orang tua dipanggil Allah lebih dulu.
Hari-hari Rindu diisi dengan mengajar anak-anak mengaji di surau kecil samping rumah. Suaranya yang lembut, wajahnya yang manis, dan tutur katanya yang santun membuat banyak orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk belajar darinya.
Namun, di balik senyum yang selalu ia kenakan, tersimpan luka yang tidak mudah sembuh. Luka yang ditinggalkan Panji—mantan suami yang kini hidup dengan wanita pilihannya.
Malam-malam sering dilalui Rindu dalam doa panjang. Air matanya menetes di atas sajadah, merembes membasahi kain mukena putihnya.
“Ya Allah... aku rindu rumah tangga yang tenang. Aku rindu suami yang membimbingku dalam kebaikan. Tapi aku takut, aku trauma... Aku tidak ingin hatiku hancur lagi.”
Lamaran demi lamaran datang. Ada duda baik-baik dari kampung sebelah, ada saudagar yang mapan, bahkan ada pemuda yang terpikat pada kelembutan Rindu meski usianya terpaut jauh. Namun satu per satu ia tolak dengan halus.
“Maafkan saya... saya belum siap,” begitu jawaban yang hampir selalu keluar dari bibirnya.
Tahun demi tahun berganti. Rambut hitam Rindu mulai dihiasi helaian putih. Wajahnya tetap manis, tapi gurat kesepian perlahan terlihat. Dua puluh tahun lamanya ia hidup sendiri, menutup pintu hati rapat-rapat.
Hingga suatu sore, seorang lelaki paruh baya bernama Haris datang. Haris adalah seorang duda, memiliki beberapa anak yang masih remaja. Ia datang dengan niat yang serius, ditemani keluarganya.
“Bu Rindu,” ucapnya sopan, “Saya tahu Ibu sudah lama sendiri. Saya juga sudah lama menduda. Saya ingin melamar Ibu, bukan hanya untuk diri saya, tapi juga untuk anak-anak saya yang butuh kasih sayang seorang ibu. Saya ingin kita saling melengkapi dalam kebaikan.”
Rindu terdiam. Entah mengapa, kali ini ia tidak bisa langsung menolak. Hatinya yang selama ini membeku, tiba-tiba terasa dilunakkan.
Dan keesokan harinya, dengan suara bergetar, ia menerima lamaran itu.
“InsyaAllah... saya terima.”
Namun, Rindu tidak tahu bahwa pernikahan kedua ini pun bukanlah akhir dari ujian, melainkan awal dari perjalanan baru yang lebih berat.
Bab 3 – Pernikahan Kedua dan Ujian Baru
Hari itu, rumah sederhana Rindu kembali ramai. Para tetangga berdatangan, ada yang ikut menyiapkan hidangan, ada pula yang membantu menata kursi untuk tamu. Setelah sekian lama hidup dalam kesepian, akhirnya Rindu kembali duduk di pelaminan.
Di sampingnya, Haris tampak gagah meski usianya sudah melewati paruh baya. Wajahnya teduh, tutur katanya lembut, dan ia tampak begitu menghargai Rindu. Senyum para tamu dan doa-doa yang terucap membuat hati Rindu sedikit lega.
“Semoga pernikahan kali ini membawa kebahagiaan, Rindu...” bisik salah satu sahabat lamanya.
Rindu hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan aku mengulang luka yang sama. Jadikan rumah tanggaku kali ini tempatku meraih ridha-Mu.”
Hari-hari pertama berjalan manis. Haris memperlakukan Rindu dengan baik, anak-anaknya pun menyambut Rindu dengan cukup ramah. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan satu demi satu kenyataan pahit mulai terlihat.
Haris ternyata kurang memperhatikan urusan ekonomi keluarga. Penghasilannya kecil dan tidak menentu, bahkan sering habis sebelum cukup untuk kebutuhan rumah.
“Bu... uang sekolah belum dibayar,” ujar salah satu anak sambungnya dengan wajah cemas.
Rindu tersentak. Ia memeriksa dompet, hanya ada beberapa lembar uang tipis. Haris saat itu sedang duduk di teras, menyesap kopi tanpa banyak bicara.
“Haris...” panggil Rindu hati-hati.
“Ya?” jawab suaminya singkat.
“Uang sekolah anak-anak masih kurang. Bagaimana, Mas?”
Haris menghela napas panjang. “Nanti saja. Kalau ada rezeki, Allah pasti kasih jalan.”
Rindu terdiam. Ia tahu benar bahwa tawakal itu penting, tapi tawakal tanpa usaha hanya akan jadi alasan untuk malas. Dalam hati, ia kembali menguatkan diri.
Sejak hari itu, Rindu mulai banting tulang. Ia menerima jahitan baju dari tetangga, mengajar mengaji lebih banyak murid, bahkan menjual makanan kecil untuk membantu perekonomian rumah. Badannya lelah, tapi ia tetap tersenyum di depan anak-anak sambungnya.
Malam-malamnya kembali dipenuhi doa panjang.
“Ya Allah... apakah aku harus bertahan? Atau lebih baik aku menyerah lagi? Aku takut... aku lelah... tapi aku ingin Engkau ridha padaku.”
Seringkali ada bisikan yang mengusiknya: “Ceraikan saja. Tidak ada gunanya kau pertahankan rumah tangga yang begini.”
Namun setiap kali ia bangkit untuk shalat malam, bisikan itu sirna. Hatinya mengingat sabda Rasulullah ﷺ bahwa menikah adalah ibadah, ladang pahala untuk melatih kesabaran.
Suatu malam, Rindu menatap wajah Haris yang tertidur pulas. Ada rasa kecewa, ada rasa kesal, namun juga ada iba.
“Ya Allah... mungkin inilah jalanku. Aku akan bertahan. Aku akan menjadikan rumah tangga ini sebagai jalan untuk menggapai surga-Mu.”
Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena putus asa. Ia menangis karena pasrah, karena yakin bahwa Allah tidak pernah memberi ujian melebihi batas kemampuan hamba-Nya.
Bab 4 – Rindu dan Anak-Anak Sambungnya
Pagi hari, mentari baru naik di balik pepohonan. Suara anak-anak berceloteh terdengar di halaman sekolah dasar tempat Rindu mengajar. Dengan jilbab panjang sederhana dan wajah teduh, Rindu menyambut mereka satu per satu.
Mengajar adalah dunia Rindu. Di depan murid-muridnya, ia bisa tertawa lepas, melupakan sejenak kegundahan hati di rumah. Senyum-senyum polos mereka adalah obat dari luka yang masih sesekali terasa.
Namun, begitu pulang, kenyataan kembali menamparnya.
Di rumah, anak-anak Haris—dua remaja lelaki dan seorang gadis—seringkali bersikap dingin. Mereka jarang mengajaknya bicara, bahkan ada yang tidak mau makan jika Rindu yang menyiapkan.
Suatu sore, Rindu pulang dalam keadaan lelah setelah seharian mengajar. Ia melihat salah satu anak sambungnya, Dika, duduk di ruang tamu dengan wajah cemberut.
Rindu terdiam. Ia baru saja menerima gaji bulanan, tapi sebagian besar sudah ia gunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Sambil menghela napas, ia merogoh dompet dan memberikan beberapa lembar uang.
Rindu menatap punggungnya yang menjauh dengan hati pedih. Kenapa mereka hanya mendekat ketika butuh? Kenapa aku tak dianggap lebih dari sekadar tempat meminta uang?
Konflik itu semakin terasa ketika gadis remaja bernama Sinta, anak sulung Haris, menolak ajakan Rindu untuk berbincang.
Malam harinya, saat semua sudah tidur, Rindu kembali bersimpuh. Mukena putihnya basah oleh air mata.
“Ya Allah... aku ingin mencintai anak-anak ini seperti anakku sendiri. Tapi mereka menjauh. Aku ingin dekat, tapi mereka menolak. Apakah aku harus menyerah? Atau terus mencoba, meski hati ini sakit?”
Lelah, ia merebahkan diri. Namun esok pagi, ia kembali bangkit dengan senyum. Karena bagi Rindu, menjadi seorang ibu—meski hanya ibu sambung—adalah amanah yang tak boleh ia abaikan.
Bab 5 – Beban yang Tak Pernah Ia Pilih
Malam itu, setelah makan malam sederhana, Haris duduk di ruang tamu dengan wajah murung. Matanya sayu, tangannya sibuk meremas-remas jemari. Rindu yang baru saja membereskan piring merasa ada yang aneh.
Rindu menghentikan langkah, berdiri kaku. “Apa itu, Mas?”
“Aku... punya hutang di bank. Jumlahnya lumayan besar. Dulu sebelum menikah denganmu, aku pinjam untuk usaha. Tapi usahanya gagal. Sampai sekarang aku masih harus membayar angsurannya.”
“Aku tidak mau memberatkanmu,” jawab Haris pelan. “Tapi sekarang aku benar-benar butuh bantuanmu. Kalau tidak, rumah ini bisa disita, dan nama kita tercemar.”
Rindu menelan ludah. Dalam hatinya, ingin rasanya ia berkata “Itu tanggung jawabmu, bukan tanggung jawabku.” Tapi kata-kata itu tak pernah sampai ke bibir.
Sejak saat itu, gaji bulanannya dari sekolah bukan lagi miliknya sepenuhnya. Hampir separuhnya langsung ia sisihkan untuk melunasi angsuran hutang suaminya. Ia menambah pekerjaan sampingan: menerima jahitan, mengajar les privat, bahkan membuat kue pesanan tetangga. Tubuhnya semakin lelah, tapi ia tetap bertahan.
Namun, tekanan batin semakin kuat. Ia merasa dirinya bukan lagi istri yang dilindungi, melainkan penopang utama rumah tangga.
Haris menatapnya dengan wajah serius. “Aku tahu, Rindu. Tapi kalau bukan kamu, siapa lagi? Aku tidak punya siapa-siapa. Kalau kamu tidak menolongku, kita semua akan susah.”
Kata-kata itu menghantam batinnya. Rindu kembali terdiam. Ia tidak tega menolak, meski hatinya berteriak ingin berhenti.
Dan malam itu, ia kembali bangkit dengan keputusan dalam hatinya: ia akan bertahan, meski jiwa dan raganya tertekan. Karena ia yakin, setiap tetes keringatnya, setiap air mata yang jatuh, takkan sia-sia di sisi Allah.
Bab 6 – Ketenangan yang Dicari Rindu
Hari-hari Rindu terasa semakin panjang. Pagi ia berangkat ke sekolah untuk mengajar murid-muridnya. Sepulang sekolah, ia menerima les privat hingga sore. Malamnya, ia duduk di ruang tamu dengan mesin jahit yang berdengung pelan, sementara anak-anak sambungnya sibuk dengan urusan masing-masing.
“Bu, uang SPP bulan depan jangan lupa, ya,” kata Sinta suatu malam, tanpa menatap Rindu.
“Iya, Nak...” jawab Rindu, meski hatinya kembali perih.
Tidak ada terima kasih, tidak ada sekadar senyum. Semua terasa formal, kaku, seolah ia hanyalah bendahara rumah, bukan seorang ibu.
Haris pun kerap pulang larut. Kadang tanpa penjelasan, kadang hanya berkata singkat: “Capek. Jangan banyak tanya.” Sementara angsuran bank tetap menjadi beban bulanan yang sebagian besar ditanggung oleh Rindu.
Namun, di balik segala lelah itu, ada satu hal yang selalu menguatkan Rindu: ibadahnya.
Setiap sepertiga malam, ia bangun dalam hening. Rumah yang tadi bising kini sunyi, hanya terdengar desiran angin menyusup lewat celah jendela. Di atas sajadah, ia bersujud lama.
“Ya Allah... Engkau Maha Tahu isi hatiku. Aku ingin menyerah, tapi aku takut Engkau murka. Aku ingin bahagia, tapi aku tidak tahu bagaimana. Jika Engkau ridha aku bertahan, maka kuatkanlah aku. Jika lebih baik aku pergi, maka tunjukkanlah jalannya dengan cara yang baik.”
Air matanya menetes deras, tapi hatinya terasa lapang. Ada semacam ketenangan yang tidak bisa ia jelaskan. Meski masalah tidak hilang, tapi ia tahu Allah selalu dekat.
Suatu hari, salah satu muridnya bertanya polos,
“Bu Guru, kenapa kalau Bu Guru senyum, matanya kayak habis nangis?”
Pertanyaan itu membuat Rindu tercekat. Ia menatap murid kecil itu, lalu tersenyum sambil mengusap kepala anak itu.
“Kadang orang dewasa juga suka sedih, Nak. Tapi kalau kita dekat sama Allah, sedih itu bisa jadi kekuatan.”
Murid itu mengangguk lugu, lalu kembali menulis. Kalimat sederhana itu membuat hati Rindu bergetar. Seolah dirinya sendiri yang sedang diajarkan untuk tidak menyerah.
Di rumah, meski anak-anak sambungnya masih dingin dan Haris masih banyak kekurangan, Rindu belajar untuk tetap berbuat baik tanpa mengharap balasan. Ia menata hatinya, bahwa setiap suapan nasi yang ia masak, setiap baju yang ia jahit, setiap rupiah yang ia keluarkan, semua adalah amal yang dicatat Allah.
“Ya Allah... aku hanya berharap pada-Mu. Biarlah manusia tidak melihat kebaikanku, asal Engkau melihatnya. Biarlah mereka tidak mengucapkan terima kasih, asal Engkau menuliskan pahalanya.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Rindu bisa tidur dengan senyum tulus.
Bab 7 – Suara dari Relung Hati
Malam itu, hujan turun deras. Butiran air menetes dari atap rumah, menimbulkan bunyi ritmis yang menemani kesepian. Rindu duduk di ruang tamu, hanya ditemani cahaya redup dari lampu minyak karena listrik padam.
Ia menatap jendela yang berkabut, lalu menarik napas panjang. Hatinya penuh sesak, dan malam itu ia mencoba berbicara dengan dirinya sendiri.
“Ya Allah... sampai kapan aku harus begini? Hatiku letih, tubuhku lemah. Aku sudah berusaha menjadi istri yang taat, ibu yang sabar, tapi mengapa balasannya selalu perih?
Dulu aku pernah merasakan pahitnya dikhianati. Aku memilih bercerai, meski hatiku hancur. Aku mencoba berdiri sendiri, bertahan dua puluh tahun lamanya, meski kesepian selalu jadi sahabatku. Kini aku menikah lagi, berharap ada ketenangan, berharap ada pemimpin yang membimbingku menuju-Mu. Tapi ternyata ujian itu datang lagi, Ya Rabb...
Air matanya mengalir deras.
Anak-anak yang kuharap bisa kucintai seperti anak sendiri... ternyata hanya mendekat saat butuh uang. Mereka menolak pelukanku, menolak keberadaanku. Apakah aku terlalu memaksa? Atau memang aku tidak pantas menjadi ibu bagi mereka?
Dan Haris... suamiku. Aku mencoba memahami, mencoba sabar dengan kekurangannya. Tapi ketika aku tahu ia terjerat hutang, hatiku runtuh. Bukan karena bebannya, tapi karena aku dipaksa ikut memikul, sementara aku sendiri sudah rapuh. Aku ingin berkata ‘tidak’, tapi lidahku selalu kelu. Aku terlalu iba, terlalu takut mengecewakan orang lain. Hingga aku sendiri yang tersiksa.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Apakah aku harus pergi lagi? Apakah aku harus mengulang sejarah pahit itu, menjadi janda untuk kedua kalinya? Tapi Ya Allah... aku takut. Aku takut Engkau murka. Aku takut Engkau anggap aku gagal menjaga amanah pernikahan. Aku takut hidup sendiri lagi, aku takut kesepian yang menusuk seperti dulu.
Seketika, dadanya terasa hangat. Dalam hening, ada bisikan lembut dalam hatinya: “Bersabarlah, karena Aku bersamamu.”
Rindu menghela napas panjang, lalu menengadah.
“Ya Allah... kalau ini jalan yang Kau pilihkan untukku, maka aku akan bertahan. Biarlah aku tertekan, asal Engkau ridha. Biarlah aku menangis, asal tangis ini Kau catat sebagai pahala. Aku hanya berharap... suatu hari nanti, Engkau berikan akhir yang indah. Entah di dunia, atau di surga-Mu kelak.”
Malam itu, ia menangis hingga tertidur di sajadah. Hujan masih turun deras di luar, tapi hatinya menemukan setitik tenang.
Bab 8 – Perang dalam Diri Rindu
Hari-hari Rindu di mata orang lain tampak biasa saja. Di sekolah, ia tetap dikenal sebagai guru yang penyayang dan ceria. Di lingkungan rumah, ia dipandang sebagai istri yang santun, yang selalu menyapa tetangga dengan senyum ramah.
Tak ada seorang pun yang tahu bahwa di balik senyum itu, hatinya terjerat dalam luka yang tak pernah ia ceritakan.
Rindu memang tidak pernah berani mengeluh. Bahkan pada sahabat terdekatnya, ia hanya berkata, “Alhamdulillah, aku baik-baik saja.”
Padahal, setiap malam, tubuhnya gemetar menahan tangis.
Saat bersama Haris, ia selalu diam, tak pernah berani menolak permintaan suaminya, sekalipun hatinya ingin memberontak. Ia tahu benar, seorang istri harus menghormati suaminya. Tapi dalam diam, ada luka yang menganga.
Ia sering menunduk, membiarkan suaminya bicara panjang lebar tanpa menyela. Ia hanya menjawab seperlunya. Dan setiap kali Haris menyodorkan kebutuhan yang lagi-lagi harus ia tanggung, Rindu hanya mengangguk.
Namun, ketika Haris jauh, amarahnya sering meledak dalam sepi.
“Kenapa aku selalu begini? Kenapa aku tidak bisa tegas? Kenapa aku selalu merasa kasihan pada orang lain, padahal aku sendiri yang layak dikasihani?” bisiknya sendiri di dapur, saat memasak dengan mata sembab.
Kadang ia menepuk dadanya dengan gemas, merasa bodoh karena tidak mampu membela diri. Tapi pada akhirnya, ia kembali luluh oleh kelembutannya sendiri. Ia tidak ingin ada yang terluka, meski hatinya sendiri terus teriris.
Suatu sore, ketika ia duduk sendiri di kamar setelah mengajar, ia menulis di buku catatannya—sebuah kebiasaan lama yang jarang diketahui orang.
“Aku lelah, Ya Allah. Tapi aku tidak berani bersuara. Aku marah pada diriku sendiri, karena tidak bisa menolak. Aku benci pada kelembutanku yang sering diperalat. Aku ingin sekali hanya sekali saja berkata: ‘Tidak, aku tidak sanggup!’ Tapi lidahku kelu. Aku takut menyakiti orang lain. Aku takut dianggap durhaka. Aku takut mengecewakan. Hingga akhirnya aku sendiri yang hancur dalam diam.”
Ia menutup buku catatan itu dengan cepat ketika mendengar langkah suaminya mendekat. Senyumnya kembali ia pasang, seolah tak ada apa-apa.
Bagi orang lain, Rindu adalah wanita yang kuat, sabar, dan selalu tabah. Tapi hanya Allah yang tahu, betapa besar perang yang ia hadapi setiap hari—bukan melawan suaminya, bukan melawan anak sambungnya, tapi melawan dirinya sendiri.
Bab 9 – Curhat yang Tak Pernah Didengar Manusia
Tak seorang pun tahu bagaimana hidup Rindu sebenarnya. Tidak ada tetangga yang mendengar keluh kesahnya, tidak ada sahabat yang tahu betapa hatinya rapuh. Senyumnya menutupi segalanya, sementara luka ia simpan rapat-rapat.
Satu-satunya tempat ia curhat adalah sajadah yang basah oleh air matanya.
“Ya Allah... aku tidak punya siapa-siapa selain Engkau. Aku tidak berani mengadu pada manusia, karena aku malu. Aku tidak ingin dianggap lemah. Tapi hanya Engkau yang tahu, betapa sesaknya dadaku... betapa berat bebanku.”
Bertahun-tahun Rindu memikul beban hutang Haris. Setiap bulan, ia sisihkan gajinya untuk membayar angsuran. Ia menolak mengeluh, meski tubuhnya lelah bekerja siang malam. Hingga akhirnya, dengan izin Allah, hutang itu lunas juga.
Namun, justru setelah itu, cobaan baru menimpa. Kebutuhan rumah tangga semakin menekan: biaya sekolah anak-anak, kebutuhan sehari-hari yang melonjak, ditambah penghasilan Haris yang tak pernah mencukupi.
Rindu berusaha menutup kekurangan itu dengan berbagai cara: menjahit, mengajar, bahkan membuat kue untuk dijual. Tapi tetap saja, uangnya selalu kurang.
Akhirnya, dalam kebuntuan, ia mengambil keputusan yang membuat dadanya semakin sesak: ia sendiri meminjam uang ke bank.
Hari itu, setelah keluar dari kantor bank dengan secarik kertas perjanjian di tangan, langkahnya terasa berat. Ia merasa seperti menjerat dirinya sendiri.
“Ya Allah... dulu aku melunasi hutang suamiku. Kini aku harus memikul hutangku sendiri. Apa aku kuat? Apa aku sanggup? Aku takut, Ya Rabb... tapi aku tidak punya pilihan lain.”
Malamnya, ia duduk termenung di ruang tamu. Haris sedang tidur nyenyak, anak-anak sambungnya asyik dengan dunianya masing-masing. Tidak ada yang tahu bahwa di dada Rindu, ada beban yang kian menekan.
Tapi lidahnya tak mampu mengucap. Ia tahu, Haris tidak akan bisa menolongnya. Dan lagi-lagi, kelembutannya membuatnya memilih diam.
Dalam sujudnya yang panjang, ia kembali mengadu.
“Ya Allah... aku mungkin tampak kuat di hadapan manusia. Tapi Engkau tahu, hatiku sering nyaris runtuh. Aku ingin menyerah, tapi aku tidak bisa. Aku ingin lari, tapi aku tidak tahu ke mana. Maka aku bertahan, Ya Rabb, hanya karena aku percaya pada-Mu. Hanya karena aku yakin, tidak ada air mata yang sia-sia jika kuteteskan demi ridha-Mu.”
Dan seperti biasa, setelah tangis panjang itu, ia bangkit dengan hati yang lebih lapang.
Bab 10 – Jalan Menuju Ikhlas
Waktu terus berjalan. Rambut hitam Rindu kini mulai memutih, kulit wajahnya dihiasi garis-garis halus. Namun, sorot matanya tetap lembut, senyum di bibirnya tetap hangat. Dari luar, orang-orang melihatnya sebagai wanita yang tabah, wanita yang diberkahi ketenangan.
Padahal, hanya Allah yang tahu betapa setiap langkahnya ditempa ujian. Hutang yang harus ia tanggung, anak sambung yang dingin, suami yang lalai dalam nafkah, semua itu seolah menjadi pusaran badai yang tak pernah usai.
Tapi justru di tengah badai itu, Rindu menemukan sesuatu yang tak pernah ia sangka: jalan menuju ikhlas.
Suatu malam, setelah shalat tahajud, ia duduk lama di sajadah. Air mata yang jatuh kali ini bukan air mata protes, melainkan air mata pasrah.
“Ya Allah... aku lelah melawan takdir. Aku lelah menuntut bahagia dari manusia. Kini aku hanya ingin Engkau ridha padaku. Jika rumah tangga ini adalah ladang pahalaku, aku akan bertahan. Jika semua kesedihan ini adalah ujian, aku akan menerimanya. Aku tidak ingin lagi melawan, Ya Rabb. Aku hanya ingin ikhlas.”
Hatinya terasa ringan. Beban itu masih ada, masalah itu belum selesai, tapi ia merasakan ketenangan yang berbeda. Seakan Allah sendiri menepuk pundaknya, berkata: “Bersabarlah, Aku bersamamu.”
Anak-anak itu mengangguk lugu, dan Rindu tersenyum lagi. Jawaban sederhana itu seolah cermin untuk dirinya sendiri.
Dan sejak saat itu, ia menjalani hidup bukan untuk mencari bahagia dari manusia, melainkan untuk mencari ridha Allah.
Bab 11 – Senja yang Tenang
Usia Rindu kini sudah melewati separuh abad. Rambutnya semakin memutih, langkahnya tak lagi secepat dulu, tapi wajahnya memancarkan keteduhan yang tak dimiliki banyak orang.
Haris masih ada di sisinya. Sikapnya tidak banyak berubah, tetap cuek, tetap dengan kebiasaannya yang kadang membuat hati Rindu sesak. Anak-anak sambungnya sudah dewasa, sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sesekali datang hanya saat butuh bantuan, ada pula yang semakin menjauh.
Namun, berbeda dengan dulu, Rindu kini tidak lagi merasa hampa. Ia sudah berdamai dengan semuanya.
Setiap pagi, setelah mengajar di sekolah dasar, ia menghabiskan waktu di mushola kecil rumahnya. Membaca Qur’an, berdzikir, dan menulis catatan kecil di buku usangnya.
“Bahagia itu sederhana. Bahagia itu ketika aku bisa shalat dengan tenang. Bahagia itu ketika aku masih diberi kesehatan untuk mengajar anak-anak. Bahagia itu ketika aku bisa menutup mata di malam hari dengan hati yang lapang, meski kantongku kosong.”
Suatu sore, seorang tetangga muda bertanya kepadanya,
“Bu Rindu, bagaimana Ibu bisa tetap sabar? Saya sering merasa hidup ini tidak adil.”
Rindu tersenyum lembut.
“Dulu saya juga sering merasa begitu. Tapi semakin lama saya sadar, hidup ini bukan soal adil atau tidak adil. Hidup ini soal bagaimana kita menerima dengan ikhlas. Kalau kita terlalu berharap pada manusia, pasti kecewa. Tapi kalau kita hanya berharap pada Allah... insyaAllah hati kita tenang.”
Tetangga itu terdiam, lalu menitikkan air mata. Bagi banyak orang, kata-kata Rindu adalah nasihat yang menyejukkan. Mereka tidak tahu, kata-kata itu lahir dari air mata panjang yang pernah ia simpan sendirian.
Di senja usianya, Rindu tidak meminta banyak. Ia hanya berdoa,
“Ya Allah, cukupkan aku dengan ridha-Mu. Jangan biarkan aku berpaling dari-Mu. Jika ajal menjemput, jadikan aku termasuk hamba yang Engkau cintai.”
Dan malam itu, setelah tahajud panjang, Rindu menutup matanya dengan damai. Tidak ada yang tahu betapa ia pergi dalam keadaan bahagia—bukan karena suaminya, bukan karena anak-anaknya, tapi karena hatinya sudah penuh oleh cinta Allah.
📖 Tamat
Epilog – Cermin dari Kisah Rindu
Kisah Rindu adalah kisah tentang seorang wanita yang hidupnya penuh ujian. Ia pernah dikhianati, ditinggalkan, diperlakukan tidak adil, bahkan harus memikul beban yang seharusnya bukan tanggung jawabnya. Namun, dari semua kepedihan itu, ia tidak pernah berhenti untuk bersabar dan berusaha ikhlas.
Ia mengajarkan kita bahwa:
-
Kesabaran bukan berarti tidak pernah menangis.Rindu menangis berkali-kali, bahkan hampir setiap malam. Namun tangisnya tidak membuatnya menyerah, justru mendekatkannya kepada Allah.
-
Ikhlas tidak datang dengan mudah.Ia melewati jalan panjang, penuh luka dan air mata, sebelum akhirnya bisa menerima takdir dengan lapang dada.
-
Bahagia bukan dari manusia, melainkan dari Allah.Rindu membuktikan bahwa manusia bisa mengecewakan, bahkan orang yang paling kita cintai sekali pun. Tetapi jika hati dekat dengan Allah, kebahagiaan tetap bisa ditemukan.
-
Menjadi baik tidak selalu membuat orang lain berubah.Rindu tetap lembut, santun, dan patuh. Namun suami dan anak-anak sambungnya tidak selalu menghargai itu. Kebaikan bukan untuk mengubah orang lain, tapi untuk menjaga hati kita tetap lurus di hadapan Allah.
Pada akhirnya, Rindu pergi dengan tenang, meninggalkan dunia yang penuh luka dengan hati yang sudah sembuh oleh iman. Ia mengajarkan kita bahwa sejatinya hidup ini bukan soal bagaimana orang lain memperlakukan kita, tetapi bagaimana kita memilih untuk memperlakukan ujian dengan sabar dan ikhlas.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda