“Dinding Hijau Sang Penenun Waktu”
Lihatlah,
pada dinding bumi yang menjulang itu,
ada kisah purba yang diam-diam berdoa dalam lumut,
ada angin yang menulis surat pada tiap tebing,
dan ada rahasia langit
yang disimpan di sela-sela lembah hijau tua.
Gunung ini —
bukan sekadar tumpukan tanah dan batu,
melainkan dada bumi yang masih berdegup,
membisikkan nyanyian hijau
tentang kehidupan yang tak pernah letih tumbuh.
Setiap lekuknya seperti guratan pena Sang Pencipta,
menoreh kisah ribuan tahun,
tentang hujan yang jatuh sebagai doa,
tentang matahari yang mencumbu daun-daun muda,
tentang waktu yang tak henti menua
namun selalu indah dalam luka dan warna.
Di bawah sana,
pasir keemasan terbaring dalam tenang,
mendengar desau ombak
yang datang dan pergi tanpa pamit.
Ia tahu —
bahwa segala yang indah pun akan berlalu,
namun tak ada yang benar-benar pergi
selama masih tersimpan dalam pandangan mata dan jiwa.
Awan menggantung rendah di puncak,
seperti selimut lembut bagi raksasa yang tertidur.
Mereka menutupi kepala gunung
agar rahasia langit tak mudah terbaca.
Mungkin di balik kabut itu,
ada mata air yang memantulkan bintang,
atau mungkin —
ada hati yang sedang belajar melepaskan.
Warna merah tanah di kaki tebing
bercerita tentang luka,
tentang waktu yang membakar,
namun menumbuhkan harapan baru.
Hijau dan merah saling bertaut,
seperti kehidupan dan penderitaan
yang tak pernah benar-benar bisa dipisahkan.
Ah, betapa agung ciptaan ini —
bukan hanya indah di mata,
tapi juga menyadarkan hati:
bahwa setiap yang tinggi pernah rendah,
setiap yang hijau pernah gersang,
dan setiap yang abadi
bermula dari yang sementara.
Maka biarlah aku duduk di tepi pantainya,
menatap dinding hijau itu dengan diam,
mendengar bisikan lembah yang lembut,
dan membiarkan angin mengajarkan aku
cara menjadi tenang,
meski dunia di dalam dada
tak henti bergemuruh seperti ombak.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda