Senandung Cinta di Taman Keabadian
Di antara taman yang hening,
kubangun rindu dari langkah yang menapak pelan,
mengikuti jalan batu yang menuntun pada istana kenangan—
tempat cinta berdiri tegak di antara langit dan bumi.
Angin berbisik di sela pepohonan,
membawa aroma tanah dan bunga yang menua bersama waktu,
dan di hadapan mata, bangunan megah itu tersenyum,
seolah tahu, betapa hatiku telah lama berziarah padamu.
Kubayangkan engkau berdiri di gerbangnya,
berbalut cahaya sore yang lembut,
rambutmu menari bersama bayangan senja,
dan aku—terpaku, tersihir, terhenti di pusaran pesonamu.
Langit biru memantulkan namamu di permukaan air,
seolah semesta pun turut jatuh cinta,
pada dua jiwa yang tak lagi bertanya
tentang waktu, jarak, atau siapa yang lebih mencinta.
Kubah megah di atas sana,
menyimpan rahasia doa-doa yang tak pernah usai,
dan setiap lekuk dindingnya,
seperti ukiran hatiku yang memahat namamu tanpa jeda.
Cinta kita, barangkali bukan kisah singkat,
ia seperti bangunan tua yang menantang waktu,
menghadapi hujan dan panas,
namun tetap berdiri gagah karena fondasinya: keikhlasan dan doa.
Aku ingin menjadi bayanganmu di kolam itu,
menyatu dalam pantulan indah yang tak terpisah,
walau dunia berubah,
biarlah cinta kita tetap utuh, seperti cermin yang memantulkan abadi.
Malam nanti, bila bintang turun di atap istana cinta ini,
izinkan aku berdoa dalam diam—
semoga engkau tetap menjadi arah sujud hatiku,
dan rumah megah itu,
menjadi saksi bisu dari janji:
Aku mencintaimu, di dunia hingga ke keabadian.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda