13 November 2013

BELAJAR DIAM


Ada pengalaman berharga saat aku aktif mengikuti hiruk pikuknya Grup di FB yang bernama Grup Bupati Tegal 2014-2019. Saya tertarik mengikutinya karena ingin tahu ada apa disana. Pada awalnya saya enjoy-enjoy saja, sebab tidak ada yang kuanggap serius komentar-komentar para anggotanya. Namun menjelang pilbup, grup tersebut mulai memanas, karena hawa-hawa “menyeramkan” mulai mengganggu kenyamanan saya disana. Kata-kata kotor mulai banyak mewarnai komentar-komentar para anggotanya. Kata makian, hujatan, hinaan, bahkan fitnahan mulai menyerang pendukung lawan-lawannya. Yang paling sering dihina dan difitnah adalah paslon Fikri-Kahar, dimana Fikri-Kahar adalah paslon yang diusung oleh partai PKS, Hanura, Buruh, dan PKNU. Seperti kita ketahui, PKS saat ini sedang dihajar habis-habisan oleh media dengan pemberitaan yang sangat menyakitkan, dan itu berimbas pada pilbup kemarin, 27 Oktober 2013, dimana para pendukung lawannya memanfaatkan “jatuhnya” PKS dengan komentar-komentar yang menyinggung perasaan para pendukung dan relawan Fikri-Kahar, seperti ungkapan Wahabi, Sapi, LHI, Fustun, Fathanah, Yahudi, gambar-gambar porno, dan lain-lain menjadi makanan sehari-hari pendukung Fikri Berkah (singkatan dari Fikri Bersama Kahar).

Beberapa pendukung Fikri Berkah pun mulai tersulut emosinya, salah satunya saya. Kebanyakan para pendukung dan relawan Fikri Berkah yang sudah senior (baca: tertarbiyah dengan baik) lebih memilih diam saja, tidak terpengaruh dengan komentar-komentar mereka yang menjatuhkan. Tapi bagi simpatisan seperti saya, bagi saya kata-kata mereka yang sudah kelewatan dan tidak bisa ditolerir, memicu saya untuk membalasnya. Sebenarnya saya tahu, membalas komentar mereka hanya percuma saja, sebab komentar sampah jika dibalas dengan komentar sampah ya gak ada bedanya. Tapi mungkin karena dasar sifat saya yang tidak mau kalah dan tidak sudi dihina terus-terusan, membuatku ingin komentar sesukaku, untuk menumpahkan kemarahan yang sudah sampai ke ubun-ubun. Saking marahnya, saya katakan “BODO” dan “BODONG” bagi mereka yang menghina Fikri-Kahar, PKS, dan saya pribadi. Puas rasanya sudah ngatain mereka BODO dan BODONG. Tapi sudah ditebak, mereka jadi kebakaran jenggot dan menyebutku sebagai sesuatu yang sangat tidak berharga. Sakit memang, tapi itu akibat kesalahanku sendiri, gara-gara tidak mampu menjaga lidah. Kata-kata dan postingan status di grup itu pun jadi penuh dengan hinaan. Hanya bedanya, kini aku yang lebih banyak dihina, bukan paslon Fikri Berkah lagi. Mereka sudah mulai buka kartu dengan isi hati mereka, dengan ungkapan-ungkapan simpatik pada orang-orang PKS yang dikenal lembut, ramah, dan bersahaja, kecuali aku (^_^). Melihat komentar-komentar mereka yang mulai bernada simpati kepada PKS, bisa kuambil kesimpulan: sebenarnya mereka suka dengan PKS, yang membuat mereka benci dengan PKS adalah karena mereka sudah terpengaruh oleh pemberitaan media yang sangat ironis dengan visi misi PKS, sehingga kini PKS dianggap partai yang hipokrit dan munafik.

Kembali ke awal, setelah mereka tak henti-hentinya menyudutkanku, bahkan mereka tak segan-segan memposting gambar-gambarku dengan ungkapan-ungkapan yang membuatku malu, aku mencoba untuk diam dan tidak menggubrisnya. Satu-satunya cara untuk bisa diam dan tidak bisa berkomentar lagi, aku keluar dari grup itu. Sebab jika aku masih jadi anggota grup itu, khawatir aku tergoda untuk cuap-cuap lagi. Ya kalau komentarnya baik, kalau tidak? Bisa-bisa aku akan sama dengan mereka, hanya bisa memenuhi kotak komentar dengan komentar-komentar sampah. Dan Alhamdulillah, sekarang hawa panas pun mulai reda, terbukti tak ada lagi yang peduli dengan postingan-postingan yang menghinakan aku. Hal ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagiku, bahwa cara terbaik mengatasi itu semua hanyalah dengan DIAM. Sebab, dengan membela mati-matian atau berkomentar sebagus apapun tetap tidak akan berpengaruh bagi hati yang sudah dipenuhi dengan kebencian. Benar kata Rasulullah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik atau diam”.

Saya pun jadi ingat dengan nasihat Pak Mario Teguh: “Belajarlah untuk diam. Heningkanlah hatimu dan tenangkanlah pikiranmu. Semuanya menjadi lebih jelas di dalam kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda