Pagi itu, suasana terasa berbeda. Rumah dipenuhi keluarga dan tetangga yang datang membawa senyum, doa, serta harapan baik. Namun di dalam hatiku, ada ruang kosong yang tak tergantikan—kehadiran ibuku. Meski raganya tak lagi ada, aku yakin doanya mengalir dari jauh, menembus langit, mendampingi langkahku menuju ikatan suci.
Dari kejauhan, aku mendengar suara riuh. Suamiku datang. Dengan jas hitam rapi dan peci di kepalanya, ia tampak gagah dan penuh keyakinan. Wajahnya memancarkan ketenangan, meski aku tahu hatinya pasti berdebar sama seperti hatiku.
“Bismillah,” lirihnya saat melangkah masuk, ditemani para keluarga dan sahabat yang setia mendampingi.
Ketika ia duduk di hadapan penghulu, suasana seketika menjadi hening. Semua mata tertuju padanya. Penghulu pun mulai mengucapkan ijab, dan dengan suara mantap suamiku menjawab qabul:
“Saya terima nikahnya… dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Para saksi langsung berseru, “Sah!”
Detik itu juga, air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Ada rasa haru, bahagia, sekaligus kerinduan yang begitu dalam. Seandainya ibuku hadir, aku ingin sekali melihat senyumnya menyaksikan momen ini. Tapi aku yakin, dari alam sana, beliau sedang tersenyum, merestui kami.
Aku menatap suamiku yang kini resmi menjadi imamku. Dalam senyumannya, aku menemukan janji: untuk selalu berjalan bersama, saling menjaga, dan saling menguatkan dalam setiap suka dan duka.
Hari itu, bukan hanya aku dan dia yang bersatu, tapi juga doa-doa orangtua yang mendahului, menyatu dengan restu keluarga yang hadir. Dan langit menjadi saksi, bahwa cinta kami diikat oleh janji suci yang insyaAllah abadi sampai akhir hayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda