15 Februari 2010

Etika Berderma

ETIKA BERDERMA


Berderma (infak atau sedekah) merupakan kewajiban agama dan sosial yang menjadi bukti validitas keimanan dan ketakwaan seseorang (QS. Al-Baqarah [2]: 177). Sebagaimana jenis ibadah lainnya, agar dinilai sebagai sebuah kebajikan di sisi Allah, maka berderma haruslah memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT beserta Rasul-Nya. Ketentuan itu antara lain :


Pertama, niat ikhlas guna meraih ridha Allah. Niat ini ditandai dengan tidak mengharapkan balasan sekecil apapun, walau sekadar ucapan terima kasih dari si penerima derma (QS Al-Insan [76]: 9). Amal perbuatan adalah bentuk lahiriah yang tampak, sedangkan ruhnya adalah ikhlas. Karenanya beramal hendaknya tidak diikuti dengan ucapan seperti, “Saya sudah berjasa”.


Sesungguhnya si penerima derma pun punya jasa atas praktik saling memberi ini. Ketika seseorang menerima derma dari orang lain, pada hakikatnya ia telah membantu menyucikan harta si pemberi derma (QS Al-Layl [92]:18). Dan itu menjadi penyebab semakin berlimpahnya harta dan berkurangnya dosa si pemberi karena curahan ampunan Allah SWT (QS At-Taghabun [64]: 17).


Kedua, berderma harus dibingkai dengan sikap penuh kerendahan hati dan kesantunan, bukan sikap yang sekiranya dapat melukai hati penerimanya (QSAl-Baqarah [2]: 264).


Ketiga, berderma bukan hanya pada saat lapang dan senang, namun juga pada waktu menderita kesusahan dan kesempitan. Inilah ihsan (QS Ali Imran [3]: 134), puncak kebajikan seorang hamba di hadapan Tuhannya.


Keempat, berderma harus dari harta yang halal, baik sumbernya maupun zatnya. Sebanyak apapun harta yang didermakan, namun jika bersumber dari hasil korupsi, misalnya, tentu tidak akan dicatat sebagai bentuk kebajikan, bahkan justru direkam sbgai bentuk kemungkaran. Rasulullah SAW bersabda, “Sesugguhnya Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci, dan tidak menerima sedekah dari hasil korupsi.” (HR At-Tirmidzi).


Kelima, berderma harus berasal dari harta yang berharga dan kita cintai (QS Ali Imran [3]: 92), bukan dari harta yang kita sendiri sudah enggan untuk memilikinya, memakainya, atau mengonsumsinya (QS Al-Baqarah [2: 267]. Misalnya, berderma dengan makanan yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Atau, mendermakan pakaian yang sudah tidak layak pakai, yang kita sendiri merasa tidak pantas untuk memakainya.


Oleh karena itu, adalah sikap yang arif jika kaum Muslimin memuliakan dan menghormati orang yang berhak menerima derma, sebagaimana memuliakan diri sendiri. Dengan cara yang demikian itu, si penderma akan dimuliakan oleh Zat Yang Maha Mulia dengan kemuliaan yang hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda