10 Mei 2010

Dialog Dengan Diari


Dialog Dengan Diari

01 April 2010 jam 1:50

Kenapa? Tak salah aku merasa bahwa simpatiku padanya wajar-wajar saja. Aku tak berani mengelak, pun juga menebak-nebak. Hanya ada rasa ini yang selalu ku pendam dalam-dalam. Tak ingin aku membuang asa, justru ingin ku biarkan rasa ini tetap bersemayam di dada. Sebab apa? Indah terasa. Sungguh, aku tak berharap apa-apa, sekedar memaknai saja apa yang sering kali membuat dadaku mendegup. Sebuah rasa yang aku sendiri tak tau kenapa hanya padanya. Seolah hati ini bergejolak hanya ketika ada dia, bukan keberadaan yang lain.

Tidakkah kau merasa rugi? Apa yang kau dapatkan? Sementara dia tak tahu ada apa dengan rasamu padanya. Sudah sewajarnya seberkas kasih ingin diketahui oleh orang yang dikasihinya. Jika hanya menyandang status pemuja rahasia, adakah kau beroleh keuntungan? Tak ingin kau tentunya jika kasih ini hanya bernamakan kasih yang tak sampai.

Tidak, sahabat. Tak perlu kau merasa cemas dengan yang ku rasakan. Rasa ini tak sepilu yang kau bayangkan. Walau dalam ceritanya aku sering kali tenggelam, terkulai pedih dalam lautan yang dalam, menyelami kisah tentang kasihku yang tak sampai, lalu ku bagi denganmu di dentingan waktu sepi dalam kepingan-kepingan malam bersamamu, terurai bersama lembaran putihmu yang lapang. Ijinkan aku…

Tapi, kadang tak sanggup ku pandangi wajahmu yang seketika itu berbalur kepedihan. Walau tak jarang ku tatap dua pasang matamu yang berbinar terang. Dan semangatmu kala itu yang menggebu, mengalirkan untaian dari ujung penamu yang seolah tak mau berhenti jua. Tentu aku mengijinkan. Betapa senangnya kau menemaniku di heningnya malamku. Mencurahkan segala yang kau rasa dengan terbuka. Aku bahagia menjadi sahabatmu. Tak ada perjanjian dalam persahabatan kita. Hanya satu, cukup kepercayaan.

“Terima kasih.” Jawabku sembari membetulkan lipatan di ujung kertas diariku. Kau tahu? Ia terlalu indah bagiku. Sebuah investasi cinta yang abadi dan takkan pernah hilang. Betapa susahnya aku meraihnya atau mungkin saja Tuhan belum mengijinkan aku meraihnya. Akan ku biarkan ia selalu menghiasi hariku dalam tarian pena yang akan selalu mengabadi bersama jiwaku yang masih bernafaskan cinta. Tak perlu kau bertanya padaku, kapan semua ini akan berakhir? Tentunya ketika Tuhan tak mengijinkanku lagi untuk bernafas dan memanggilku dalam keabadian yang kekal.

“Yang sedang jatuh cinta”

Dua puluh menit yang lalu aku membuka kembali lembaran-lembaran awal diariku, meniti kembali segala kenangan bersamanya… dan melebur bersama indahnya cerita kala itu… Khayalku mulai melayang …

***

“Far, pulang sekolah ada waktu?” ucapmu mengagetkanku.
Aku menatapmu, sementara tanganku langsung membetulkan jilbabku yang sempat tertiup angin, gugup, aku tak tahu apa yang sedang ku rasa, dalam dadaku mendesir pelan, tak yakin kamu menghampiriku. Aku mengangguk pelan, mengiyakan.

“Insya Allah.” Jawabku.

Begitu bel terakhir berbunyi, kamu merapikan bukumu dan berjalan ke arahku, sesaat kemudian Dewi menghampiri kita.

“Begini Far, kamu kan bendahara kelas, sudah biasa mengurusi keuangan. Bagaimana kalau acara pentas seni kamu juga yang pegang uangnya?” ujar Dewi padaku.
“Boleh, terus kapan kita akan mulai bahas ini?”
“Besok.” Jawabmu singkat, padahal saat itu aku tak bertanya padamu, melainkan pada Dewi, tapi kamu antusias menjawab tanyaku. Aku suka itu.

Sesuai dengan yang aku harapkan. Aku harap, aku bisa menjadi partner-mu di kelas X.1 tercinta. Kamu menjadi ketua dan aku bendaharanya, sedangkan Dewi menjadi sekretaris

“Hufh, lama sekali rasanya menunggu esok hari tiba. Seraya aku menduga-duga kejutan apa yang akan terjadi bersamamu. Betapa senangnya dekat denganmu.

Awalnya aku tak terlalu memperhatikanmu, sejak kita bertemu pertama kali di SMA, setahuku kau hanya salah satu teman sekelasku. Kekagumanku entah dari mana asalnya. Aku menaruh simpati padamu yang ku anggap multi talenta. Aku masih ingat, ketika itu pulang sekolah, tiba-tiba saja motorku macet, tepat sebelum keluar dari gerbang sekolah kita. Kebetulan kamu baru saja keluar dari kelas bersama teman akrabmu Arif. Kamu melihatku yang sedang kerepotan, senyum manismu pun mengembang. Ingin rasanya hati ini meminta bantuanmu, tapi ternyata kamu malah menawarkannya lebih dulu. Betapa berbunga-bunganya hatiku kala itu.

Aku terus menatapmu, entah mengapa sorot mataku tak bisa beralih darimu. Sesekali kamu menoleh ke arahku dan melempar senyum padaku. Keringatmu mengucur deras, namun motorku tak kunjung bisa dibetulkan. Kamu kembali menawarkan bantuan padaku dan menyarankan agar motorku di bawa ke bengkel. Aku langsung saja mengiyakan. Siapa yang tak senang berlama-lama berada di dekat Sang Pujaan Hati. Dan lagi matamu seolah mengatakan sepertinya ingin sekali membantuku. Aku merasa seperti itu, tapi entahlah benar atau salah.

“Far, emang rumahmu dimana?” Kau membuka pembicaraan denganku dengan khas senyummu yang malu-malu. Sementara ku lihat Arif terus saja menyodokkan siku tangannya ke arahmu. Aku bertambah menjadi ke-GeeR-an. Aku pikir mungkin saja kamu sering curhat pada Arif tentangku. Percakapan hari itu pun diakhiri bersamaan dengan motorku yang telah selesai dibetulkan.

Esok harinya kita bertemu lagi di sekolah. Tapi, apa yang ku dapatkan? Aku kira setelah kejadian kemarin, kita bisa jadi akrab. Namun sikapmu tetap tidak berubah. Kita tak pernah ngobrol di kelas, bahkan bertegur sapa. Tiap kali kita berpapasan pasti kamu hanya menatapku, tersenyum simpul malu-malu, dan mempercepat langkahmu.

Aku pun akhirnya lebih malu lagi terhadapmu, tak jarang aku mengalihkan pandangan, sama sekali bukan karena aku tak ingin menatapmu melainkan aku sangat canggung.
Rasa simpatiku padamu bertambah. Apalagi ketika Ibu kita saling bertemu pada saat pengambilan rapor semester satu, ternyata mereka berdua saling kenal. Ibumu dan Ibuku sudah sering bertemu di acara MGMP Bahasa Indonesia. Hal yang kebetulan Ibu kita sama-sama mengajar Bahasa Indonesia di SMP. Semenjak itu, Ibuku menjadi sering memujimu, terlebih kamu menjadi juara di sekolah. Kamu memperoleh peringkat satu paralel, siapa yang tak kenal Adi Saputra? Bahkan semua guru pun mengenalmu. Setiap kali Ibuku, teman, atau bahkan guru kita menyebut namamu, hatiku yang bergetar, entah kenapa, aku tak tahu.

***

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku, kamu dan Dewi beserta teman-teman yang lain membahas teknis untuk acara pentas seni di kelas kita. Aku kebagian tugas membaca puisi, kamu dan Dewi menyanyi duet, sementara yang lain menyiapkan drama, tari kelompok, dan pameran lukisan. Selama rapat pun kita sama sekali tak bercakap-cakap. Kamu mengungkapkan ide dengan lugas di hadapan teman-teman, seperti biasa dengan gayamu yang menurutku penuh wibawa. Sesekali kamu melirik ke arahku begitu selesai bicara. Sedangkan aku lebih banyak diam, dan memperhatikanmu.

Acara pentas seni akhirnya digelar, kamu dan grup band-mu menampilkan sebuah lagu di awal acara, lalu kamu membawakan lagu nasyid dengan sangat merdu. Aku terpana melihatmu waktu itu, hingga aku semangat ingin menampilkan puisi dengan maksimal. Alhamdulillah, aku telah melaksanakannya dengan sangat apik di atas pentas. Penonton bersorak sorai ketika kamu tiba-tiba mengiringi puisiku dengan dawaian gitar.

Sungguh, hal yang sangat mengejutkanku. Padahal selama latihan kamu terlihat cuek terhadapku. Setelah selesai menampilkan puisi, aku langsung menoleh ke arahmu. Ku lihat kamu dan Arif terus memandangiku dengan senyum mengembang, setelah itu kamu mengacungkan jempol ke arahku. Aku sangat menyukainya.

Namun, sesaat kemudian aku tak tahu lagi dengan apa yang sedang terjadi dengan hatiku. Seketika itu hatiku menjadi sesak, tatkala kamu kemudian tampil menyanyi bersama Dewi membawakan lagu yang sangat romantis, sedangkan mata kalian terkadang saling tatap penuh arti. Ah, dadaku semakin tersedak, panas yang ku rasakan, entah mengapa aku ingin sekali marah. Marah padamu! Aku tak lagi punya keinginan mengapresiasi penampilanmu, bagus ataukah tidak. Aku tak betah saat itu melihatmu dan Dewi, sementara penonton yang lain sangat antusias melihat kalian berdua. Aku cemburu…

***

“Braakkk.” Aku tersadar saat diariku telah menyentuh lantai, sementara tangan kananku masih menggenggam pena.

Lalu bagaimana, apa hingga sekarang kau masih memikirkannya?Apa yang kau dapatkan? Hanya lelahnya perasaan bukan? Hatimu tak semestinya bekerja untuk memendam rasa ini yang tak berujung.

Entahlah sahabat, aku tak tahu. Sejauh ini aku tak bisa melupakannya, hanya rangkaian cerita bersamanya yang ku torehkan diatas lembaran putihmu akan selalu menjadi kenangan yang menghiburku, walau terkadang ku rasa pahit. Mungkin saja hingga kelak ku menikah nanti. Mungkin saja… aku belum bisa melupakannya. Bahkan aku berharap dia kelak menjadi jodohku. Kau tahu? Bebanku mungkin melebihi beratnya orang yang pacaran lalu putus, dan kemudian berganti dengan pacar-pacar berikutnya. Mereka bisa dengan mudah melupakan orang yang dikasihinya. Tapi aku berbeda. Ya… tentu saja aku masih berharap dia kelak menjadi jodohku. Bukankah banyak cerita ku dengar, seseorang berjodoh dengan teman SMA-nya? Tak jauh-jauh, hal itu menjadi sesuatu yang mengejutkan dan tak terduga sebelumnya.

***

Sepintas kenangan itu kembali menghampiriku…
Selepas SMA kita tak pernah bertemu lagi, apalagi kita kuliah di kota yang berbeda. Terakhir, kabar yang ku dengar, kamu sudah menikah. Oh, hancurnya hati ini. Rasa penasaranku muncul, dengan siapakah kamu menikah… apakah dengan Dewi? Karena ku dengar sebelumnya bahwa kamu dan Dewi kuliah di tempat yang sama, kemudian kalian benar-benar jadian. Saat itu aku patah hati.

Cukup lama aku menyimpan rasa penasaran. Alhamdulillah… kita dipertemukan lagi di jejaring pertemanan facebook. Ku lihat statusmu telah menikah dengan Maya Wulandari. Tentu saja terjawab sudah, kamu tidak menikah dengan Dewi. Kamu pernah sekali saja mengajakku chatting, “Far, kaifa khaluk?” Kamu menyapaku lebih dulu. Aku bertambah rindu, tapi… TIDAK. Kamu sudah menikah. Aku ingat itu.

“Baik.” Ku jawab tanyamu.
“Di, kenapa menikah nggak kasih aku kabar?” tanyaku padamu kemudian.
“Iya Far, afwan ya aku nggak sempat kasih kabar.” Jawabmu.
Kau tahu, Di? Sekarang kata-katamu berbeda dibandingkan dulu. Kamu jauh lebih agamis. Saat itu kamu bertanya padaku tentang info tes seleksi CPNS di Tegal, kamu bilang ingin mengikutinya. Aku berjanji akan memberi kabar jika ada ada info itu. Tak lupa aku meminta do’a darimu supaya aku segera menyusulmu menggenapkan dien, Insya Allah tahun ini. Terakhir ku baca statusmu di facebook… “Aku ingin menjadi suami yang baik untuk istriku...” . Ah, seandainya istrimu adalah aku, Di…

***

“Mi…., sayaaang…. bangun yuk?, kita tahajud…” Suamiku membangunkanku dengan suara lembut. Ku lihat wajah cerah Abi telah berbasuh wudhu sementara diariku telah ada di tangannya. Mungkin dari tadi aku jadikan bantal, hingga tak jelas bentuknya, lembaran-lembaran kertasnya kusut.
Kami melaksanakan tahajud bersama. Abi hampir selalu membangunkanku saat tahajud tiba. Sejauh ini, aku menilai Abi sangat baik padaku. Pernah aku bertanya padanya…

“Bi, apakah Abi mencintaiku?”, lalu ia menjawab, “Tentu umi… Abi sangat mencintaimu, karena Allah.”
“Bi, apakah Abi menyukai poligami?” tanyaku kemudian.
“Mmmm…. Kalau umi suka, Abi juga suka, gampang kan?” sambil nyengir dan mencubit pipiku.
“Ih… sebel.”

Aku sungguh bahagia memperoleh suami yang sangat baik. Walau pun ia bukanlah cinta pertamaku. Tapi ia adalah cinta sejati yang dianugerahkan Allah untukku. Sudah semestinya aku menutup lembaran lamaku… dan membuka lembaran baru bersama suamiku.
Sore itu, aku membuka Opera di HP-ku. Aku buka facebook, kemudian aku update statusku…. “Aku ingin menjadi istri yang baik untuk suamiku…”

Beberapa menit kemudian, suamiku memberikan aku jempol, tanda “like “ bahwa ia menyukainya. Lesung pipiku terlihat semakin jelas, ku pandangi wajahku lekat-lekat di muka cermin tak jauh dari hadapku. Entah kenapa tiba-tiba aku terbawa suasana, sepinya kamarku sangat mendukung untuk membayangkan teduhnya wajah Abi, saat-saat ia menghiburku, keusilannya padaku yang sering membuatku kesal tapi aku menyukainya, kemanjaannya saat terbentur masalah di kantor lalu menggelayut di pangkuanku dengan mata terpejam beserta hangat nafasnya yang mendengus cepat, ketegasannya saat menegur kecerobohanku tapi sesaat kemudian menyusul kecupan lembutnya yang mendarat di keningku lalu kudapati senyuman darinya, menjadikan cemberutku hilang seketika itu.

Tak lama bulir-bulir bening menetes pelan dari kedua sudut mataku, satu tetes, lalu menyusul tetesan-tetesan kristal bening berikutnya. Tuhan…. inikah rencana-Mu yang telah Kau susun rapi untukku, kenapa tak dari dulu? Senyumku bertambah lebar, dan rangkaian bulir bening pun makin kerap meluncur dari mataku.

“Bulir-bulir ini… kebahagiaan.” gumamku lirih.

Ku raih buku diariku di atas meja. Ku baca kembali catatan-catatan itu. Aku menggeleng-gelengkan kepala, kenapa dulu terlalu ku besar-besarkan rasaku yang semu? Aku terus membuka lembaran demi lembaran diariku, hingga sampai pada halaman kosong. Ku temukan penaku masih terselip di dalam diari, aku menjadi ingin menulis sesuatu, walaupun aku sendiri bingung apa yang hendak ku torehkan.

“Bagaimana dengan yang kau rasa saat ini kawan?”
“Entahlah sahabat, seperti apa yang kau lihat…” aku tersenyum, lalu menutup diariku.
Ah, aku semakin bertambah rindu pada Abi, menanti sepulangnya dari kantor. Tapi, sepertinya terlalu lama menunggu untuk mengungkapkan bertambah besarnya cintaku padanya. Ingin segera aku katakan. Sent Message… ide bagus!

Belahan hatiku, penjaga ketaatanku, i miss u,,,
Umi kq tiba2 rindu sm Abi,, nt hati2 plgnya syg…

Sesaat ku dapatkan laporan terkirim, namun dalam waktu yang hampir bersamaan sayup-sayup nada dering HP Abi terdengar dari balik bantal.

“Hufh… HP Abi tertinggal.”

***

By Anis Nurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda