04 Mei 2010

PESAN TERAKHIR

PESAN TERAKHIR

22 Maret 2010 jam 11:29


Rangga masih tak percaya kalau Raya yang tengah bersandar disamping adalah istrinya. Mengenal saja baru sebulan minggu kemarin. Proses taaruf yang begitu cepat mengantarkannya menuju pernikahan. Raya menyandarkan kepalanya di dada Rangga.

”De...” Rangga agak canggung menyapa.

Dari gelagatnya Raya seolah menyimpan rasa tak suka dengan sapaan itu. Tatapannya seakan menangkap kesan kalau ia berkata, Masa istri disapa De? Aku ini bukan adikmu. Aku ini istrimu. Tapi ungkapan itu tidak terucap di bibir Raya. Mungkin ia hanya ingin tahu seberapa mengertikah suaminya ini mengerti keinginannya.

”Kok diam, De?” kata Rangga.

Raya hanya terdiam. ”Yah De lagi. Cobalah kau pasti bisa, sayang.” bisiknya masih dalam hati. Raya sebenarnya kesal. Tapi di sisi lain agak kasihan juga melihat suaminya terlihat agak gugup.

”Kalau aku panggil sayang... ” ia berhenti sejenak ”aneh nggak?” lanjut Rangga malu-malu beberapa saat setelah itu.

”Rasulullah memanggil Aisyah dengan Yaa Khumairah. Kan Mas bisa belajar dari Rasul.”

”Jadi aku panggil kau sayang atau Yaa Khumairah. Begitu?” ucapnya masih malu-malu. Padahal Rangga sebenarnya termasuk lelaki yang mudah ramah sama semua orang, apalagi perempuan. Tetapi kenapa tidak pada Raya? Ia tak tahu.

”Ya, karena aku bukan adikmu. Aku istrimu,” ungkap Raya. Akhirnya Raya membicarakan yang selama ini tersimpan dalam hati. Sebab kalau lama-lama disimpan, mungkin akan lama juga ia akan mendengar sapaan sayang dari suaminya. Sebuah sapaan yang begitu dirindukannya di malam pertama. Berawal dari situlah kedekatan mereka tampak mulai karib. Yang lebih menyenangkan di malam itu, ialah Rangga sudah bisa memanggil istrinya dengan sapaan sayang.

***

Pagi cerah. Matahari tampak indah. Ini pagi pertama setelah mereka menikah. Kebekuan itu sudah mencair juga dalam waktu yang singkat: semalam!

“Sayang, kok kopinya kurang manis?” ucap Rangga setelah menyeruput kopi buatan Raya. Di pagi pertama Raya membuatkan suaminya kopi.

”Ah, masa sih. Perasaan Raya cukup kasih gula,” jawab Raya. Ia yakin takaran gula dan kopi sudah pas. Sebab Raya paham benar bagaimana cara menyeduh kopi. Bahkan saat sebelum menikah, Raya kerap membuatkan ayahnya kopi. Dan selalu pas. Sampai-sampai ayahnya kerap meminta Raya membuatkan kopi buat ayahnya.

”Coba deh,” Rangga memberikan kopi kepada Raya dan mempersilahkan mencicipi kopi yang dibuatnya.

”Manis kok. Mas habis makan kue?” Raya meyakinkan Rangga.

”Ah, nggak kok,” ucap Rangga ringan.

”Tapi ini sudah pas Mas manisnya?”

”Masa sih? Coba sini Mas coba lagi?” Raya memberikan lagi kopi itu kepada suaminya. Rangga mencari-cari bekas bibir Raya yang menempel di cangkir kopi. Rangga menyeruput kopi di bekas bibir Raya.

”Nah, kalau yang ini baru manis. Bahkan jauh lebih manis jika diminum sambil memandang istriku yang paling cantik !”

“Auw!” Cubitan mendarat tiba-tiba di pinggang Rangga.

”Ngerjain ya! Awas ya...”
***
Empat bulan kemudian....

”Mas aku hamil. Kalau aku ngidam boleh ya...”

Raya ngidam? Kalau iya, Rangga mesti siap-siap repot. Sebab biasanya keinginan istri ngidam itu macam-macam. Bahkan sampai pada permintaan yang tidak mungkin. Tono, teman kantornya punya istri yang saat ngidam benar-benar membuatnya repot. Betapa tidak, istrinya ngidam ingin bertemu Hero Jo Jung, bintang film drama Korea. Istrinya Gatot lebih merepotkan lagi. Saat ngidam malah ingin naik haji. Sementara Rangga mencoba menerka-nerka, kira-kira istrinya mau ngidam apa ya...?

”Mas, mau bakso... panggilin...” ujar Raya manja saat di depan rumahnya lewat tukang bakso dengan gerobaknya. Rangga lega. Ternyata, pikirnya, Raya hanya ngidam bakso. Akhirnya ia pun sempat-sempatkan menggoda istrinya.

”Sayang...jangan ganggu abang itu. Dia kan lagi usaha,” ucap Rangga mengalir lancar seperti tak punya dosa.

”Ye..lagian siapa yang mau ganggu. Raya cuma mau bakso. B.A.K.S.O!” ujarnya sambil menyubit pinggang suaminya manja.

”Auw! Sakit.....”

“Panggilin nggak?”

“Iya ya ya....panggilin. Bang bakso Bang! Tiga!!”

“Loh kok tiga?”

“Kan buat kamu, aku dan sang pangeran!” ucap Rangga sambil menunjuk perut Raya. Tapi pada akhirnya tiga mangkok bakso itu yang lebih banyak menghabiskan adalah Raya, sehingga Rangga merasa dugaan kalau istrinya ngidam bakso adalah tepat!

”Mas, kayaknya Raya ngidam bakso deh. Besok makan bakso lagi ya. Tapi Mas yang buatin baksonya. Harus lengkap sama gerobaknya.”

”Hah...?” Prediksi itu ternyata meleset jauh.
***
Sejak pernikahannya dengan Raya, Rangga memang merasakan sesuatu yang beda. Hidupnya berubah. Kebahagiaan menyeruak. Lebih bahagia lagi ketika usia kandungan Raya sudah menginjak bulan ke sembilan. Itu artinya, sebentar lagi ia akan menjadi ayah. Bahkan demi menuruti permintaan istrinya saat ngidam, ia rela kursus sama abang bakso langganannya untuk mengajarinya bikin bakso.
Pagi itu, seeekor kupu-kupu terbang depan rumahnya. Sesekali menempel di tembok. Mengepakkan sayap perlahan. Terbang lagi dan menempel lagi di dinding. Kali ini diam. Tak ada kepakkan sayap. Hingga akhirnya terdengar suara salam menyapa.

”Assalamualaikum...” terdengar suara seorang ibu berusia paruh baya.

”Waalaikumussalam.” Rangga seperti mengenal itu. Sayang, ingatannya tak begitu bagus untuk mengingat. Namun rasa penasarannya terjawab ketika ibu itu memperkenalkan diri sebagai ibunya Rahma Syifa.

Dug! Jantung Rangga mendadak berhenti sesaat setelah mendengar nama itu. Nama yang baru saja terdengar telah mengantarkannya kembali pada masa lalu. Masa ketika ia benar-benar mengharapkan Rahma menjadi istrinya. Bahkan yang sampai sekarang tak dimengerti, setiap kali dulu ia memintanya menikah, Rahma malah.... menangis!
”Rahma...Rahma sekarang dirawat. Ia selalu menyebut-nyebut nama Rangga dalam ketidaksadarannya. Kalau boleh ibu minta tolong, temui Rahma,” perempuan itu memecah lamunan Rangga saat menncoba menjelaskan kondisi putrinya.

”Kata dokter, Rahma perlu orang-orang terdekat yang disayanginya.”

Raya mendengar percakapan itu dari balik pintu ruang tamu. Mata Raya mendadak kaca. Entah air mata apa yang mengalir itu. Air mata keprihatinan ataukah kecemburuan. Cemburu pada kisah masa lalu suami yang seharusnya ia tak perlu tahu.

Sebuah keputusan besar harus diambil segera. Rangga prihatin mendengar kabar Rahma. Apakah itu sebuah pertanda, kalau ia masih mencintainya. Tapi ia sudah beristri, tak mungkin baginya mencintai perempuan lain selain istrinya kini. Sungguh dilema. Menuruti permintaan Ibu Rahma ataukah tetap tinggal menemani istrinya karena sebentar lagi akan melahirkan? “Allah, kau hadapkan aku pada dua pilihan yang rumit. Berikanlah aku jalan keluar,” Rangga memanjatkan doa dalam hati.

”Ibu minta tolong, sama Rangga. Temui Rahma di Jakarta. Ia selalu menyebut-nyebut namamu,” pinta ibu Rahma itu penuh harap.

Raya sampai hampir lupa kalau ia harus segera menjamu tamu dengan secangkir teh yang baru saja dibuatnya. Buru-buru ia mengelap pipinya yang basah. Kini tangannya memegang nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring pisang goreng. Lalu berjalan menuju ruang tamu menemui tamu dan suaminya. Bekas mata tangisan masih terlihat jelas. Rangga menangkap kesan itu. Firasatnya mengatakan kalau istrinya sudah mendengar percakapan itu.

”Ya, saya sudah mendengar semuanya, Mas. Sebagai perempuan, Raya merasakan bagaimana perasaan Ibu Rahma dan juga Rahma yang sedang terbaring di rumah sakit. Sekarang pergilah, temui Rahma,” Rangga sama sekali tak menyangka akan mendengar apa yang baru saja terucapkan di bibir Raya.

”Barangkali saja, kedatangan Mas ke sana bisa ikut membantu kesembuhan Rahma. Niatkan saja untuk menolong,” ujar Raya kalem.

”Tapi, kamu kan...?”

”Nanti saya minta adik saya menemani saya selama Mas di Jakarta. Sekarang Mas pergi saja, temui Rahma. Insya Allah saya akan baik-baik saja Mas,” Raya mencoba meyakinkan suaminya kalau dirinya akan baik-baik saja jika memang Rangga jadi pergi.

Berat sebenarnya bagi Rangga, tapi kata-kata istri tercintanya membuat ia agak sedikit ringan melangkah. Akhirnya Rangga pun pergi bersama Ibu Rahma ke Jakarta. Rasa tak enak juga hinggap di hati Ibu Rahma lantaran kehadirannya mungkin akan menambah masalah baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tapi ia sendiri juga tak tega melihat Rahma yang terus menerus menyebut nama Rangga dalam ketaksadarannya. Sehingga tak ada cara lain, selain menghadirkan Rangga di sisinya, meski harapan itu amatlah tipis. Tapi diam-diam Ibu Rahma juga lega sekaligus bangga setelah mendengar ketulusan ucapan Raya yang mengijinkan Rangga suaminya pergi ke Jakarta menemui Rahma.

***
Seorang gadis terbaring di bangsal rumah sakit. Wajahnya pucat. Selang inpus dan jarum menusuk kulit lengannya. Dia adalah Rahma. Bibirnya tiba-tiba bergerak mengucapkan sesuatu. ”Kak...?” Rangga bergetar. Ia begitu iba melihat Rahma, gadis yang sempat dicintai (bahkan cinta itu masih ada dibenak Rangga sekarang) lemah tak berdaya. Tangannya bergerak-gerak. Seperti ingin meraih sesuatu.

”Sudah sudah, jangan bergerak dulu. Ka Rangga sudah di sini. Cepat sembuh ya...” ucap Rangga.

”Terima kasih Kak sudah datang...” ujar Rahma lirih.

Ibu Rahma tampak senang. Kedatangan Rangga membuahkan hasil perkembangan putri tercintanya. Rahma sadar setelah sebelumnya koma selama sepuluh hari. Siuman setelah kehadiran Rangga. Pelan-pelan dari bibir Rahma terujar suara yang amat lirih.

”Kak maukah aku katakan sesuatu sama kakak...?”

“Mungkin waktuku sebentar lagi, aku hanya mau bilang kalau sebenarnya aku....” tiba-tiba kata-katanya terhenti. Seperti berat namun harus tetap diucapkan.

“Mencintai kakak...” Hati Rangga berdesir mendengar pengakuan langsung dari Rahma. Sebuah kata yang sempat ia ucapkan dulu kepadanya.

Ya, ketika itu Rahma hanya bisa menangis setiap kali Rangga mengungkapkan perasaannya. Menangis karena sebelumya ia telah menerima vonis kalau hidupnya tak akan lama lagi. Diagnosa dokter memvonis kalau detak jantungnya hanya akan bertahan selama seratus hari. Dan kini masa-masa itu sepertinya akan benar-benar datang menjemput Rahma.

”Aku tahu kakak akan menanyakan sikapku dulu. Aku takut mengecewakan kakak, karena waktu hidupku tidak lama lagi. Tapi aku sudah cukup bahagia melihat kakak menikah dengan Kak Raya. Aku bahagia bisa pergi dengan Kakak berada di sampingku sekarang...”

“Ssttttt nggak boleh bilang gitu,” ujar Rangga lembut.

“Kak...” suara itu masih lirih terdengar. Setelah itu, bibir Rahma tak bersuara. Rahma tak bergerak lagi. Screen pengatur detak jantung bergerak lurus tak bergelombang. Ranggapun bergegas memanggil dokter. Dalam hitungan detik, dokter langsung bergerak menangani Rahma yang tengah kritis. Rangga dan ibunya diminta keluar ruangan. Mereka tak diperkenankan masuk ruang perawatan. Air mata Ibu Rahma menetes. Rangga tak bergerak sedikitpun. Doa keselamatan tak putus-putus dipanjatkan keduanya.

Sementara dalam ruang perawatan dokter tampak sibuk untuk menyetabil-kan kondisi Rahma yang kritis. Alat kejut jantung dikeluarkan untuk memancing kesadaran Rahma. Berkali-kali mencoba mengejutkan tapi tak menuai hasil. Dokter baru benar-benar berhenti saat gelombang pengatur detak jantung itu benar-benar... lurus!

Tak lama kemudian seberkas cahaya medekati tubuh Rahma yang sudah tak bergerak. Cahaya itu menyusup menembus jantung Rahma. Tak ada yang menyaksikan itu, bahkan dokter dan perawat sekali pun yang berada dalam ruang perawatan. Semua terjadi begitu cepat. Hingga beberapa saat kemudian, gelombang lurus itu perlahan-lahan membentuk riak-riak kecil hingga membentuk lintasan gelombang.

“Dok dok..pasien?” tanya salah seorang perawat yang kebetulan melihat perubahan gelombang pengatur denyut jantung. Dokter pun langsung menghampi-ri pasien yang tak lain adalah Rahma untu memeriksa perubahan positif yang mendadak menghampiri Rahma.

“Subhanallah, detak jantung itu menunjukkan detak jantung normal. Tidak ditemukan indikasi jantung basah pada Rahma,” kata dokter. Detak jantung Rahma benar-benar normal. Akhirnya dokter memutuskan memberi vonis sembuh untuk Rahma!

Kabar itu sampai ke telinga ibu Rahma dan Rangga. Allahu Akbar! Allah telah menunjukkan kekuasan-Nya, pekik Rangga dalam hati. Matanya basah. Begitu juga dengan Ibu Rahma yang langsung memeluk anaknya yang masih terbaring di bangsal.

“Rangga... Rahma sembuh Rangga. Rahma sembuh!” Rangga tampak senang. Ia tersenyum bahagia atas kabar itu. Suasana mendadak hening. Hingga terdengar ujaran dari seorang Ibu Rahma. Terujar di luar kesadarannya.

“Ibu melihat Rahma begitu mencintaimu. Ibu bisa lihat itu. Maukah kau menikahi Rahma?” tanpa sadar terucap kata-kata itu dari Ibu Rahma. Sudah sejak lama sebenarnya Ibunya Rahma menginginkan Rangga menjadi menantunya. Sudah berkali-kali pula membujuk Rahma, tapi Rahma tetap berkeras. Meski mencintainya, tapi ia tak mungkin hidup bersama Rangga dengan alasan waktu hidupnya tak lama lagi.

Rangga benar-benar terkejut mendengar kata-kata itu. Ibu Rahma pun merasa bersalah telah keceplosan bicara yang seharusnya tak terucap di lisannya. Rangga masih diam. Pilihan itu bukannya tak mungkin bisa diterimanya, tapi ia baru saja memiliki Raya, istrinya. Meski sebenarnya ia juga masih mencintai Rahma. Saat perasaan Rangga masih tak menentu, tiba-tiba handphonenya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Dari Raya, istrinya. “Assalamualaikum. Mas, kau sudah jadi ayah. Anak kita perempuan.”
Tegal, 4 Maret 2009


By : Ali Irfan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda