oleh Leutika Publisher pada 28 Desember 2010 jam 12:58
Tak cukup “Mari Berkarya!”
Di balik penyederhanaan paket LeutikaPRIO
Steve dan Laura sama-sama lahir dari ayah-ibu yang sama, di rumah sakit yang sama, dari rahim yang sama (tentu), dengan waktu kelahiran yang hanya berselisih 3 menit saja. Di sebuah tempat perbelanjaan, keduanya dihadapkan dengan dua sweter tebal berwarna merah. “Cantik,” tukas Laura. “Ya, aku menyukainya,” Steve turut menilai.
Keduanya sepakat membelinya. Si sulung Steve langsung mencabut sweter dari gantungannya, membawanya ke kasir, sedangkan si bungsu Laura masih memandanginya dengan cermat. Disentuhnya sweter tersebut, dirabanya bagian punggung, bagian kepala, lengan, hingga kemudian dia menemukan sedikit cacat pada rajutannya… Ia urung membeli!
Sesampainya di rumah, apa yang terjadi?
“Waw, kenapa aku tak melihat kerusakan ini saat masih di toko?” Steve mencela. Sweter hasil beliannya terdapat cacat di jahitan bagian piggirnya, dan tidak ia sadari saat awal-awal melihatnya. Laura diam, ia hanya bisa menahan senyum mendengar umpatan demi umpatan Steve yang tak henti mengolok-olok, “Betapa buruknya aku dalam mencermati sebuah kecantikan.”
Di dunia ini, perempuan mempunyai cara pandang terhadap kecantikan yang sangat sempurna. Mereka sanggup menggerakkan otak kiri dan kanannya untuk menilai cantik dan tidaknya sebuah benda. Sedang laki-laki, cenderung hanya memakai otak kanan saja.
Ya, laki-laki cukup melihat bentuk tubuh dan kecantikan wajah saja, sedang perempuan mampu melihat lebih detail hingga batas yang tak dipikirkan kaum laki-laki, seperti, “Apakah kuku nona cantik itu secantik wajahnya?” “Apakah kedua telapak kakinya tidak sekeras musim kemarau?” “Apakah di bagian kakinya tidak tumbuh bulu-bulu kelinci?” “Apakah ia mengganti kaus kakinya setiap hari?”
Begitulah….
Dalam cara pandang sebuah karya, hal seperti di atas pun terjadi. Ada bebeberapa orang yang hanya memakai otak kanannya untuk menikmati sebuah karya—baik itu cerpen, novel, artikel kontemplasi, atau bahkan puisi, dan ada juga yang menggerakkan kedua otaknya untuk menakar muatan kualitasnya.
Hasilnya, orang pertama cukup memandang sajian luar dan emosi yang didapat dari bacaannya, sedang orang kedua mencari hingga batas bagaimana tatanan buku tersebut, apakah tidak ada kesalahan ketik, apakah EYD berlaku dalam penerapan bahasanya, hingga menimbang seberapa orisinal ide yang ditawarkan, apakah tidak ada pendahulu yang terlebih dulu menggagas karya semacam itu, dan apakah-apakah lainnya.
Dari pengertian di atas, maka salah satu tugas kreator adalah mengantisipasi, jangan sampai karya hasil ciptaannya terdapat kesalahan yang mengganggu.
Pentingnya sebuah kualitas dan totalitas dalam berkarya, tentu tidak bisa dibantah lagi. Masih ingat dengan kalimat kreator yang baik adalah orang-orang yang berani berbuat lebih untuk karyanya?
Tanpa berniat mempersempit pilihan teman-teman dan cenderung mempertimbangkan hal-hal di atas, akhirnya LeutikaPRIO berkeinginan untuk meniadakan paket “Mula-mula” dan “Rata-rata” yang dalam prosesnya, tanpa melewati editing aksara.
Sebagai industri penerbitan, LeutikaPRIO berhadapan dengan dua konsumen, yakni penulis (yang menyetorkan hasil karyanya) dan pembeli (yang kemudian menikmati sajian karya tersebut).
Untuk konsumen dari kategori pertama ini, tentu akan muncul keterbatasan dalam memilih paket yang diinginkan. Akan tetapi, bagi konsumen kategori kedua akan muncul kepuasan dalam membaca hasil karya yang dia beli. Di mana dia membaca sebuah buku hasil karya konsumen pertama (baca: penulis) dengan ide yang baik, cerita yang bermutu, konflik yang menarik, tanpa harus mengeluh adanya kesalahan ketik di dalamnya.
Idealnya, setiap kreator harus mempunyai level peningkatan dalam setiap tahapnya. Oleh karenanya, ajakan “mari berkarya!” saja tidak cukup bagi modal berkarya kita. Sebab mulai hari ini, “Mari kita meningkatkan sajian sebuah karya!”
Di balik penyederhanaan paket LeutikaPRIO
Steve dan Laura sama-sama lahir dari ayah-ibu yang sama, di rumah sakit yang sama, dari rahim yang sama (tentu), dengan waktu kelahiran yang hanya berselisih 3 menit saja. Di sebuah tempat perbelanjaan, keduanya dihadapkan dengan dua sweter tebal berwarna merah. “Cantik,” tukas Laura. “Ya, aku menyukainya,” Steve turut menilai.
Keduanya sepakat membelinya. Si sulung Steve langsung mencabut sweter dari gantungannya, membawanya ke kasir, sedangkan si bungsu Laura masih memandanginya dengan cermat. Disentuhnya sweter tersebut, dirabanya bagian punggung, bagian kepala, lengan, hingga kemudian dia menemukan sedikit cacat pada rajutannya… Ia urung membeli!
Sesampainya di rumah, apa yang terjadi?
“Waw, kenapa aku tak melihat kerusakan ini saat masih di toko?” Steve mencela. Sweter hasil beliannya terdapat cacat di jahitan bagian piggirnya, dan tidak ia sadari saat awal-awal melihatnya. Laura diam, ia hanya bisa menahan senyum mendengar umpatan demi umpatan Steve yang tak henti mengolok-olok, “Betapa buruknya aku dalam mencermati sebuah kecantikan.”
Di dunia ini, perempuan mempunyai cara pandang terhadap kecantikan yang sangat sempurna. Mereka sanggup menggerakkan otak kiri dan kanannya untuk menilai cantik dan tidaknya sebuah benda. Sedang laki-laki, cenderung hanya memakai otak kanan saja.
Ya, laki-laki cukup melihat bentuk tubuh dan kecantikan wajah saja, sedang perempuan mampu melihat lebih detail hingga batas yang tak dipikirkan kaum laki-laki, seperti, “Apakah kuku nona cantik itu secantik wajahnya?” “Apakah kedua telapak kakinya tidak sekeras musim kemarau?” “Apakah di bagian kakinya tidak tumbuh bulu-bulu kelinci?” “Apakah ia mengganti kaus kakinya setiap hari?”
Begitulah….
Dalam cara pandang sebuah karya, hal seperti di atas pun terjadi. Ada bebeberapa orang yang hanya memakai otak kanannya untuk menikmati sebuah karya—baik itu cerpen, novel, artikel kontemplasi, atau bahkan puisi, dan ada juga yang menggerakkan kedua otaknya untuk menakar muatan kualitasnya.
Hasilnya, orang pertama cukup memandang sajian luar dan emosi yang didapat dari bacaannya, sedang orang kedua mencari hingga batas bagaimana tatanan buku tersebut, apakah tidak ada kesalahan ketik, apakah EYD berlaku dalam penerapan bahasanya, hingga menimbang seberapa orisinal ide yang ditawarkan, apakah tidak ada pendahulu yang terlebih dulu menggagas karya semacam itu, dan apakah-apakah lainnya.
Dari pengertian di atas, maka salah satu tugas kreator adalah mengantisipasi, jangan sampai karya hasil ciptaannya terdapat kesalahan yang mengganggu.
Pentingnya sebuah kualitas dan totalitas dalam berkarya, tentu tidak bisa dibantah lagi. Masih ingat dengan kalimat kreator yang baik adalah orang-orang yang berani berbuat lebih untuk karyanya?
Tanpa berniat mempersempit pilihan teman-teman dan cenderung mempertimbangkan hal-hal di atas, akhirnya LeutikaPRIO berkeinginan untuk meniadakan paket “Mula-mula” dan “Rata-rata” yang dalam prosesnya, tanpa melewati editing aksara.
Sebagai industri penerbitan, LeutikaPRIO berhadapan dengan dua konsumen, yakni penulis (yang menyetorkan hasil karyanya) dan pembeli (yang kemudian menikmati sajian karya tersebut).
Untuk konsumen dari kategori pertama ini, tentu akan muncul keterbatasan dalam memilih paket yang diinginkan. Akan tetapi, bagi konsumen kategori kedua akan muncul kepuasan dalam membaca hasil karya yang dia beli. Di mana dia membaca sebuah buku hasil karya konsumen pertama (baca: penulis) dengan ide yang baik, cerita yang bermutu, konflik yang menarik, tanpa harus mengeluh adanya kesalahan ketik di dalamnya.
Idealnya, setiap kreator harus mempunyai level peningkatan dalam setiap tahapnya. Oleh karenanya, ajakan “mari berkarya!” saja tidak cukup bagi modal berkarya kita. Sebab mulai hari ini, “Mari kita meningkatkan sajian sebuah karya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda