25 Februari 2011

KESIAPAN MENJADI SEORANG PENULIS DAN MOTIVASI MENULIS (Copas dari mas Fahri Asiza)


oleh Tri Lego Indah pada 07 Februari 2011 jam 14:58
KESIAPAN MENJADI SEORANG PENULIS DAN MOTIVASI MENULIS

by Fahri Asiza on Tuesday, December 14, 2010 at 8:48pm
Tulisan ini ditujukan kepada teman-teman yang mau (baru) belajar menulis

Oleh Fahri Asiza

Bila kita membaca karangan seseorang, terkadang timbul pertanyaan. Bagaimana orang itu bisa mengarang? Dari mana idenya? Perlukah diadakan riset, atau memang semata-mata khayalan belaka? Mengapa karangannya enak dibaca? Apakah dia terus mengerjakannya, atau ada masa-masa buntu? Bagaimana menyiasatinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sangat mendasar, pun selalu ada bila kita hendak mulai mengarang. Satu yang tak bisa dilupakan, mengarang adalah ibadah (i.e tergantung jenis tulisannya), lantas, bagaimana cara mengarang yang meninggalkan setitik kesan bagi pembacanya?

Kita mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Bagaimana seseorang bisa mengarang, karena dia telah memulainya, dia telah bertekad untuk mengarang, hingga boleh dikatakan ini adalah modal dasar yang pertama.

Kemauan. Ada yang mengatakan, mengarang hanya memerlukan bakat sebanyak 5 %, selebihnya adalah kerja keras. Tapi bagi saya, tanpa kemauan, kerja keras pun tak ada gunanya.

Ide itu bisa muncul dari mana saja, asalkan kita kreatif, mengolahnya dalam pikiran, mengendapkannya atau bahkan kalau mungkin langsung menuliskannya. Ada pengarang yang sebenarnya tak punya ide apa-apa, tapi begitu menghadapi mesin tik atau komputer, ide itu terus runtun dan mengalir. Mengapa? Rahasianya mudah saja, karena dia telah menguasai bagian-bagian teknik mengarang--terlebih lagi tanda-tanda baca yang tak boleh dilupakan--dan telah mampu menyikapi jalan pikirannya dengan baik untuk menciptakan, mempermainkan, atau memanipulasi tokoh-tokoh ciptaannya

Dan saya seringkali membiarkan tokoh-tokoh saya bergerak sendiri, saya seperti membiarkan saja apa yang mereka mau pikirkan, lakukan atau pun mungkin bikin gebrakan yang mengejutkan. Saya biarkan tokoh-tokoh itu mengalir begitu saja dan saya jadikan mereka sebagai ‘para punakawan’ sementara saya ‘dalang’nya yang menguasai mereka tapi tidak mengatur mereka.

Riset diperlukan? Boleh, bila memang yang hendak kita karang itu sesuatu yang memang memerlukan riset. Misalnya kita hendak mengarang tentang seorang yang pekerjaannya mencari mutiara. Kita harus tahu berapa lama seseorang bisa menahan napas di dalam air. Mutiara yang ditemukannya, apakah sudah dalam bentuk jadi, atau masih perlu diolah. Bila kita tidak mengetahui hal itu, kita perlu membaca buku (dalam arti riset kecil). Atau bila ingin lebih detil sesuai dengan kebutuhan yang hendak kita tulis, tak ada salahnya kita mengamati langsung bagaimana para penyelam mengambil mutiara.

Tapi banyak pula pengarang, termasuk saya, yang seringkali mengadaptasi apa yang telah saya alami, meskipun itu semua dimanipulasi dengan kebisaan kita sendiri. Banyak pula yang mengarang, setelah hasil karangannya jadi, tapi ketika dibaca, terasa hampa, kosong atau garing. Mengapa? Banyak hal yang harus dipahami di sini.
Pertama, kita harus menguasai karakter tokoh-tokoh cerita kita. Tanpa memahami karakter tokoh-tokoh yang kita ciptakan, kita akan terjebak dengan suasana yang kacau. Kelincahan bahasa mempengaruhi? Ya, sangat mempengaruhi, tapi bukan berarti kita mengambil gaya bercerita pengarang lain. Biarkan masing-masing berjalan sendiri dan kita harus menciptakan gaya bercerita kita sendiri.

Kedua, kita harus memahami soal waktu, setting, dialog/dialek.

Ketiga, rangkaian sebab akibat harus selalu ditonjolkan dalam mengarang, hingga cerita menjadi bersih, terangkai dan utuh. Humor perlu tidak? Bila memang diperlukan, mengapa tidak? Jadikan humor hanya sebagai sisipan belaka, agar inti ceritanya tetap utuh dan elemen-elemen ceritanya tidak longgar, kecuali bila memang hendak mengarang cerita humor. Perlu diingat, membuat cerita humor atau komedi itu sebenarnya jauh lebih sulit dari membuat cerita yang cengeng-cengeng.

Gimana kalau buntu? Endapkan saja, kaji lagi, baca lagi, tulis lagi. Bila masih buntu? Lakukan hal yang sama, dan gunakan waktu yang luang untuk membuat cerita yang lain. Dengan cara seperti itu, kita mulai bisa mengolah setiap ide yang datang. Mood berperan? Abaikan soal itu. Karena, mood (dalam hal mengarang) adalah kata yang tak boleh dipercaya, selain kata sulit. Bila kita harus menunggu mood datang, kapan kita akan memulai. Bila kita mengatakan sulit, kapan kita akan mempermudahnya?

Satu hal kebiasaan saya yang perlu saya ceritakan di sini, saya tidak pernah memulai sebuah karangan baru bila karangan yang sebelumnya belum jadi. Meskipun dalam keadaan buntu, saya tetap tidak akan memulai karangan yang baru. Saya biarkan saja dan saya tetap tidak memulai karangan yang baru meskipun itu memakan waktu berhari-hari. Mengapa? Mungkin jawabannya, saya tidak mampu menguasai tokoh-tokoh saya yang saya beri kebebasan untuk bergerak sendiri.

Untuk cerita anak-anak :
1. Berpikirlah seperti anak-anak, ringan, ceria dan selalu ingin tahu
2. Jangan membuat cerita yang simsalabim, begitu gampang menyelesaikan masalah
3. Beri akhir cerita yang menyenangkan, meskipun sad ending tapi tetap dibuat bahagia

Untuk cerita remaja :
1. Gunakan bahasa remaja, boleh bahasa gaul atau bahasa sehari-hari
2. Kalau mungkin ciptakan bahasa sendiri
3. Jangan mempergunakan bahasa yang mendayu-dayu, karena setiap membaca cerita, biasanya remaja bukan mementingkan bahasa, tapi lebih banyak apa sih yang ingin disampaikan dalam isi cerita, juga, bagaimana sih akhir dari cerita.

Untuk cerita sastra :
1. Jangan berpatokan pada seorang sastrawan
2. Gunakan bahasa yang lebih mengutamakan isi ketimbang kata-kata
3. Jalan cerita boleh diputarbalikkan secara bebas
4. Beri kebebasan berpikir pada tokoh dan diri kita sendiri.
5. Biasakan melatih diri mempergunakan kalimat puitis (jangan terjebak menjadi prosa liris, karena sastra juga tidak terletak pada kalimat-kalimat puitis)
6. Usahakan, agar ending cerita dikembalikan ke pembaca (tergantung pada kemauan si pengarang)

Tentang tokoh dalam kategori semua cerita itu : BEBAS, SEBEBAS-BEBASNYA SEPERTI BURUNG TERBANG DI LANGIT

Jadi, mulailah.
1. Tentukan tema atau gagasan cerita (meski biasanya tema atau gagasan itu tak pernah saya pikirkan sebelumnya)
2. Mulailah menulis ---> bisa dimulai dengan:
    1. suspense (kejutan)
    2. konflik
    3. awal cerita (linier)
    4. deskripsi latar
    5. deskripsi tokoh
    6. dialog
    7. dan akhir cerita

3. Merangkaikan Peristiwa.
4. Membangun konflik dan mengakhiri cerita. Teknik ini pun menurut saya, sama, baik itu menulis cerita pendek atau novel. Hanya yang membedakan, cerita pendek biasanya hanya sekali baca dan tidak banyak konflik. Untuk novel, penggarapannya lebih detil dengan konflik ganda dan biasanya tidak habis sekali baca.
5. Menulis
6. Menulis
7. Menulis dan biarkan mereka mengalir, mengalir dan mengalir
8. Jangan khawatir kalau tulisan kita jadi banyak banget yang beredar. Jangan takut menjadi bajaj yang selalu seliweran di jalan. Karena mungkin, Allah memberikan kita kemampuan seperti itu, yang tentu saja kita harus melihat celah apa yang belum tergarap banyak dan bagaimana cara kita menggarapnya.

Menyiasati Hambatan Menulis

Sebenarnya, masalah ini sangat klise. Karena, bukan hanya ketika hendak menulis saja kita mendapatkan hambatan, tapi dalam kegiatan apa pun, yang namanya hambatan itu selalu saja muncul. Oke, karena ini berkaitan dengan tulis menulis, jadilah pembicaraan kita kali ini tentang hal itu.

Hambatan yang selalu mendasar adalah tentang : ide, mood dan waktu. Kita pernah membicarakannya pada tulisan terdahulu. Silakan, teman-teman mengklik di file sebelumnya. Yang ingin saya bicarakan di sini adalah mengenai saat ketika akan menuliskan ide atau gagasan yang kita miliki.

Banyak yang mempunyai masalah dengan hal ini. Ketika hendak menuliskan, sementara ide sudah kita punya, mood sedang bersahabat dan waktu kita miliki, tapi kita tak mampu menuliskannya. Kalau pun mampu, banyak yang masih “kurang puas” dengan tulisannya sendiri.

Tentunya kita semua pernah membaca bermacam buku teori mengarang, yang banyak sekali mengajarkan trik dan tips menulis. Dan jelas itu sangat bermanfaat. Nah, coba gabungkan dengan apa yang saya sarankan di bawah ini.

Sebenarnya menyiasati hambatan menulis ini sangat sederhana. Selagi kita memiliki semua itu, gabungkan energi kita dengan energi yang ada di sekeliling kita. Maksudnya begini, gunakan sebaik mungkin apa pun yang ada di sekitar kita. Kalau kita saat ini menulis di kamar tertutup, kita bisa menatap tembok di hadapan kita. Atau melirik ke tembok di sebelah kanan kiri kita. Bayangkan, ya, bayangkan, adegan demi adegan yang hendak kita tuliskan itu terpampang lebar di tembok-tembok itu. Biarkan mereka hidup. Biarkan mereka bergerak dan kita berusaha menjadi seorang penonton yang baik.

Bila hal ini tidak bisa kita dapatkan, pandangi layar monitor kita. Jangan dulu memikirkan kata demi kata yang hendak kita tuliskan. Mainkan imajinasi kita. Biarkan adegan demi adegan itu muncul di layar monitor kita (dalam imajinasi tentunya). Dengan cara seperti ini, akan ada kemudahan pendahuluan sebelum mencari dan menyusun kata demi kata.

Oke, bila itu tidak bisa kita lakukan juga, coba trik berikutnya :

1. Jadikan alam pikiran kita sebagai sebuah layar lebar yang dengan mudah kita tembus untuk melihat adegan demi adegan. Mainkan segala imajinasi. Jangan menuliskannya dulu. Mainkan dan mainkan, biarkan semuanya bergerak dan mengalir. Bila kita melakukan ini dan sudah terbiasa, segala macam cerita akan muncul begitu saja (biasanya).
2. Setelah kita menemukannya dan melihat gambaran adegan demi adegan itu, boleh kita cari bagaimana endingnya (kalau bisa, masalah ending diabaikan saja dulu). Yang terpenting, kita mendapatkan setting, tokoh, ide cerita dan konflik dalam cerita itu.
3. Mulailah kita menulis. Biasanya, saat menuliskan adegan yang terpampang di imajinasi kita, akan berbeda dengan hasil tulisannya. Abaikan masalah itu. Teruskan menulis. Bikin kronologisnya dengan rapih. Abaikan pula masalah ada salah pengetikan, salah eja, atau salah apa pun. Teruskan saja.
4. Cobalah dengan memulai cerita dari berbagai segi. Bisa dimulai dari dialog dulu, atau tentang deskripsi dulu, atau apa saja. Setelah oke, pilihlah salah satu dari apa yang kita tuliskan itu. Yang mana yang ingin kita pakai. Tentunya hanya satu saja yang bisa kita gunakan, dan yang lain itu bukan berarti tidak ada gunanya. Tapi menunjukkan semangat dan latihan kita.
5. Bermainlah dengan kata-kata. Boleh bermetafora atau lugas saja. Dalam beberapa cerita, saya menulis tidak perlu bermetafora. Dalam beberapa cerita, saya menulisnya dengan mempergunakan metafora. Dalam beberapa cerita, saya mengkombinasikannya. Ini bebas-bebas saja, terserah masing-masing ingin menuliskannya.

Oke, silakan mencoba trik ini dan mudah-mudahan berguna.

Menyiasati Ending

Pertanyaan mendasar, perlukan ending kita pikirkan sebelumnya? Atau, membiarkannya saja hingga ketika menuliskan sebuah cerita ending itu akan muncul sendiri?

Jawaban sementara : dua-duanya boleh kita lakukan.

Pertama, ending boleh kita pikirkan sebelumnya. Menyiasati hal ini sangat mudah. Sekali lagi, ini dari kebiasaan saya menulis ya. Setelah menemukan setting, tokoh, ide dan konflik, tidak usah memikirkan dulu tubuh cerita, tapi segera pikirkanlah ending.

Kedua, biarkan ending berdiri sendiri tanpa perlu kita memikirkan sebelumnya. Artinya, ketika kita menuliskan cerita yang kita punya (dan biasanya ide-ide akan muncul untuk menambah bagian dari cerita), ending akan kita cari setelah cerita terus bergerak dan kita bisa menemukannya merunut dari mengalirnya cerita.

Misalnya :
Belum lama saya ke Islamic Book Fair. Saya melakukan pengamatan di sana, tentang keramaian, kesibukan dan suasana yang terjadi di IBF itu. Dari sini saya sudah menemukan setting saya : Di pameran buku.

Lalu saya bayangkan, ada seseorang (bisa cowok atau cewek), yang datang ke saya dengan gaya yang meyakinkan (bisa dipikirkan berikutnya, dengan gaya sedih, bingung atau apa. Taruhlah saat ini dengan gaya meyakinkan). Dari sini saya sudah menemukan tokoh saya : Bisa cowok atau cewek. Tentukan pula, usianya sekitar 17 tahun.

Lalu saya bayangkan lagi tentang ide cerita : si Tokoh ternyata tidak punya uang, tetapi dia ingin membeli (memiliki) buku yang menarik perhatiannya. Dari sini saya sudah menemukan ide : Keinginan tokoh yang tidak punya uang tapi ingin membeli buku.

Lalu saya bayangkan lagi tentang konflik : Si Tokoh berpikir keras bagaimana dia ingin memiliki buku tersebut dengan kondisi yang tidak punya uang. Dia akan berpikir (1) untuk mencuri buku itu, tapi takut ketakutan (2) ingin mencuri dan tidak perduli apa pun yang terjadi (3) mencari mangsa dengan mencopet (4) meminjam uang pada temannya, tapi takut tidak dikasih atau tidak mampu mengembalikan (5) teman-teman bisa mencari konflik lainnya.

Merunut jawaban pertama di atas, saya memikirkan endingnya.
  1. Dia akhirnya mencuri dan tidak ketahuan. Buku itu pun didapatnya. Tapi kemudian jiwanya tidak tenang.
  2. Dia akhirnya mencopet dan ketahuan
  3. Dia akhirnya meminjam uang dan bingung bagaimana mengembalikan pinjaman itu
  4. Dia akhirnya meninggalkan IBF tanpa mendapatkan buku yang diinginkannya tapi jiwanya lega
  5. Teman-teman bisa memikirkan ending selanjutnya.

Nah, itu macam-macam (misalnya) sebuah ending dari cerita di atas.

Merunut jawaban kedua, saya tidak memikirkan ending itu sebelumnya. Jadi saya biarkan saja apa pun imajinasi yang bermain di otak saya. Setelah melihat bagian-bagian dari cerita, saya akan mencari atau mengkaitkan ending dari bagian cerita sebelumnya.

BAGAIMANA DENGAN MOTIVASI :
Mari kita bersimulasi dengan keinginan teman-teman menjadi seorang penulis.

Jakarta, 25 November 2010

Disampaikan pada acara Writing Novel di Universitas Airlangga, Surabaya tanggal 27 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda