19 Mei 2011

Mengapa Pemuda Kita Tidak Bisa Menulis

Oleh: Joni Lis Efendi



Direktur Writing Revolution, penulis buku, cerpen, esai, dan artikel di sejumlah media

Mantan ketua FLP Riau, dan Ketua FLP Sumatera



Kerisauan Taufik Ismail, seorang penyair Angkatan 66, melihat generasi muda kita buta membaca dan lumpuh menulis sangat beralasan. Dia melihat hal ini sebagai akibat buruk dari dimatikannya kewajiban membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di zaman Belanda). Kurikulum pendidikan yang tidak menganggap membaca dan menulis sebagai pelajaran penting adalah akar penyebab rendahnya kemampuan menulis pemuda kita saat ini.



Pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra hanya dijejali dengan nama-nama sastrawan dan judul karyanya, yang semua itu bersifat hafalan. Siswa hanya diminta untuk bisa menjawab soal-soal ujian multychoice (pilihan ganda). Minim apresiasi sastra, terbatas penilaian terhadap karya-karya yang mereka tulis sendiri. Padahal dari bangku sekolah inilah, seharusnya pemuda kita sejak dini diperkenalkan dengan membaca sastra dan belajar menulis karya sastra yang baik.



Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya kemampuan membaca dan menulis dari guru-guru bahasa Indonesia. Para guru tersebut lebih disibukkan dengan pembuatan bahan pelajaran, lembaran evaluasi siswa, ikut pelatihan ini itu, pada akhir-akhir tahun ajaran direpotkan dengan les tambahan untuk pemantapan nilai bahasa Indonesia para siswa kalau tidak mau sekolah mereka tercoreng namanya gara-gara banyak siswanya tidak lulus UAN. Suasana yang demikian tidak bersahabat itulah menyebabkan dangkalnya pembelajaran menulis di sekolah. Lagi pula, menulis bukanlah poin penilaian yang diujikan pada UAN. Buat apa repot, toh tak ada pentingnya.



Benarkah demikian? Padahal, menulis adalah salah satu tahapan belajar yang sangat penting bagi peningkatakan kreativitas siswa dan menumbuhkan daya analisanya. Jangan heran dengan sistem pengujian yang semuanya pilihan ganda itu menumpulkan kreativitas dan analisa siswa. Semuanya disandarkan kepada kemampuan hafalan, yang itu tidak lama bertahan di kepala. Tidak heran jika kemampuan daya saing SDM lulusan perguruan tinggi di negeri ini sangat rendah. Bahkan, BPS mencatat bahwa penyerapan lulusan perguruan tinggi di dunia kerja hanya 6 persen. Sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang hanya tamatan SD, yang tingkat penyerapannya lebih dari 70 persen. Mungkin pekerja yang tamatan SD itu cuma mengandalkan otot yang tidak butuh keahlian dan keterampilan khusus. Sedangkan yang bergelar sarjana tentu yang diutamakan adalah skil atau keahliannya. Keahlian seseorang sangat berhubungan dengan tingkat kreativitas yang dimilikinya serta kemampuan analisa yang mendalam sehingga mampu memberikan solusi yang tepat untuk setiap masalah yang dihadapi.

Berangkat dari masalah inilah, mengapa di negara maju kemampuan membaca dan menulis adalah sesuatu yang sangat menentukan. Karena membaca dan menulis adalah dua kemampuan dasar yang mutlak dimiliki oleh seorang profesional. Sedangkan matematikan, fisika, kimia, biologi, teknik dan sebagainya hanya alat bantu yang dipakai sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidangnya. Anehnya lagi, pendidikan kita lebih mengutamakan penguasaan secara "mati-matian" terhadap alat bantu ini ketimbang memperkuat kemampuan dasar siswa. Mungkin Anda merasa aneh dan agak geli ketika mendengar dalam kurikulum di negara ini ada pelajaran "membaca cepat" dan "mengarang 24 jam" seminggu.



Namun itu bukanlah sesuatu yang mengherankan apalagi menggelikan di negara seperti Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan beberapa negara maju lainnya. Bahkan di Selandia Baru, yang merupakan salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, malahan mewajibakan pelajaran membaca dan menulis sekitar 50 persen dari seluruh jam pelajaran. Bandingkan dengan negara kita, yang cuma fokus pada nilai UAN yang lebih dari 5,5. Padahal angka-angka tersebut tidak terlalu berguna di dunia kerja nanti.



Menulis pada dasarnya adalah satu dari empat skil atau keterampilan dasar komunikasi, selain itu ada keterampilan berbicara, membaca dan mendengar. Karena itulah, menulis menjadi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan komunikasi seseorang. Dalam berbagai aspek kehidupan dan terutama di dunia kerja, kemampuan menulis sangat dituntut. Mereka yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya.



Dalam perkembangan informasi yang demikian pesatnya, menulis adalah salah satu profesi yang sangat menjanjikan. Kemampuan menulis hampir tidak bisa dipisahkan dari dunia jurnalistik, baik cetak maupun elektronik. Lebih luas lagi, menulis dibutuhkan dalam pembuatan film, sinetron, film animasi, program acara di televisi dan sebagainya. Sampai-sampai untuk mengonsep sebuah teks pidato pejabat, dibutuhkan adanya seorang speechwriter (penulis pidato) yang biasanya adalah penulis profesional, dan mereka dibayar untuk itu. Mereka yang berprofesi sebagai penulis buku dan novel untuk saat ini bisa dijadikan sebagai sumber nafkah. Bahkan, tidak sedikit penulis profesional yang hidup berkecukupan dari hasil kerja kreatifnya itu.

Selain itu, menulis telah terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan kecerdasan pada anak-anak terutama kecerdasan berbahasa dan kecerdasan intra-personalnya. Bagi pelajar dan mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Karena mereka memiliki prestasi dalam lomba-lomba penulisan mulai dari tingkat daerah sampai nasional. Mereka ini masuk dalam golongan pelajar top atau bintang sekolah dan kampus.



Menulis adalah sebuah skil atau keterampilan yang bisa dipelajari dan dikembangkan. Belajar menulis sama saja dengan belajar bahasa asing. Tidak dibutuhkan bakat dalam menulis, tapi dengan latihan yang rutin dan terus-menerus, keseriusan, kesabaran, ketekunan dan semangat pantang menyerah serta tidak cepat puas. Walau akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis muda, namun itu tidak berangkat dari basik sekolah. Mereka lahir dari sejumlah komunitas penulisan yang sejak tahun 90-an marak bermunculan di Tanah Air. Sebagian besar dari mereka berangkat dari hobi. Bukan karena adanya pembinaan dan pendampingan secara kontiniu. Semacam bakat alam yang kemudian terasah di komunitas penulisan, sekolah-sekolah menulis, pelatihan dan seminar-seminar. Jumlahnya pun fluktuatif seiringan dengan tren dan denyut komersialisasi pasar yang disetting oleh penerbit.



Tantangan terdepannya adalah bagaimana meningkatkan kemampuan menulis pemuda kita. Kekhawatiran yang sama pernah terjadi di Amerika Serikat sekitar tahun 70-an ketika para pendidik di negara tersebut melihat kecenderungan menurunnya kemampuan menulis siswa mereka. Tidak menunggu waktu lama, para praktisi pendidikan di negara Abang Sam itu langsung berembuk membuat formula yang cocok untuk diterapkan dalam kurikulum pendidikan mereka, yang pada dasarnya menjadikan menulis sebagai pelajaran yang menyenangkan. Amerika dan negara-negara maju lainnya sangat menyadari dengan kemampuan dasar (membaca dan menulis) untuk meningkatkan daya saing SDM mereka. Sedangkan kita, kerisauan ini sudah pun terkuak sejak tahun 70-an lalu, namun belum sedikit pun menggerakkan penentu kebijakan untuk melakukan tindakan nyata. Malahan justru kebijakan kebalikannya yang diambil. Mungkin dibutuhkan cara lain, yakni dengan tanpa melibatkan pemerintah. Walau ini setengah mustahil, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.***



Esai ini dimuat di Majalah Sabili Edisi 10 TH. XVIII 6 Januari 2011/1 Syafar 1432 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda