12 Januari 2012

SEBUAH CATATAN KECIL MENGENAI PARAGRAF

Saya temukan tulisan Runy Ginevla di IWU Kampus Tegal yang menurut saya sangat penting untuk kita pelajari bersama, sebab masih banyak penulis yang kurang memperhatikan penulisan dialog dalam suatu paragraf.


KBBI menyebutkan bahwa paragraf adalah bagian bab dalam suatu karangan, biasanya mengandung satu ide pokok dan penulisannya dimulai dng garis baru; disebut juga alinea (KBBI edisi keempat, 2003). Selanjutnya Ramlan (1993) berpendapat bahwa ”Paragraf adalah bagian suatu karangan atau tuturan yang terdiri dari sejumlah kalimat, mengungkapkan satuan informasi dengan ide pokok sebagai pengendalinya”. Sementara itu, menurut Syafiie (1988), wujud sebuah paragraf adalah berupa rangkaian kalimat yang terdiri dari dua kalimat atau lebih. Dapat pula sebuah paragraf hanya terdiri atas satu kalimat saja. Keseluruhan isi kalimat dalam paragraf merupakan satu kesatuan yang dibangun di atas satu ide atau pikiran pokok. Bila dilihat secara visual wujud paragraf dalam sebuah karangan dapat dikenali dengan indentasi, yaitu tanda yang memisahkan paragraf satu dengan paragraf yang lain. Tanda indentasi ini berupa penulisan yang menjorok ke dalam.


Jadi intinya, paragraf merupakan penyampaian satu ide pokok yang dinyatakan melalui rangkaian kalimat. Seperti pendapat Syafiie tadi, paragraf tidak harus dua atau lebih kalimat, paragraf bisa terdiri atas satu kalimat saja, asalkan dalam satu kalimat tersebut sudah mampu mengungkapkan suatu pikiran pokok yang memang benar-benar berbeda dengan kalimat/paragraf sebelumnya. Ini akan berefek besar ketika kecerobohan menggabungkan beberapa ide pokok dalam satu paragraf. Ambillah contoh penulisan cerita berikut ini:

(I)
Terdapat sebuah dialog dalam cerita:
“Kamu di mana?” tanyaku pada Jo via telepon. “Aku di Singapura, Len.” Jawab Jo. “Kapan pulang, Jo?” tanyaku lagi. (Dan seterusnya)

(II)
Tulisan yang benar seharusnya:
“Kamu di mana?” tanyaku pada Jo via telepon.
“Aku di Singapura, Len.” Jawab Jo.
“Kapan pulang, Jo?” tanyaku lagi…dst.

Bukan hanya menyebabkan mata lelah, dialog seperti ini juga sangat membosankan dan membingungkan pembaca. Padahal, dalam kalimat [“Kamu di mana?” tanyaku pada Jo via telepon dan kalimat “Aku di Singapura, Len.” Jawab Jo] merupakan dua ide pokok yang sudah harus dipisahkan. Ide pokok yang pertama adalah Aku bertanya kepada Jo via telepon, dan ide pokok kedua adalah Jo menjawab pertanyaanku. Akan terasa berbedaannya jika kita memperhatikan paragraf berikut ini:

            “Aku tak mau di sini, Yon!” aku tetap bersikeras tidak mau pergi, “plis Yon, kita   jangan pergi dari tempat ini ya!” aku terus memelas. Sambil bersimpuh, aku menahan-nahan kakinya supaya tidak pergi.


Kalimat ini dapat menjadi satu paragraf karena memang kalimat tersebut merupakan satu ide pokok, yakni keengganan tokoh Aku untuk pergi. Sehingga masih diperbolehkan jika kalimat-kalimat ini disatukan dalam satu paragraf. Impaknya banyak sekali. Ketika sudah menjadi naskah setebal novel, dan kita baca ulang, kerapian menulis paragraf seperti ini akan menjadi nilai tersendiri.

Bayangkan jika melihat kalimat-kalimatnya saja sudah membosankan, otomatis pembaca akan mundur dan enggan meneruskan membaca.




Salam karya,

Ciko Sensei

1 komentar:

Komentar Anda