*Fidyah & Ketentuannya*
kata fidyah didefinisikan sebagai :
الْبَدَل الَّذِي يَتَخَلَّصُ بِهِ الْمُكَلَّفُ مِنْ مَكْرُوهٍ تَوَجَّهَ إِلَيْهِ
*Pengganti untuk membebaskan seorang mukallaf dari larangan yang berlaku padanya*. [2]
Penggunaan istilah fidyah sesungguhnya tidak hanya terbatas pada masalah puasa, namun juga digukana pada haji dan juga perang.
*Fidyah haji* adalah denda yang dikenakan kepada jamaah haji yang meninggalkan praktek yang hukumnya termasuk kewajiban dalam manasik haji, seperti tidak bermalam di Muzdalifah, Mina, atau meninggalkan lontar jamarah, atau juga karena melakukan pelanggaran tertentu dalam ihram, atau karena melakukan haji qiran dan tamattu'. Bentuknya adalah menyembelih seekor kambing.
Sedangkan *fidyah puasa* adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu *berbentuk memberi makan sebesar satu mud* sesuai makan dengan mud nabi. Ukuran mud itu bila dikira-kira adalah sebanyak dua tapak tangan nabi SAW. Adapun jenis makanannya, disesuaikan dengan jenis makanan pokok sendiri-sendiri.
Kewajiban membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan berdasarkan firman Allah SWT :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
*Yang Diwajibkan Membayar Fidyah*
Tidak semua orang dibolehkan mengganti hutang puasa dengan membayar fidyah. Hanya *orang-orang tertentu saja yang dibenarkan menggantinya dengan fidyah.* Orang-orang itu antara lain adalah :
1. *Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh*
Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi, maka dia *tidak perlu mengganti puasanya dengan puasa qadha’. Dia cukup membayar fidyah* saja.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78)
Sedangkan *orang sakit yang masih ada harapan sembuh,* maka dia harus membayar hutang puasanya itu dengan puasa qadha’ di hari lain.
2. *Orang Tua Renta*
Termasuk orang yang *dibolehkan mengganti hutang puasa dengan membayar fidyah* adalah orang tua renta atau orang sudah sangat lemah dan fisiknya sudah tidak kuat lagi untuk mengerjakan ibadah puasa.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
Dan juga firman Allah SWT yang lain :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan keluasannya. (QS. Al-Baqarah : 286)
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ اَلْكَبِيرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata, ”Telah diberikan *keringanan buat orang tua renta untuk berbuka puasa, namun dia wajib memberi makan untuk tiap hari yang ditinggalkannya satu orang miskin, tanpa harus membayar qadha’.* (HR. Ad-Daruquthny dan Al-Hakim)
3. *Wanita Hamil dan Menyusui*
Jumhur ulama yaitu madzhab Al-Malikiyah, *As-Syafi’iyah* dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa *wanita yang hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa Ramadhan, menggantinya dengan membayar fidyah dan juga mengqadha’ puasanya,* yaitu apabila ketika mereka *mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu.*
Namun *bila mereka mengkhawatirkan diri mereka saja, tanpa mengkhawatirkan anak mereka, cukup hanya membayarnya dengan qadha’ puasa* saja.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
Selain itu juga ada atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu :
كَانَتْ رُخْصَةُ الشَّيخْ ِالكَبِيرِ وَالمَرْأَةُ الكَبِيْرَةِ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصِّياَمَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكاَنَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيناً وَالحُبْلىَ وَالمُرْضِعُ إِذَا خاَفَتَا عَلىَ أَوْلاَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا
*Keringanan buat orang yang tua renta baik laki-laki atau perempuan apabila mereka tidak kuat lagi berpuasa, bahwa mereka boleh tidak berpuasa namun memberi makan setiap hari yang ditinggalkan satu orang miskin.* Demikian juga *wanita yang hamil dan menyusui, bila mereka mengkhawatirkan anak mereka, boleh tidak berpuasa dan harus memberi makan (membayar harusfidyah), namun tetap harus mengqodho' puasanya.* (HR. Abu Daud)
Sedangkan pendapat madzhab Al-Hanafiyah, mereka tidak membayar fidyah secara mutlak, namun diwajibkan berpuasa qadha’.
4. *Menunda Qadha' Hingga Lewat Ramadhan Berikutnya*
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa *orang yang menunda kewajiban mengqadha‘ puasa Ramadhan tanpa udzur syar‘i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang, maka wajib atas mereka mengqadha‘nya sekaligus membayar fidyah.*
Di antara yang berpendapat seperti ini di kalangan para ulama dan mujtahid adalah madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.
Sedangkan di kalangan para shahabat Nabi SAW, mereka antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah ridhwanullahi ‘alaihim.
Dari kalangan tabi’in antara lain Mujahid, Said bin Jubair, Atha’ bin Abi Rabah. Juga ada ulama lain seperti Al-Qasim bin Muhammad, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Ishaq, Ats-Tsauri, dan lain-lainnya.[3]
Namun ada juga pendapat ulama yang tidak mewajibkan membayar fidyah dalam kasus seperti ini. Di antara mereka adalah madzhab Al-Hanafiyah, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Daud Adz-Dzhahiri. Sedangkan dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah, Al-Muzani termasuk di antara berpendapat tidak ada fidyah dalam kasus ini. [4]
5. *Wafat Dan Punya Hutang Puasa*
Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa *seseorang yang tidak berpuasa karena alasan sakit pada bulan Ramadhan, lalu sembuh setelah itu dan memiliki kesempatan untuk berpuasa,* namun belum sempat dia melaksanakan puasa qadha’nya kemudian meninggal dunia, maka hutang puasanya itu cukup dibayar dengan fidyah.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُل يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Orang yang wafat dan punya hutang puasa, maka dia harus memberi makan orang miskin (membayar fidyah) satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkan.” (HR. At-Tirmizy)
Hadits ini kemudian dikuatkan dengan fatwa dari Aisyah radhiyallahuanha :
يُطْعَمُ عَنْهُ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ وَلاَ يُصَامُ عَنْهُ .
“Orang itu harus memberi makan (membayar fidyah) untuk mengganti hutang puasa Ramadhan, dan bukan dengan cara orang lain berpuasa untuknya.”
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سُئِل عَنْ رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ يَصُومُ شَهْرًا وَعَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ . قَال : أَمَّا رَمَضَانُ فَيُطْعَمُ عَنْهُ وَأَمَّا النَّذْرُ فَيُصَامُ عَنْهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa beliau ditanya dengan *kasus orang yang meninggal dunia dan punya hutang* nadzar puasa sebulan dan hutang puasa Ramadhan. Maka Ibnu Abbas menjawab,”Hutang puasa Ramadhan dibayar dengan membayar fidyah, hutang puasa nadzar dibayar dengan orang lain berpuasa untuknya.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah, para ulamanya berbeda pendapat dalam menjawab masalah ini. Sebagian dari mereka, termasuk di dalamnya Al-Imam An-Nawawi, berpendapat bahwa dalam kasus ini, keluarganya berpuasa untuknya sebagai pengganti dari hutang puasanya. *Bukan dengan cara membayar fidyah* memberi makan orang miskin.
Dalil yang mereka gunakan antara lain :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“ *Siapa yang meninggal dunia dan punya hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya*” (HR. Bukhari dan Muslim)
إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ صُومِي عَنْ أُمِّكِ
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Ibu saya meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa nadzar. Apakah saya harus berpuasa untuk beliau?”. Rasulullah SAW menjawab, ”Berpuasalah untuk ibumu.” (HR. Muslim)
*Bentuk Fidyah*
Sesuai dengan pengertiannya, fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka bentuk fidyah itu pada dasarnya adalah makanan, yang dalam hal ini menurut para ulama adalah *makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari suatu masyarakat*.
1. Bahan Mentah
Umumnya para ulama menyebutkan bahwa *bentuk fidyah yang diberikan kepada fakir miskin bentuknya adalah bahan makanan yang masih mentah,* dan bukan makanan yang sudah matang atau siap disantap.
Jadi yang kita berikan bukan hidangan makanan siap santap, melainkan bahan-bahan makanan yang masih mentah dan bisa disimpan dalam waktu yang lama.
2. *Makanan Pokok*
Yang menjadi ukuran dalam hal *makanan adalah makanan pokok, bukan makanan tambahan atau cemilan.* Walau pun harga cemilan atau jajanan boleh saja lebih mahal, namun orang tidak akan mati kelaparan karena tidak ada makanan cemilan.
Yang jelas orang akan mati kelaparan kalau tidak mendapat jatah makanan pokok yang menghidupinya.
3. Tiap Bangsa Berbeda
Sebagaimana kita ketahui bahwa makanan pokok tiap bangsa berbeda-beda. Bangsa tertentu makanan pokoknya roti yang berbahan dasar gandum. Bangsa kita termasuk jenis bangsa yang makanan pokoknya nasi berbahan dasar padi. Ada bangsa yang makanan pokoknya jagung, sagu, kentang, dan umbi-umbian lainnya. Orang Eskomi secara tradisional menjadikan ikan hasil buruan mereka sebagai makanan pokok.
Orang-orang di Madinah pada masa Nabi SAW terbiasa menyantap kurma sebagai makanan pokoknya. Karena itulah kita mendapatkan dalil bahwa Rasulullah SAW bersedekah dengan sekeranjang kurma. Dalam hal ini kurma bukan dijadikan makanan cemilan seperti yang terjadi di negeri kita, melainkan dijadikan makanan pokok sehari-hari.
*Ukuran Fidyah*
Sering muncul pertanyaan dari masyarakat awam tentang ukuran atau jumlah dalam memberi makan itu, antara lain :
Berapakah ukuran dalam pemberian makanan?
Apakah jumlahnya berbeda-beda karena ukuran perut miskin yang menerima juga berbeda-beda?
Dan apakah juga ada perbedaan dalam ukuran jumlah makanan ketika harus dibayarkan antara orang yang kaya dengan orang yang tidak terlalu kaya?
Jawaban pertanyaan pertama adalah bahwa *ukuran jumlah makanan untuk fidyah sifatnya standar, tidak dibedakan* karena ukuran perut orang miskin yang menerimanya berbeda-beda. Dan juga tidak dibedakan berdasarkan tingkat kesejahteraan pemberinya.
Kebutuhan orang miskin atas makanan yang menyambung hidupnya dalam pandangan syariah dipukul rata saja. Dan kita tidak menemukan keterangan dalam nash syariah, bahwa kalau memberi kepada orang miskin tipe A harus sekian lalu untuk tipe B harus sekian.
1. Standar
Namun dalam menetapkan standarnya, memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama menetapkan satu mud, mazhab Al-Hanafiyah menetapkan satu sha', dan mazhab Al-Hanabilah berbeda lagi.
a. Satu Mud
*Madzhab Al-Malikiyah dan As-Syafi‘iyah* menetapkan bahwa *ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud* gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW.[5]
Pendapat ini juga merupakan pendapat Thawus, Al-Auza'i, Said bin Jubair dan Ats-Tsauri.
Ukuran mud (مُدّ) dan ukuran sha’ (صَاع) di zaman sekarang sudah tidak pernah digunakan, sehingga kalau kita terpaku hanya membaca kitab-kitab fiqih yang ditulis di masa lalu, jelas kita akan kebingungan sendiri. Karena itu Penulis merasa perlu untuk menjelaskan ukuran-ukuran itu agar buku ini ada manfaatnya.
Yang jelas ukuran mud (مُدّ) dan ukuran sha’ (صَاع) sama-sama ukuran volume suatu benda, bukan ukuran berat. Dan secara umum, 1 mud sama dengan ¼ sha’.
Istilah mud itu maksudnya gandum yang diwadahi dengan kedua telapak tangan yang disatukan, seperti ketika orang sedang berdoa dengan menadahkan kedua tangannya. Bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, *satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.*
Kalau kita menggunakan pendapat jumhur ulama ini, maka ukuran fidyah hanya 1/4 dari ukuran zakat al-fithr.
b. Satu Sha'
Madzhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah satu sha' (صاع) kurma, atau satu sha' (صاع) tepung syair, atau setengah sha' (صاع) hinthah.[6]
Sedangkan 1 sha’ (صاع) setara dengan 4 mud (مُدّ). Bila ditimbang, 1 sha’ (صاع) itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha’ (صاع) setara dengan 2,75 liter. [7]
Kalau kita menggunakan pendapat mazhab Al-Hanafiyah ini, maka ukuran besarnya fidyah itu sama dengan ukuran besarnya zakat al-fithr.
c. Satu Mud atau Setengah Sha'
Madzhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah satu mud burr, atau setengah sha' (صاع) kurma, atau setengah sha' (صاع) tepung syair.[8]
2. Ukurannya Relatif Sama
Sebenarnya tidak ada ketentuan dari syariah bahwa orang kaya dan orang miskin dibedakan nilai fidyah yang harus dibayarkan. *Dalil syar'i menyamakan kewajiban fidyah dalam masalah ukuran antara orang berada dan orang yang kurang*.
Dasarnya adalah bahwa makanan pokok untuk menunjang kehidupan bagi tiap orang relatif sama. Orang kaya yang gaya hidupnya selalu menyantap makanan yang mahal-mahal, pada dasarnya tetap bisa hidup dengan° makanan pokok dalam jumlah minimal. Buktinya kalau sedang terjadi bencana alam, mereka yang mengungsi itu bisa saja dari kalangan orang berada. Tetapi jatah makan yang diberikan sama saja dengan jatah makan buat orang miskin. Dan buktinya mereka tetap bisa bertahan hidup.
Sebaliknya ketika Rasulullah SAW mewajibkan kepada *orang yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan untuk memberi makan 60 fakir miskin,* ukurannya sama saja bila yang melakukannya orang kaya. Hal itu karena *ukuran jatah makanan pokok buat tiap orang relatif sama.*
3. Tidak Dipengaruhi Berapa Kali Makan Dalam Sehari
Makanan yang diperintahkan untuk diberikan itu, apakah dihitung berdasarkan satu hari tiga kali makan ataukah sekali makan dalam untuk satu hari?
Jawabannya *satu kali memberi makan maksudnya cukup untuk dimakan dalam sehari.* Adapun orang yang diberi makan itu mau makan sekali sehari, atau dua dan tiga kali, tidak menjadi persoalan.
Sebab kalau kita lihat realitanya, *berapa kali makan dalam sehari sifatnya sangat relatif.* Kita orang Indonesia mungkin makan sehari tiga kali, tapi jumlah makanan yang masuk perut belum tentu lebih banyak dari orang Arab yang makannya sehari sekali. Orang Arab bisa menghabiskan satu talam (nampan) yang ukurannya setara dengan empat atau lima piring orang Indonesia, untuk sekali makan. Jadi meski makan cuma sekali dalam sehari, ternyata ukurannya 2 kali lipat dari yang makannya sehari tiga kali.
Beras sebanyak 0,6 Kg kalau dimasak menjadi nasi, tentu bisa untuk dimakan lima sampai enam kali, untuk ukuran perut rata-rata orang Indonesia.
4. *Dapatkah Dikonversi Dengan Uang*?
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah fidyah bisa dikonversikan dengan uang.
Sebagian ulama *tidak membolehkan konversi fidyah dengan uang*. Kalau yang dimiliki hanya uang, maka uang itu dibelikan bahan makanan dulu, baru kemudian diberikan kepada orang miskin. Alasannya, *karena secara nash Al-Quran disebutkan secara langsung bahwa fidyah itu adalah tha'amu miskin(طعام مسكين).*
Sebagaimana aslinya kita memberi daging qurban yang berupa daging dan bukan uang kepada fakir miskin, maka demikian pula seharusnya dalam masalah fidyah. Yang diberikan adalah makanan dan bukan uang.
Sementara sebagian pendapat lain menyebutkan bahwa tidak mengapa fidyah diberikan dalam bentuk uang, asalkan setara nilainya dengan harga makanan pokok tersebut. Alasannya karena lebih praktis untuk dibawa dan diberikan, karena nanti toh si miskin itu bisa membeli makanan sesuai dengan kebutuhannya.
F. *Waktu Membayar Fidyah*
Para ulama sepakat bahwa *fidyah itu harus dibayarkan hingga masuknya lagi bulan Ramadhan tahun berikutnya,* sebagaimana masa mengqadha’ puasa.
Namun mereka berbeda pendapat kalau fidyah itu dibayarkan terlebih dahulu, sebelum masuknya bulan Ramadhan. Misalnya bagi orang yang sudah dipastikan tidak akan mampu berpuasa, seperti ibu hamil, atau orang yang sakit parah dan sulit untuk bisa diharapkan kesembuahnnya. Apakah boleh fidyah itu langsung dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan?
*Madzhab Al-Hanafiyah* membolehkan hal tersebut. Maksudnya *membayar fidyah sekaligus sebelum Ramadhan dimulai,* sebagaimana mereka juga membolehkan bila dibayarkan di akhir Ramadhan.
Namun Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa dalam *madzhab As-Syafi’iyah*, hal seperti itu tidak diperkenankan. Maksudnya, *orang yang sakit atau sudah tua, belum diperkenankan membayar fidyah kalau belum masuk waktu berpuasa.* Setidaknya, kebolehan itu baru berlaku sejak terbitnya fajar di hari dimana dia tidak berpuasa, tetapi bukan sejak malamnya atau hari-hari sebelumnya.
G. *Fidyah Yang Terlewat*
Bila fidyah belum dibayarkan hingga masuk ke Ramadhan berikutnya, apa yang harus dilakukan?
Kewajiban membayar fidyah harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Tapi *bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum dibayarkan juga*, dalam hal ini para ulama menyepakati beberapa hal dan berbeda dalam beberapa hal.
Yang disepakati para ulama adalah bila alasan belum terbayarnya qadha' itu karena *udzur yang syar'i*, seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh sepanjang tahun, maka orang tersebut *tidak dikenakakan fidyah apapun, bila dia tidak sempat mengqadha' puasanya. Cukup baginya mengganti puasa kapan nanti dia telah sehat.*
Sedangkan yang *tidak disepakati adalah bila seorang yang punya hutang puasa Ramadhan sudah punya waktu dan kesempatan untuk mengganti puasanya, namun secara lalai dia belum juga mengqadha'nya,* sehingga masuk ke Ramadhan tahun berikutnya, apakah selain qadha' dia juga wajib membayar fidyah?
Sebagian ulama mengatakan bahwa *fidyah itu menjadi berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan satu lagi untuk tahun ini.*
Demikian pendapat Imam As-Syafi‘i. Menurut beliau *kewajiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi orang miskin. Jadi jumlahnya akan terus bertambah selama belum dibayarkan.*
Namun ulama lain tidak sependapat dengan pendapat As-Syafi‘i ini. Seperti Abu Hanifah, beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya.
[2] Ta'rifat Al-Jurjani
[3] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 144
[4] Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 6 hal. 363-366
[5] Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 6 hal. 257-259
[6] Bada’i Ash-Shana’i, jilid 2 hal. 92
[7] Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 hal. 143.
[8] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 141
[9] Al-Mabsuth, jilid hal.