07 Januari 2010


Usaplah Sekali Saja

oleh Kurniawan Subiantoro (catatan) Kemarin jam 21:51
(disadur dari Kolom Fauzil, penulis : Mohammad Fauzil Adhim)

Sekali waktu,ketika malam sudah beranjak mendekati pagi, bangunlah dan basahi wajahmu dengan air wudhu. Semoga dengan itu, Allah karuniakan bagimu kejernihan hati dan kelembutan jiwa. Ketika dunia sedang sunyi senyap dan manusia sedang tenggelam dalam lelapnya tidur, tataplah wajah istrimu. Tataplah dalam-dalam. Lihatlah, betapa banyak yang berubah pada dirinya. Wajah yang dulu menampakkan keremajaan itu,sekarang sudah banyak gurat-guratnya. Wajah yang dulu tanpa tersenyum pun sudah memikat hati untuk lebih dekat, sekarang tampak letih karena penat yang menyekat.

Tataplah wajah itu sekali lagi, ketika tak ada make-up yang menyembunyikan keasliannya. Lihatlah wajah apa adanya istrimu, lalu renungkanlah sejenak kenapa wajah itu telah berubah demikian banyak. Renungkanlah apa yang telah engkau lakukan untuknya agar setiap letih penatnya bermakna. Bukankah wajah itu yang kerap kali harus kehilangan cahayanya ketika anak-anakmu baru saja dilahirkan ke dunia? Ia harus membelalakkan matanya ketika matanya mengantuk dan badan sudah hampir ambruk, semata agar anak yang baru saja ia lahirkan dapat kokoh badannya dan kuat jiwanya. Ia harus terjaga agar setiap kali anak-anaknya itu membutuhkan kasih-sayangnya, pada detik itu juga ia dapat memberikannya. Sementara di saat yang sama, barangkali engkau telah larut dalam dengkurmu. Dengkur yang menggelegar.

Ah, alangkah sedikit yang telah kita lakukan untuk istri kita. Alangkah sedikit yang kita berikan untuknya. Sementara kita meminta terlalu banyak. Padahal suami yang terbaik adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri. Kata Rasulullah s.a.w., “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik di antaramu terhadap keluarganya, dan aku (Rasulullah s.a.w.) adalah yang paling baik terhadap keluargaku”.
"Atas kurang sigapnya istri menyuguhkan hidangan ke hadapan kita, kadang rasa kecewa tak kita sembunyikan darinya. Padahal tidaklah ia lambat melayani kecuali karena rasa penat yang sudah tak dapat ia tanggung kan lagi. Atau, kadang kala badan masih mempunyai cukup kekuatan, tetapi hati merasa amat letih karena perhatian yang ia nanti-nantikan dari suami tak kunjung menghampiri"

Inilah Nabi s.a.w. yang padanya segala kemliaan telah Allah ‘Azza wa Jalla limpahkan kepadanya . Allah dan para malaikat-Nya senantiasa bershalawat kepada Muhammad, Nabi yang terpilih. Ia mulia melebihi segenap manusia. Seluruh pendudk Mekkah yang beriman menghormat kepadanya dengan rasa cinta yang amat dalam. Tetapi penghormatan yang tulus itutidak menjadikan Nabi s.a.w. enggan membantu isterinya.

Isterinya bersaksi bahwa Rasulullah s.a.w. senantiasa membantu isterinya di rumah (ah…alangkah jauh dengan kita sekarang ini). Dialah yang menjahit sendiri pakaiannya. Ia memerah sendiri susu dari dombanya. Padahal andaikan ia mau, seluruh isterinya akan menurut tanpa Rasulullah s.a.w. perlu membelalakkan matanya karena marah. Tetapi inilah pertanda kemuliaan, keagungan akhlak dan ketinggian derajat yang berhimpun dalam rasa cinta yang tulus dan bersih. Keagungan akhlaknya yang lahir dari kedekatan kepada Allah Ta’ala melahirkan kelembutan dan kesabaran.

Pernah suatu ketika Umar bin Khathab bergegas mendatangi rumah Nabi s.a.w.. Ia merasa jengkel karena isterinya sering memarahinya. Ia bermaksud bertemu Nabi s.a.w. untuk mengadukan perilaku istrinya tersebut. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Sesampai di rumah Rasulullah s.a.w., Umar bin Khathab menemukan Rasulullah s.a.w. juga sedang dimarahi oleh istrinya. Rasulullah s.a.w. diam mendengarkan omelan istrinya. Tidak membantah. Tidak pula memarahi. Umar bin Khathab pun segera bergegas pulang dan berkata, “Kalau begitu aku biarkan saja istriku memarahiku karena dia sudah memasakkan makanan untukku, mengurus anak-anak, dan mencucikan pakaian yang sebetlnya bukan tugasnya”.

Setidaknya ada tiga pelajaran yang kadang tak habis-habis saya renungkan. Bukan pelajaran apa yang bisa saya ambil darinya, tetapi apakah pelajaran itu sudah menjelma dalam perlakuan saya terhadap istri. Alangkah sering kita memperoleh ilmu-ilmu yang berharga, tetapi hampir-hampir tak ada bekasnya dalam perilaku dan sikap kita sehari-hari. Atas kurang sigapnya istri menyuguhkan hidangan ke hadapan kita, kadang rasa kecewa tak kita sembunyikan darinya. Padahal tidaklah ia lambat melayani kecuali karena rasa penat yang sudah tak dapat ia tanggungkan lagi. Atau, kadangkala badan masih mempunyai cukup kekuatan, tetapi hati merasa amat letih karena perhatian yang ia nanti-nanti dari suami tak kunjung menghampiri.

Sungguh, yang ia butuhkan ketika itu kerapkali bukanlah obat penahan nyeri, tetapi sekadar usapan penuh perhatian disertai ucapan yang empatik, “Capek, Sayang?”. Tak banyak kata yang ia perlukan. Satu ungkapan sederhana yang mengiringi usapan lembut di punggungnya, sudah cukup untuk memnunjukkan bahwa engkau benar-benar memiliki perhatian yang besar kepadanya. Usapan yang lembut itu menandakan bahwa engkau menghargai letih lelahnya mengasuh anak dan merawat rumah seharian penuh.

Tentu saja, usapan lembut yang engkau berikan bukanlah untuk menghindar dari tindakan yang lebih besar. Kalau engkau melihat istrimu amat lelah, sedangkan usapan lembut yang disertai ucapan cinta yang menyegarkan jiwa dan tak sanggup menghapus penat yang sesungguhnya, maka pijatan yang lembut di kaki atau punggungnya akan sangat membahagiakannya. Sungguh pun engaku tak mampu memijatnya sebaik yang dilakukan oleh tukang pijat, tetapi sedikit yang engkau lakukan dengan sungguh-sungguh itu sudah sangat besar bagi istri kita tercinta.

Kekuatan jiwa untuk tetap lemah-lembut ketika mengasuh anak, Insya-Allah akan tumbuh dari sini.

O ya, kembali pada tiga pelajaran yang bias kita petik dari peristiwa Umar bin Khathab mendatangi rumah Nabi s.a.w.. Pertama, engkau lihat bahwa obatnya cemburu dan marah bukanlah menunjukkan kemarahan yang sama besarnya. Semakin besar rasa cemburu, semakin mudah tersulut apabila engkau membantah apa yang ia katakan. Sebaliknya api yang paling berkobar akan secara perlahan meredup dan akhirnya padam apabila engkau tidak menyulutnya dengan kemarahan serupa. Hadapilah api denganair. Sungguh.

Kedua, ada kekuatan yang besar pada telinga yang mendengar dan wajah yang memperhatikan. Sebuah ungkapan yang sangat tepat menggambarkan betapa besar kekuatan yang ada di balik telinga kita. “Man ahsanal istima’ ta’ajjalal intifa”. Barangsiapa yang paling baik dalam mendengarkan, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat. “Maka apabila engkau mendapati istrimu sedang mengomel seperti radio yang gelombangnya sedang terganggu, sediakan telingamu untuk mendengar dan wajah yang teduh. Kalau tak mampu, biarlah ia lihat wajahnya yang amat menyedihkan. Tetapi jangan menunjukkan perlawanan yang menantang.

"Inilah sebagian di antara rahasia-rahasia Allah ‘Azza wa Jalla. Ia ciptakan wanita sebagai yang mengandung dan amat besar kasih-sayangnya, tetapi kewajiban mengurus anak ia letakkan pada pundak seorang laki-laki. Maka kalau engkau merasa tidak memerlukan istrimu, dan menganggap apa yang ia lakukan sebagai perkara yang sudah semestinya ia lakukan, sungguh engkau termasuk orang yang tinggi hati lagi melampaui batas".

Ketiga, Ya Allah…alangkah banyak kita berutang budi pada istri kita. Alangkah banyak pekerjaan rumah-tangga yang apabila ia turun tangan melakukannya, engkau bisa mati berdiri karena tak sanggup melakukannya sendirian. Padahal, semua itu bukan kewajibannya.

Berkenaan dengan ini, cobalah untuk menyimak sekali lagi, ucapan Umar bin Khathab r.a. sepulangnya dari Rasulullah s.a.w., “Kalau begitu aku biarkan saja istriku memarahiku karena dia sudah memasakkan makanan untukku, mengurus anak-anak, dan mencucikan pakaian yang sebetulnya bukan tugasnya”.

Kalau itu semua bukan tugasnya, maka bukan dosa apabila ia tidak melakukannya. Tetapi sanggupkah engkau membayangkan keadaan seperti itu? Inilah sebagian di antara rahasia-rahasia Allah ‘Azza wa Jalla. Ia ciptakan wanita sebagai yang mengandung dan amat besar kasih-sayangnya, tetapi kewajiban mengurus anak ia letakkan pada pundak seorang laki-laki. Maka kalau engkau merasa tidak memerlukan istrimu, dan menganggap apa yang ia lakukan sebagai perkara yang sudah semestinya ia lakukan, sungguh engkau termasuk orang yang tinggi hati lagi melampaui batas. Kalau saja ada sedikit iman di hatimu serta ilmu yang mencukupi tentang haknya dan kewajibanmu, rasanya tak selalu kekurangan alasan untuk berterima-kasih padanya.

Nah, sudahkah engkau mengungkapkannya kepada istrimu hari ini? (A)

(sumber : Kolom Fauzil, dalam Majalah Pengantin Muslim”ANGGUN”, edisi 08/I/ Januari 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda