PUPUSNYA DUA HATI
“Aduh Ma…., makacih…….. Mama baik banget deh!”, seru Lisa kegirangan, sambil memeluk Mama tercintanya, dan mencium pipi Mamanya kanan kiri seolah tak mau berhenti.
“Ih kamu, apa-apaan sih ! Dicium-cium segala….. Tapi inget ya sayang ? Jangan sampai handphone barumu ini membuat kamu jadi males belajar ! Ingat itu !”, kata Mama Lisa sambil menggerakkan jari telunjuknya ke muka Lisa. Ia seperti menyimpan kekhawatiran setelah membelikan HP baru itu untuk Lisa.
Dari kemarin Lisa merengek-rengek terus ke mamanya minta dibelikan handphone baru. Kata Lisa, biar dia nggak kesusahan lagi menghubungi Mamanya saat Mama pergi, atau saat Papanya nggak pulang-pulang, atau saat ada PR, dia bisa menghubungi temannya jika butuh bantuan dan jawaban cepat. Dan kata Lisa, semua teman-temannya memiliki handphone. Lisa selalu berdalih, sudah nggak jaman lagi jika anak muda sekarang nggak punya handphone, apalagi anak sekolah seusia Lisa, yang sudah duduk di bangku SMU.
“Iya, Mamaku sayang……!”, jawab Lisa memberi janji. Setelah itu dia berlari ke kamarnya, menumpahkan kegembiraannya karena telah memiliki handphone baru. Diciuminya HP itu. Sesekali Lisa tersenyum dan tertawa kecil. Dan, jari-jemarinya kini mulai beraksi. Teman-teman dekatnya segera dikirimi SMS. Bangga sekali rasanya, bisa SMS ke teman-temannya dengan menggunakan HP miliknya sendiri. Lisa benar-benar merasa bahagia dibuatnya.
“Hai teman, pa kabar ? Ni nomer HP- ku……… Kalo kangen, segera SMS ke sini ya ?He he he…….. (Lisa)”, tulis SMS Lisa yang disebarkan ke teman-temannya.
“Wah, aku bisa SMS ke Zaldy sepuasnya deh !”, bisik hati Lisa.
Zaldy adalah teman lelaki sekelasnya yang sangat digandrunginya. Dia cowok ganteng, pintar, baik, dan sangat diidolakan teman-teman ceweknya. Dan sore itu Lisa menghabiskan waktunya dengan menyimpan nomor-nomor HP temannya ke dalam HP barunya. Sesekali dia SMS ke Zaldy. Menyapanya, memujinya, bahkan sedikit nakal dia merayunya manja.
“Zaldy, aku bête nih ! Temeni aku dong !”, rayu Lisa dalam SMS-nya.
Mama Lisa diam saja, seperti memaklumi sikap Lisa yang sedang bahagia dengan HP barunya. Tak apalah untuk saat ini, begitu jawaban hati mama Lisa saat memperhatikan anak gadisnya yang tak mau beranjak dari kamar tidurnya.
Pagi-pagi sekali Lisa sudah bangun. Tidak biasanya Lisa bangun tidur sepagi ini. Mamanya sempat heran melihatnya saat sedang mengambil air wudlu untuk sholat shubuh. Padahal Lisa biasanya paling malas kalau dibangunin untuk sholat shubuh pagi-pagi jam begini. Mamanya Lisa melihat jam di dinding, ternyata baru Pk. 04. 15 WIB. Dilihatnya Lisa berjalan dengan membawa handuk di pundaknya sambil sesekali mengucek-ucek matanya. Sambil tersenyum, Mama menyapanya lembut….
“Wah, anak Mama sekarang hebat ya, bangunnya pagi. Mandi dan segera sholat shubuh ya sayang ?”, sapa Mamanya Lisa.
“Ya harus dong, Ma……. Kan Lisa harus jadi anak yang baik dan sholihah sepeti keinginan Mama dan Papa, apalagi Mama ‘dah ngasih Lisa handphone, jadi Lisa harus membalas kebaikan Mama. Iya kan ?”, jawab Lisa sambil tersenyum. Dan Lisa segera masuk ke kamar mandi. Dari luar kamar mandi, terdengar Mamanya masih sempat menjawab komentar Lisa.
“Nah, kalau ini baru namanya anak Mama……..”, kata Mama Lisa senang.
***
Di sekolah,dengan bangganya Lisa memperkenalkan handphone barunya ke teman-temannya. Tak ada yang dibanggakannya selain handphone barunya itu. Mungkin benda itulah yang paling bisa memberikan kebahagiaan untuknya saat ini. Beragam komentar yang diberikan teman-temannya atas “pemberitahuan” Lisa. Ada yang ikut gembira dengan berita itu, ada yang menanggapinya dengan biasa-biasa saja, ada juga yang tidak suka melihat Lisa memegang handphone baru. Yang suka, mereka jadi bisa berhaha-hihi ria lewat HP, atau bisa minta SMS ke Lisa kalau lagi nggak punya pulsa. Yang menanggapinya dengan biasa saja, mungkin mereka mengaggap hal itu bukan berita heboh yang perlu dipublikasikan, kecuali jika HP Lisa kemudian hilang setelah itu. Yang tidak suka dengan berita itu juga banyak, karena masih banyak yang belum punya handphone, jadi belum bisa menikmati indahnya memiliki handphone, terutama Siska, teman sebangkunya. Entahlah, tiba-tiba saja hati Siska menjadi sedikit panas, dan mulai ingin segera memiliki handphone jug seperti Lisa. Tapi sayang, orang tua Siska bukanlah dari golongan keluarga mampu, yang mampu memiliki benda-benda mewah dalam sekejap. Dan bagi Siska, sikap Lisa yang memamerkan HP barunya membuat hatinya jadi sedih, dan itu sangat menyakitkan hatinya.
***
Saat istirahat, kelas Lisa terlihat mulai ramai. Rupanya hari ini Lisa dan teman-temannya lebih suka istirahat di dalam kelas dari pada jalan-jalan atau duduk-duduk di luar kelas. Lisa masih asyik dengan HP-nya. Dari tadi dia tak henti-hentinya memainkan menu yang ada dalam HP-nya. Dari mulai game, SMS, musik, kamera, sampai internet. Lisa sama sekali tidak bosan bermain HP, padahal sejak dia dibelikan HP sama mamanya, HP seperti tak diijinkan lepas dari genggamannya. Dia benar-benar menikmati pemberian mamanya itu. Siska yang selalu menemani Lisa, hanya bisa ikut melihat apa yang diutak-atik teman sebangkunya itu. Semakin dilihat, Siska semakin ingin memiliki HP seperti yang dimiliki Lisa.
“Duh, andai aku bisa seperti Lisa………”, batin Siska perih.
Siska memang pendiam. Tapi dibalik diamnya itu, tersimpan kata-kata yang hanya bisa berloncatan dalam otaknya. Dan dia lebih suka berkata-kata dalam hati dari pada berkata melalui mulutnya yang mungil. Mungkin bagi Siska, selagi tak perlu diungkapkan, untuk apa berkata-kata? Toh, itu hanya kemubaziran belaka, pikirnya.
“Sis, sebaiknya kamu juga minta HP ke mama kamu, biar kita bisa SMS-an…. Kan asyik!”, kata Lisa sambil tersenyum senang. Senang karena bisa punya HP, bukan senang karena Siska mau mendengar ajakannya. Yah, Lisa hanya bahagia dengan dirinya sendiri, tanpa mempedulikan Siska yang mulai kesal dengannya. Bagaimana tidak! Sepanjang ngobrol dengan Siska, mata Lisa tak mau berpindah dari layar HP barunya itu. Kadang dia senyum-senyum sendiri layaknya orang gila. Siska sampai ikut-ikutan senyum melihatnya. Bukan senyum bahagia menanggapi keceriaan Lisa, tapi tersenyum karena melihat “kegilaan” Lisa belakangan ini. Lisa yang aneh!, pikirnya.
“Kamu tahu nggak ,Sis? Aku punya rencana untuk menggaet Zaldy!”, bisik Lisa ke telinga Siska.
“Hah ?! Menggaet gimana? Kan Zaldy ‘dah punya gandengan….”, jawab Siska kaget.
“Jangan macem-macem ah! Hanya bikin masalah aja!”, kata Siska mengingatkan. Tapi sepertinya ucapan Siska tidak digubrisnya sama sekali. Lisa benar-benar seperti hidup dalam dunianya sendiri. Sekali lagi, Lisa hanya menanggapinya dengan senyum dikulum.
“Ah, biarin ! Aku Cuma pengin tahu aja kok! Dia bisa luluh nggak dengan rayuanku nanti! He he he…..”, jawab Lisa sambil tertawa kecil.
“Ya ampun…….. Lisa! Kamu sadar nggak sih?! Emang kamu cewek apaan? Jangan jadi cewek nakal ah! Ntar si Rani ngamuk, gimana ? Apa kamu siap dibenci Rani, karena kamu telah ngrebut Zaldy dari tangannya? Macem-macem aja sih kamu?!”, seru Siska mengingatkan. Tapi lagi-lagi Lisa tidak mempedulikan peringatan Siska. Lisa hanya menanggapinya dengan senyum.
“Benar-benar menyebalkan !”, batin Siska. Kenapa Lisa jadi begini ? Benar-benar parah ! Siska sama sekali tidak mengerti dengan perubahan Lisa yang demikian drastis! Padahal baru sehari Lisa memegang HP, tapi tingkah Lisa sudahaneh dan mengkhawatirkan.
***
Sore yang sejuk. Di teras depan rumah, Lisa duduk-duduk santai di kursi malas yang biasa dipakai Papanya saat istirahat di rumah. Kaki Lisa diselonjorkan ke depan, dengan menumpukkan keduanya. Sesekali digoyang-goyangkannya sedikit mengikuti alunan suaranya yang sedang asyik mendendangkan lagu “Lubang di Hati” milik Letto, lagu kesukaannya.
“Kuteruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan….
Dan kuyakin kau tak ingin aku berhenti………
Apakah itu kamu, apakah itu dia
Selama ini kucari tanpa henti………
Apakah itu cinta, apakah itu cita
Yang sanggup melengkapi lubang di dalam hati………”
Pandangannya menerawang ke jalan raya depan rumahnya. Tiba-tiba Lisa merasa kesepian. Papanya biasa pulang kerja menjelang ‘isya. Mamanya lagi ada acara, dan sampai sore begini belum pulang juga. Lisa nggak tahu, Mamanya lagi ngikutin acara apa. Ah, bodo amat !, batin Lisa. Lisa melihat ke jam tangannya, dan ternyata masih pukul 4 sore.
“Huh !! Bete banget sih !”, gerutu Lisa.
Lisa cuma sendirian di rumah. Si Mbok lagi asyik memasak di dapur. Tiga orang kakaknya sudah menikah semua, dan mereka tinggal di rumhnya masing-masing. Entah kenapa, Lisa jadi merasa bosan. Bosan juga main HP. Dari tadi HP-nya cuma ditimang-timang saja. Malas sekali untuk menggerakkan jari-jarinya yang biasa menekan tombol sesuka hatinya. Saat sedang asyik mengamati HP miliknya, tiba-tiba HP berdering, tanda ada telpon masuk. Tapi sepertinya yang masuk bukan nomor HP, melainkan nomor telpon rumah.
“Ya haloo….. Siapa nih?”, tanya Lisa begitu menekan tombol terima telpon.
“Aku Siska, Lis…….. Nih aku nelpon di wartel. Aku hanya mo ngingetin kamu aja kok Lis ! Tolong jangan bikin masalah dengan Rani, please…. Kenapa kamu harus ndeketin Zaldy, bukankah masih banyak cowok cakep yang bisa kamu jadiin pacar ? Kamu temanku, dan aku nggak ingin terjadi apa-apa sama kamu…….. Bisa ya Lis ?”, kata Siska mengingatkan.
“Ah kamu ! Ngapain juga kamu pusing-pusing ngurusin aku ? Itu urusanku, dan kamu nggak usah ikut campur ! Ngerti ?! Udah deh, pakai nelpon-nelpon segala ! Dari wartel lagi ! Nggak sayang tuh duit ?! Jangan sok jadi pahlawan deh ! Pusing tau ! Aku lagi bête, jadi kamu jangan bikin aku tambah kesel, ngerti ?!”
Klik !! Lisa langsung mematikan HP-nya.
“Bikin kesel aja !”, gerutu Lisa.
“Lagian, siapa juga yang mau godain Zaldy? Orang aku cuma becanda kok ! Eh, diambil serius sama Siska ! Dasar o’on tuh anak ! Huh !! Lagi pusing, yang dateng malah telpon dari Mak Lampir ! Sebel !!”, omel Lisa sambil membanting HP ke bantalan kursi.
Lisa benar-benar nggak tahan dengan suasana hatinya saat ini.
“Apa yang harus kulakukan utuk mengusir kesepian ini ?”,bisik hati Lisa. Tiba-tiba dia jadi ingin bermain HP lagi. Tapi bingung mau mbuka menu apa. Apa ya ?, tanya Lisa pelan. Entahlah, tiba-tiba yang ada di benaknya tertuju pada kamera HP. Dia coba-coba memotret dirinya. Pertama, ia jepret wajah manisnya. Kemudian senyumnya, tertawanya, cemberutnya, marahnya, semua ia ekspresikan lewat foto. Jepret ! Jepret !
“ Wah, asyik juga nih ! Lumayan juga aku punya bakat jadi fotografer !”, pikirnya sambil senyum-senyum. Lisa jadi keasyikan. Semakin lama Lisa makin penasaran dengan tubuhnya. Dan dia mulai menjeprat-jepret tubuhnya yang seksi. Sedikit nakal dia mulai membuka bagian tubuhnya yang tidak layak untuk diambil gambarnya. Dari mulai bibir, leher, pundak, belahan dadanya, pusar, hingga pahanya. Hanya aurat kewanitaannya saja yang ia lewati. Bagaimanapun , Lisa masih punya malu untuk mengambil gambar itu.
“Jangan ah, saru !”, pikirnya sambil senyum-senyum. Setelah selesai jeprat-jepret, Lisa jadi sedikit lega dan terhibur.
“Sudah ah ! Mo mandi !”, kemudian Lisa berlari kecil menuju ke kamar mandi. Dalam sekejap bête Lisa hilang, dan berubah menjadi ceria. Kenapa ya ?
***
Sementara itu, Siska di rumahnya dalam keadaan tidak menentu. Hati Siska sakit sekali semenjak ingat kata-kata Lisa di telpon. Dia merasa terhina dan dilecehkan. Dia jadi kesal dengan dirinya sendiri.
“Kenapa juga tadi nelpon-nelpon Lisa segala ?! Hanya bikin sakit hati saja !”, seru Siska dalam hati. Dia juga kesal dengan kemiskinan yang ia miliki. Dia merasa dunia saat ini sedang tidak berpihak padanya. Dan Siskapun menangis. Dengan sesunggukan, ia meratapi nasibnya. Ia berbaring di ranjang sambil memeluk bantal guling kesayangannya.
“Tuhan, hatiku sakit sekali….”, rintihnya. Siska menangis hingga rasa kantuk itu hadir. Dan iapun tertidur dalam tangis.
***
Keesokan harinya, tanpa merasa bersalah sedikitpun, Lisa seperti biasa menyapa sahabatnya, Siska yang terduduk tanpa gairah . Matanya kelihatan sedikit sembab karena tangisnya semalam. Namun Lisa tidak menyadarinya, dan tetap saja nyerocos dengan cerita-ceritanya, yang kadang suka membuat cerita sendiri. Lisa memang punya sifat yang susah dimengerti menurut Siska. Kadang menyenangkan, kadang menyebalkan. Meski Lisa sudah bercerita banyak, hati Siska masih merasakan sakit. Entahlah, Siska masih belum bisa memaafkan sikap Lisa kemarin.
“Hai Sis, kamu tau nggak, kemarin aku njepret gambarku sendiri banyak sekali loh! Ada yang seru ! he he he…….”, kata Lisa pelan, sambil membisiki telinga Siska.
“Seru gimana ?”, tanya Siska penasaran.
“Tapi jangan di sini….. Ini kan kelas, banyak orang. Kalau sampai ketahuan sama teman-teman, bisa gawat nanti ! Kita keluar sebentar yuk ! Mumpung belum masuk. Kita cari tempat yang aman…..”, kata Lisa dengan suara hati-hati.
Lisapun segera menggandeng tangan Siska, dan membimbingnya keluar. Siska menurut saja, dan mengikuti ajakannya. Lagi pula, dia sangat penasaran dengan kata-kata Lisa barusan, makanya dia jadi bersemangat ingin tahu.
Lisa mengajak Siska ke toilet putri. Di sana terlihat sepi. Lisa segera mengambil handphone-nya, dan memperlihatkan foto-foto dirinya dengan bangga. Lisa merasa, pasti Siska akan kaget dan tersenyum melihat gambarnya yang seksi.
Dan Siska memang benar-benar kaget ! Sangat kaget !
“Lisa ! Apa-apaan kamu ini ? Kalau sampai ketahuan kepala sekolah, kamu bisa dihukum lho ! Cepetan dihapus !”, seru Siska sambil menatap Lisa tajam.
“Enak aja dihapus ! Nanti aja kalau sudah dicetak, baru deh aku hapus !”, jawab Lisa.
“Kamu kenapa sih Lis, kalau diingetin susah banget ? Itu melanggar etika tahu ?! Emang kamu nggak ingat ya, tentang peraturan di sekolah ini ? Siswa dilarang menyimpan gambar-gambar porno di handphone ! Inget nggak ?”, tanya Siska kesal.
“Iya, aku tahu. Nanti juga aku hapus ! Tapi nanti, kalau sudah aku cetak !”, bantah Lisa.
“Dicetak ? Untuk apa ? Mau dipamerkan ke teman-teman ? Atau mau dikirimkan ke media ? Atau, jangan-jangan kamu mau jadi bintang film porno ya, makanya kamu sibuk mengambil gambarnya sendiri ? Memalukan !”,kata Siska sinis. Tiba-tiba….
“Plak !!!”
Lisa menampar pipi kiri Siska keras sekali.
“Au !!!”
Siska menjerit, dan langsung memegang pipi kirinya yang kesakitan.
“Berengsek kamu !!!”, seru Lisa yang kemudian meninggalkan Siska yang sedang meringis kesakitan. Siska menangis, dan Lisa tidak peduli. Ditinggalkannya Siska sendirian di toilet. Lisa benar-benar tersinggung dengan kata-kata Siska.
Hati Siska sakit tak terkira. Belum pernah seorangpun yang berani menamparnya, kini justru sahabatnya sendiri yang tega menamparnya. Rasa perih di pipi kirinya, dan perih di hatinya, mendorongnya untuk membalas dendam pada sahabatnya itu. Sambil menahan isak tangis, ia segera berlari menuju ke ruang BP (Bimbingan dan Penyuluhan). Meski sudah terdengar bunyi bel tanda jam pelajaran sudah dimulai, Siska tidak peduli. Para siswa yang melihat Siska berlari-lari kecil ke arah ruang BP, jadi terheran-heran dan bertanya-tanya. Apalagi dilihatnya Siska berlari sambil menangis terisak-isak.
Di depan pintu ruang BP, Siska langsung mengetuk pintu.
“Ya, silakan masuk…….”, seru seseorang di dalam ruangan itu. Ternyata suara Bp. Sumarno, guru BP yang mengajar Siska semester ini.. Dan Siska pun segera masuk ruangan. Setelah masuk ruangan, isak tangis Siska semakin pecah. Ia tak kuasa menahan gejolak yang ada di dalam hatinya. Rasanya ia ingin menangis sepuas-puasnya. Menumpahkan segala kesedihannya di sana. Ia tidak peduli dengan keheranan Bp. Sumarno begitu melihat Siska yang langsung duduk di depannya sembari menelungkupkan kepalanya di meja kerjanya. Siska masih terisak-isak, dan Pak Marno pun dengan sabar menunggu isak tangis Siska reda.
“Ada apa, Siska ? Kok pagi-pagi sudah menangis…….. Ada masalah apa ?”, tanya Pak Marno begitu melihat Siska mulai berhenti menangis. Lisa segera mengangkat kepalanya dan mengelap ingus yang ada di hidungnya dengan lengan bajunya. Ia lupa, kalau itu bukanlah tissue. Sambil mengucek matanya, Siska menjawab pertanyaan Pak Marno, dan menjelaskan permasalahannya dengan Lisa di toilet barusan.
Pak Marno kaget mendengarnya. Tak disangka, di antara siswanya yang ia didik selama ini ternyata masih ada yang berani melanggar peraturan yang telah disepakati bersama. Iapun segera bertindak, dengan memanggil Lisa untuk masuk ke ruangannya. Siska yang dianggap sebagai pihak pelapor,dan sekaligus sebagai saksi, tidak diijinkan keluar ruangan oleh Pak Marno. Namun sebelum memanggil Lisa, Pak Marno pergi ke ruang Kepala Sekolah, dan meminta pendapat Kepala Sekolah dalam menangani masalah ini. Pak Handoko yang menjabat sebagai Kepala Sekolah saat ini segera menuju ke ruang BP, dan menemui Siska. Pak Marno pun segera ke kelas Lisa, dan mengajak Lisa ke ruang BP. Mereka berjalan beriringan. Lisa sudah menebak, apa yang akan dilihatnya nanti di ruangan itu. Pasti Siska habis melaporkan masalah tadi, pikirnya. Dan sepertinya Lisa tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti. Saat Pak Marno mengajaknya tadi, Lisa disuruh membawa HP miliknya. Lisa sempat tersenyum masam, tapi dia tidak sempat untuk menghapus gambar-gambar vulgar miliknya yang masih disimpan dalam handphone-nya.
“Uff !! Bakal terjadi bencana deh !”, batin Lisa, miris.
Lisa sudah pasrah, dan dia tidak takut sedikitpun. Baginya, yang akan terjadi, biarlah terjadi.
“Aku tidak peduli !”, begitu yang ada dalam pikiran Lisa. Sepanjang perjalanan menuju ruang BP, Lisa dan Pak Marno tidak bicara sedikitpun. Masing-masing diam, dan mereka bercerita dengan dirinya sendiri. Entahlah, mungkin itu lebih baik dari pada mereka membicarakan sesuatu yang tak diinginkan.
Mereka sudah sampai depan ruang BP. Dan di dalam ruangan sudah duduk Pak Handoko dan Siska, yang rupanya dari tadi sudah menunggu kedatangan Lisa. Lisa menatap Siska tajam, seperti hendak menerkamnya. Meski Lisa tidak mengatakan apapun, bagi Siska seperti mendengar suara hati Lisa yang sedang menyumpahinya.
“Busuk !! Dasar pengkhianat !!”, begitu kata-kata yang ia dengar dalam hati Lisa. Lisa masih berdiri tegak menatap Siska. Siska yang ditatapnya, hanya diam dan salah tingkah. Dunia saat ini seperti sedang menudingnya sebagai pengkhianat yang tak punya perasaan. Sekali lagi, Siska ingin menangis, tapi rasanya air matanya sudah kering, terkuras habis sejak tadi pagi.
“Maafkan aku Lis…….”, hanya kata itu yang bisa diucapkan Siska pada Lisa. Namun Lisa tetap tak bergeming. Ia tetap diam seribu bahasa. Bagi Lisa, saat ini bukan waktunya untuk bermaaf-maafan.
“Ayo duduk Lisa !”, perintah Pak Marno. Lisa pun segera duduk bersebelahan dengan Siska. Pak Handoko yang memperhatikan keduanya dari tadi, hanya diam saja, seolah-olah sedang mempertanyakan, kenapa dua anak yang bersahabat ini bisa sampai berseteru. Dan bagi pak Handoko, ini sesuatu yang menarik, dan perlu diperbaiki hubungan antar keduanya.
“Lisa, Bapak dengar kamu menyimpan gambar-gambar yang tidak pantas dilihat di dalam handphone-mu. Apa benar ?”, tanya Pak Marno. Pak Marno dikenal sebagai guru yang bijak dan lembut. Dan saat ini pun ia berusaha sebijak mungkin dalam menghadapi kasus Lisa, yang baginya hal ini sangat meresahkan.
Lisa hanya menunduk, dan enggan untuk menjawabnya. Mugkin bagi Lisa, untuk apa menjawab pertanyaan retorika tersebut, toh semua yang duduk di sini sudah mengetahui yang sebenarnya dari Siska. Membantah juga nggak ada gunanya. Dia sudah pasrah, andai nanti dia mendapatkan hukuman. Dia bahkan ingin tahu, hukuman apa yang akan ia terima nanti. Dia hanya berharap saja, hukuman apapun akan ia terima asal tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Mama sama Papanya pasti akan marah besar andai hal itu terjadi.
“Lisa, diamnya kamu menandakan bahwa apa yang dituduhkan Siska adalah benar. Namun kami memerlukan bukti akurat dari handphone kamu. Coba bawa ke sini HP-mu ! Bapak mau memeriksanya”, perintah Pak Marno. Lisa pun segera beranjak dari tempat duduknya, dan menyodorkan handphone-nya kepada Pak Marno.
Pak Handoko yang dari tadi diam saja, terlihat mulai resah setelah HP Lisa berpindah tangan. Mungkin beliau mengkhawatirkan isi gambar di HP Lisa yang kata Pak Marno tidak pantas untuk dilihat itu. Demikian juga Pak Marno, ia sempat deg-degan saat mau membuka menu kamera di HP Lisa. Namun tidak dengan Lisa. Ia sama sekali tidak merasa risih jika gambar tubuhnya bakal ditonton dan diperhatikan oleh Pak Marno maupun Pak Handoko. Entahlah, hatinya saat ini benar-benar seperti batu, tidak mempedulikan apapun, sama sekali tidak berasa. Lisa sendiri heran dengan hatinya sendiri. Kenapa aku tidak merasakan apapun ? Tidak takut, malu, tersinggung, atau marah gambar dirinya “diacak-acak”, begitu batin Lisa mempertanyakan kondisi hatinya yang menurut dia aneh.
Pak Marno sempat kaget dan gelisah saat melihat gambar-gambar yang ada di HP lisa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan sesekali senyum-senyum sendirian. Sesekali dia istighfar, memohon ampun atas apa yang telah dilihatnya. Kemudian dia beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju ke arah tempat Pak Handoko duduk. Dia menunjukkan HP Lisa ke Pak Handoko. Mereka pun membicarakan sesuatu dengan suara pelan, hampir seperti berbisik-bisik. Setelah cukup lama mereka memperhatikan gambar-gambar itu, dan sempat mendiskusikannya, Pak Handoko angkat bicara.
“Lisa, kamu sudah tahu nggak, tentang peraturan-peraturan dan sanksi yang diberlakukan di sini jika melanggarnya ?”, tanya Pak Handoko tajam.
“Ya Pak, dilarang menyimpan gambar-gambar yang tidak layak di dalam handphone maupun media elektronik lainnya. Tapi saya tidak tahu sanksi dari pelanggaran itu”, jawab Lisa terus terang.
“Lisa, sebenarnya kami tidak ingin hal buruk terjadi pada kamu, ataupun semua siswa di sini. Tapi kami sebagai warga negara yang patuh pada hukum dan peraturan yang ada, dengan tetap berlaku adil dan konsisten dengan peraturan yang berlaku, kami terpaksa harus mengambil keputusan yang bijaksana sesuai dengan peraturan yang ada. Saya dan Pak Handoko tadi telah mendiskusikan masalah ini, dan karena kamu telah melanggar peraturan dan tata tertib sekolah ini, maka kami mengambil keputusan untuk menghukum kamu sesuai dengan sanksi yang berlaku dengan menskors kamu untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah selama satu minggu dihitung sejak hari ini hingga tanggal 16 Februari 2010. Bagaimana, kamu keberatan ?”, tanya Pak Marno.
“Sebenarnya itu berat bagi saya, tapi jika memang itu keputusannya, saya akan mematuhinya”, jawab Lisa. Lisa sepertinya enggan untuk protes maupun berontak dengan keputusan itu. Dia benar-benar sedang malas untuk berfikir.
Setelah itu, Pak Handoko memberi nasehat kepada Lisa dan Siska panjang lebar tentang arti pentingnya persahabatan, bahwa sahabat adalah kebutuhan jiwa. Beliau tidak menyalahkan sikap Siska, bahkan membenarkan apa yang dilakukan Siska terhadapnya, sebagai perwujudan perhatiannya atas kesalahan yang telah dilakukan Lisa. Tapi hati Lisa yang sudah terlanjur sakit dengan kata-kata Siska yang diucapkannya di toilet tadi pagi, juga atas pengkhianatannya pada hari ini, membuat Lisa tidak merasa bersalah sedikitpun atas pelanggaran yang telah dilakukannya, dan baginya kata persahabatan itu sudah tidak mempunyai makna lagi bagi kehidupannya.
Begitu juga dengan Siska. Sejak ia merasakan sakit atas tamparan yang diberikan Lisa terhadapnya, ia sudah enggan untuk menerima Lisa sebagai sahabatnya kembali, apalagi jika mengingat kata-kata Lisa yang sudah terlalu sering menyakiti hatinya. Bagi Siska, persahabatan itu bukan bagai kepompong lagi, tapi sudah seperti ulat, yang akan menggerogoti kulit hatinya hingga ke isi-isinya, yang hanya akan membuat hidup ini jadi “gatal” dan tidak kerasan lagi.
Yang mengherankan bagi Pak Marno dan Pak Handoko, Lisa sama sekali tidak mengucapkan kata “maaf” pada mereka berdua, lebih-lebih kepada Siska. Apa mungkin Lisa memang paling tidak suka dengan kata “maaf” ? Tapi sudahlah, mereka tidak akan mempersoalkan hal itu. Sebelum Lisa keluar dari ruangan, Lisa diberi pesan oleh Pak Marno untuk memberikan surat panggilan yang ditujukan kepada orang tuanya untuk datang ke sekolah. Lisa hanya mengangguk saja.
***
Mama Lisa marah besar. Dia menyesal sekali telah membelikan HP untuk Lisa, yang ternyata telah disalahgunakan oleh Lisa. Kekecewaannya teramat besar, hingga ia sulit sekali untuk mempercayai Lisa kembali. Karena itu, ia menarik kembali pemberiannya itu. Lisa dilarang untuk memegang handphone. Kata Mama Lisa, HP yang ia berikan diharapkan bisa membuat hidup Lisa dan orang tuanya bahagia, ternyata hanya membawa masalah yang memalukan. Rasanya sulit untuk memaklumi kesalahan Lisa tersebut, pikir Mama Lisa.
Papa Lisa yang jarang punya waktu lebih untuk keluarga, hanya bersikap biasa-biasa saja, meskipun dalam hatinya sangat kecewa dengan ulah Lisa. Namun dalam hatinya yang terdalam, ia sangat merasa bersalah dengan sikapnya selama ini yang kurang perhatian dalam mendidik dan mengawasi Lisa. Tapi dia sendiri sudah sangat lelah untuk marah ataupun menyalahkan Lisa. Menyalahkan istrinya juga ia enggan, karena baginya, istrinya sudah cukup baik dalam melayani suami dan kelurga selama ini, sehingga kurang bijak rasanya untuk menghukum Lisa maupun istrinya. Karenanya, ia hanya diam saja saat istrinya menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Lisa. Yang ia lakukan hanyalah menerima panggilan dari sekolah Lisa. Ia dan istrinya harus menemui Kepala Sekolah dan Pak Marno besok, pikirnya.
Di kamarnya, Lisa hanya bisa menangis. Tiba-tiba hatinya merasa sakit sekali. Sakit atas pengkhianatan yang telah dilakukan Siska, sakit atas kata-kata Siska yang telah merendahkan dirinya, sakit atas hukuman yang ia terima, sakit atas kesepian yang bakal ia alami selama seminggu ini, juga sakit atas apa yang akan ia alami, karena ia tahu, teman-temannya pasti akan mencemooh dirinya, dan pasti akan mengucilkan dirinya. Aneh, padahal kemarin di sekolah ia tidak merasakan sakit hati sedikitpun. Yang ia rasakan hanyalah amarah, yang telah dipicu oleh kata-kata Siska.
Lisa merasa, bumi seakan menindih dirinya. Dia baru sadar, kesalahan yang ia anggap sepele, ternyata telah menyeretnya ke jurang nestapa. Dia benar-benar menangisi dirinya. Suara hatinya mendorong jari-jemarinya untuk menggoreskan tinta pada buku diary miliknya…
Tatkala diri
Menyepi ditemani malam
Kualirkan tinta
Sebagai curahan hati
Suara hatiku
Tergores dalam puisi
Impian samar terlempar
Mengisi waktu dengan aliran syair
Kini tawanya terhenti
Menangisi sang puisi
By : Puput Happy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda