09 Maret 2010

MEMBACA KORAN, MENEMUKAN IDE

22 Januari 2007 - 07:19 (Diposting oleh: Rumah Dunia)

[Nulis Yuk 10] MEMBACA KORAN, MENEMUKAN IDE

Oleh Gola Gong

Kergiatan yang sampai sekarang tidak pernah aku tinggalkan adalah membaca koran. Ketika bujangan, sebelum berangkat kerja sambil sarapan nasi uduk di teras kamar kos, setiap pagi aku biasa membacai sekitar 4 atau 5 koran sekaligus. Berita-berita kriminal dan feature human interest aku baca.. Jika Minggu pagi, seluruh koran nasional aku lahap. Terutama halaman budayanya. Halaman pariwisatanya aku kliping. Bahkan tabloid gosip, aku beli juga. Kisah hidup para selebritis jadi menu pelengkapku.

BUDAYA TONTON
Berlangganan koran memang belum menjadi kebiasaan atau budaya di negeri ini. Di komplek tempat tinggalku, aku mengukurnya dari kesibukan si loper koran. Dia tidak mendatangi setiap rumah setelah mengantarkan koran kepadaku. Di para tetanggaku, budaya tonton memang lebih diandalkan. Orang-orang merasa sudah cukup dengan menerima informasi dari televisi. Tidak perah aku melihat di hari-hari luang, para tetanggaku duduk di teras, membaca koran atau majalah sambil menyeruput teh panas atau kopi. Mereka terlalu sibuk bekerja di siang hari dan menonton di malam hari. Kegiatan untuk menambah wawasan atau keintelektualan mereka dengan kegiatan membaca koran dan majalah hampir tidak ada. Seharusnya dalam sehari disediakan waktu sekitar 1 atau 2 jam untuk membaca.

Aku ingat suatu pagi di teras kamar kosku. Bapak kosku melintas. Dia kaget ketika melihatku membacai banyak koran. ”Bujubene! Lu beli koran banyak banget. Kalo buat beli beras, berapa kilo, tuh!” Aku jawab, setelah membaca seluruh koran ini, aku bisa membuat sebuah cerpen atau novel. Nanti honornya bisa aku belikan tidak hanya sekedar beberapa kilo beras, tapi juga lauk-pauknya, minyak tanahnya, kompornya, atau bahkan sekaligus sawahnya. Bapak kosku hanya tertawa. Entah, dia mengerti atau malah bingung.

LETIKAN IDE
Bagiku, pekerjaan membaca koran bukanlah sekedar membaca saja. Itu adalah rangsangan bagi otak kananku. Seperti letikan ide. Dengan membaca koran, aku selalu merasa sedang meletikan api, sehingga ide di kepalaku menyala terus. Itu harus aku jaga, agar tidak padam. Sekarang setelah berkeluarga, aku langganan 1 koran lokal dan 2 koran nasional. Sedangkan di hari Minggu bertambah jadi 5 koran nsional. Terdengar seperti pemborosan. Kadang istriku di akhir bulan suka ”mengeluh” ketika membaca tagihan koran. Aku menenangkannya dengan gurauan, ”Nanti juga ketutup dengan honor tulisan.”

Saat membaca, imajinasiku selalu bermain. Novel trilogi ”Pada-Mu Aku Bersimpuh” (Dar! Mizan) adalah hasil dari kegiatan membacaku. Saat itu aku membaca sebuah tulisan di tabloid, tentang pejabat negara yang berselingkuh dengan seorang wanita selebritis. Usai membaca api ide di kealaku menyala terang, membakar seluruh tubuhku. Juga novel dwilogi ”Kupu-kupu Pelangi” (Dar! Mizan, 200). Saat itu hampir di setiap koran dimuat berita tentang para ibu yang membuang bayi di got, di tong sampah, di terminal, di stasiun, di bawah jok kursi, dan di pasar. Astahgfirulahaladzim! Para wanita itu ada yang mengaku, bahwa bayi itu hasil hubungan paksa (diperkosa) oleh si majikan dan anak majikan. Ada juga hasil hubungan dengan pacar, buah cinta mereka.

LAUTAN IDE

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang beriringan. Bagi (calon) penulis pemula, yang selalu kebingungan mencari ide, kegiatan membaca koran mungkin seperti kegiatan yang menjemukan. Padahal itu adalah kegiatan yang menyenangkan. Itu bagai kita sedang mengarungi lautan ide.

Cobalah kita baca peristiwa kriminal. Misalnya, kita membaca tentang seorang tukang ojek yang ditemukan tewas. Ternyata tukang ojek itu dibunuh oleh penumpangnya. Kemudian kita melakukan wawancara (5W + 1H) imajiner dengan si perampok atau dengan si tukang ojek. Itu sudah langkah pertama, yaitu memilih ”point of vieuw” (sudut pandang). Oke, kita memilih si perampok (who). Kapan dia membunuh (when – tengah malam), kenapa (why- anaknya sakit), apa alasan membunuh (what – butuh biaya rumah sakit), dimana (where – di perkebunan karet), dan bagaimana (how – mencekik korban). Kemudian kita membuat sinopsisnya. Karakter, dengan mudah kita menemukan 2 karakter utama; tukang ojek dan perampok. Tokoh lainnya keluarga si perampok; istri dan anaknya yang sedang sakit. Endingnya terserah kamu; misalnya si perampok menyesali diri, karena tahu uang dari hasil merampok itu haram. Kemudian dia menyerahkan diri.

Aku memberi contoh sinopsis dari berita perampokan itu dengan ditambahi bumbu-bumbu imajinasi: Parman adalah buruh pabrik yang baru saja di PHK. Dia sedang dililit masalah, karena anaknya sakit keras. Uang pesangon dari pabrik hanya cukup untuk membayar uang kontrakan rumah petak mereka yang sudah menunggak selama 3 bulan. Ketika mereka membawa anaknya ke rumah sakit, pihak rumah sakit meminta Parman untuk membayar uang administrasi, karena anaknya harus dirawat. Parman tidak sanggup. Parman gelap mata, karena anaknya ditolak pihak rumah sakit. Istrinya menyuruhnya mencari pinjaman atau anak mereka akan mati. Di saat dia sedang mencari pinjaman dengan naik ojek, di perkebunan karet, terbersitlah ide untuk merampok tukang ojek. Tanpa berpikir panjang, dia meminta berhenti unutk buang air kecil. Saat brehenti itulah, dari arah belakang, dia mencekik tukang ojek sampai mati dan menyeretnya ke semak-semak. Tapi, saat dia hendak menjual motor itu, tiba-tiba saja dia menyesali perbuatannya. Bergegas dia ke hutan karet. Dia masih menemukan si tukang ojek yang terkapar. Diperiksanya urat nadi si pengojek. Untung masih hidup. Dibawanya si pengojek ke rumah sakit terdekat. Dan dia menyerahkan diri kepada polisi serta pasrah atas hukumannya. Tanpa Parman sadari, istrinya berjuang untuk mendapatkan keringanan biaya dari pihak rumah sakit. Ada seorang dokter yang baik hati, yang bersedia menjaminnya. Kemudian si pengojek pun memaafkan Parman, karena memahami permasalahan yang dihadapi Parman! Happy ending!

Membaca sinopsis di atas, aku menambahi “fakta” baru. Inilah yang disebut ”dari realitas ke fiksi”. Aku mencoba menerjemahkan realitas yang keras ke dalam imajinasiku. Aku memaknainya, bahwa masih ada kebaikan di dunia yang keras ini dengan menambahkan tokoh baru, yaitu ”dokter baik hati”. Mudah ’kan?

Ayo, mulai sekarang rajin membaca koran, ya!

***

- Rumah Dunia, Agustus 2006. Dimuat di Bengkel Cerpen Annida, Agustus 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda