08 Maret 2010

[Nulis Yuk 12] MENDENGAR CERITA DARI ORANG LAIN

19 Maret 2007 - 15:36 (Diposting oleh: Rumah Dunia)

[Nulis Yuk 12] MENDENGAR CERITA DARI ORANG LAIN

Oleh Gola Gong

Suatu hari, kami makan malam bersama. Kursi yang hanya empat mesti ditambah, karena dua anggota baru di rumah semakin tumbuh besar. Anak ketiga; Odi (2,5 tahun), mulai sering meminta haknya. Begitu juga si bungsu; Kaka (1,5 th), ikut-ikutan kpingin duduk sendiri. Meja makan di kita memang standar; 4 buah, untuk ayah, ibu, dan dua anaknya. Kampanye keluarga berencana memang sudah berhasil ditanamkan pada para pelaku bisnis furniture di negeri anak. Jika anak banyak, berarti banyak rezeki bagi si pedagang. Kita harus membeli lagi kursi tambahan.

CELOTEH
Oke, kita lupakan soal ekomoni dan kursi meja makan. Mari kita makan malam. Dan biarkan anak-anak kita berceloteh, bahkan saling berebut lauk-pauk. Kadang jika kita tidak sabaran, inginnya membentak atau memarahi saja. Tapi, jika kita beristighfar, insya Allah, semuanya akan menjadi sebuah preistiwa yang indah dan kaya ide.

Malam itu, Bella (anak pertama, 9 th) dan Abi (anak kedua, 8 th) saling berebut cerita, tentang seorang anggota masyarakat di kampung kami, benama Mang Pei, yang dicap gila. ”Tahu nggak, Pah, kenapa Mang Pei gila?” Saya menggeleng.

”Mang Pei gila karena difitnah, Pah!” Bella menjelaskan.
”Iya. Difitnah nyuri kerbau!” Abi menambahi.

Di kampung saya, nama Mang Pei sangat terkenal di kalangan anak-anak. Saya pernah melihat,Mang Pei berjalan tanpa alas kaki di jalanan kampung, diiringi belasan anak-anak. Jika seorang anak meminta, ”Mang Pei, nyanyi dang dut!” Maka dia akan menyanyi dengan gaya nge-bor Inul. Atau kalau ada anak meminta memeragakan pencak silat, makan dia bergaya seperti Jacky Chan. Kepada orang dewasa, dia biasanya meminta rokok.

Dari mulut Bella dan Abi - secara rebutan mereka bercerita, bahwa suatu hari di kampung kami kehilangan 3 ekor kerbau. Seseorang bernama Syamsudin menyebarkan berita, bahwa Mang Peilah pencurinya.

”Syamsudin itu jualan kain, Pah. Sama dengan Mang Pei. Tapi, Mang Pei jualannya laris. Syamsudin iri. Makanya, dia memfitnah Mang Pei nyuri kerbau!” cerita Bella.

”Mang Pei itu mau menikah. Pacarnya marah. Dia tidak jadi menikah, Pah,” Abi menyerobot.

”Mang Pei sedih, Pah. Dia masuk kamar. Menurung diri selama satu minggu. Keluar dari kamar, dia jadi gila, Pah!” Bella menyambung.

”Wah, itu menarik dibuat cerita,” kata saya. ”Judulnya gila karena difitnah,” usul saya.

”Cup! Itu punya Bella!”
”Punya Abi!” Abi malah meninggalkan meja makan. ”Abi mau ngetik sekarang!” sambil berlari ke ruang kerja saya.

Bella marah, karena merasa sebagai pemilik cerita yang sah. Untung saya bisa memberi pengertian pada Bella, bahwa Abi sangat jarang punya keinginan menulis seperti dirinya. Kesempatan ini biarkan diambil Abi.

IMAJINASI

Dari celoteh anak-anak kami, saya menyimaknya. Ini persoalan sosial di kampung saya. Dan saya menganggap, bahwa cerita Mang Pei gila ini adalah ide cerita yang baik. Jika kita mampu mengembangkan syap-sayap imajinasi kita, celotehan kedua anak saya ini ibarat letikan api. Jika saya menyiramnya dengan bensin imajinasi, letikan api itu akan berkobar dahsyat.

Tokoh-tokohnya sudah saya miliki; Pei sebagai protagonis (si baik) dan Syamsudin di antagonis (si jahat). Tokoh-tokoh pendukung lainnya, yang akan memperkuat konflik, tunangan dan Ibu Pei. Konfliknya sudah jelas, Syamsudin iri kepada Pei, yang dagangannya selalu laris. Endingnya juga, yaitu Pei jadi gila karena tunangannya membatalkan pernikahan mereka. Ini tragedi.

Alur cerita atau sinopsisnya mudah dibikin, yaitu tentang seorang lelaki bernama Pei. Dia difitnah mencuri kerbau. Orang-orang di kampungnya mengucilkannya. Tunangannya meninggalkan dia, sehingga pernikahannya batal. Dia akhirnya mengunci diri di kamar selama berhari-hari, karena malu. Walaupun pencuri sesungguhnya sudah ditemukan dan tunangannya datang meminta maaf, dia tetap mengurung diri di kamarnya. Suatu hari pintu kamarnya terbuka. Ibunya tidak mendapatkan Pei didalam kamarnya. Tapi, dia mendengar anak-anak kampung berteriak-teiak, ”Mang Pei gila, Mang Pei gila!” Si Ibu tertunduk sedih. Wanita tua itu semakin bersedih, karena tunangan anaknya sedang berdiri memandangi anaknya yang jadi gila. Ironisnya, si tunangan itu sedang bergandengan tangan dengan Syamsudin, lelaki yang menyebarkan fitnah, kalau Pei adalah pencuri kerbau.

Nah, sudahkah kita sering mendengarkan atau menyimak dengan baik cerita dari orang lain? Apakah itu cerita dari adik di rumah, teman sebangku di sekolah, rekan senasib di perantauan, atau anak-anak kita saat makan malam bersama? Dalam empat ketrampilan berbahasa, kita diajarkan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Kadang kita terlalu percaya diri dengan apa yang kita miliki, sehingga jarang sekali kita untuk mau mendengarkan cerita dari orang lain. Padahal jika kita mau dengan seksama mendengarkan, apalagi menyimaknya, begitu banyak cerita bertebaran di sekeliling kita. Hanya dengan sedikit imajinasi, kita bisa mengolahnya menjadi sebuah cerita rekaan (fiksi). Dan tidak akan ada lagi keluhan, bahwa betapa sulitnya menulis atau menemukan ide cerita.

Tidak percaya? Cobalah sekarang memulainya dengan mendengarkan cerita orang lain. Atau kalau perlu, kita menyuruh saja orang-orang terdekat di sekeliling kita untuk bercerita. Nah, kamu sendiri punya cerita yang mau diceritakan kepada saya?

***

*) Rumah Dunia, 05 Nopember 2006

*) Dimuat di Bengkel Cerpen Annida Oktober/november
*) Foto: Saat peluncuran kumpulan puisi Johanes, 10 FEbruari 2007 di Rumah Dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda