04 Mei 2010

Ketika Membaca "Pulang"

KETIKA MEMBACA ''PULANG'



Cerpen Helvy Tiana Rosa yang berjudul "Pulang", masih saja membekas dalam ingatanku. Cerpen dengan 8 halaman itu telah memberi makna yang sangat mendalam bagi jiwaku, di mana pengorbanan sang ayah dengan tetap menahan rindunya untuk bertemu dengan anak lelaki satu-satunya yang sedang belajar di negeri orang, dengan harapan anaknya kelak menjadi orang berilmu.


Aku sudah membacanya beberapa tahun yang lalu, tapi ceritanya tetap menggaung di ingatanku. Bagai kerinduan yang tak 'kan pernah hilang dari hati, sebagaimana yang telah dirasakan oleh "dia", seorang lelaki yang sedang menuntut ilmu di negeri orang, sebagai tokoh utama dalam cerita itu. Tidak ada nama, karena memang nama pemeran utama dan nama-nama tokoh lain dalam cerita itu tak disebutkan. Namun demikian, tanpa nama bukan berarti cerita jadi tidak menarik. Justru itu uniknya! Meskipun tanpa adanya sebuah nama dari masing-masing tokoh, cerita tetap menarik dan sangat berkesan. Dan itu salah satu dari kehebatan seorang Helvy Tiana Rosa. Dia mampu mengemas cerita menjadi begitu menarik dan mengharu biru meskipun tidak disertakan nama-nama tokoh cerita dalam sebuah cerita.


Padahal, hampir semua cerita pendek ada nama-nama tokoh di dalamnya. Aku sendiri sering merasa kesusahan jika membuat cerita dengan tanpa menyebutkan nama tokoh cerita. Pernah kucoba, tapi selalu saja harus menyertakan nama dalam sebuah cerita. Dan aku sendiri bingung, dan selalu bertanya dalam hati : Kenapa Mbak Helvy bisa? Hingga sering muncul keinginan untuk belajar padanya tentang itu. Mungkin suatu saat aku bisa menemukan rahasianya, tips mudah cara membuat cerita dengan tanpa menyebutkan nama tokoh cerita dalam sebuah cerita. Hehehe…….


"Jangan pernah kembali ke sini, kecuali kau ingin mati".


Begitu awal kalimat yang ada dalam cerpen "Pulang". Sekilas, baru membaca satu kalimat itu saja, pembaca pasti akan merasa trenyuh dan menjadi penasaran. Ada apa di balik kalimat itu? Kenapa kalimatnya begitu menakutkan dan penuh ancaman? Dan ini sekali lagi yang menarik dari cara Helvy dalam membius pembaca untuk segera membaca cerita yang ia buat. Kalimat itu lah yang memancing pembaca menjadi ingin tahu isi dari cerita tersebut.


Kembali kepada isi cerpen yang berjudul "Pulang". Kalimat di atas adalah kalimat peringatan yang tertera dalam surat terakhir yang ia terima dari ayahnya, sebulan lalu. Sebelum mendapat surat itu, ia telah mengabarkan kepada sang ayah di kampung halaman, bahwa ia sangat rindu untuk pulang. Ia ingin memeluk ibu dan adiknya, seorang gadis yang tak pernah berhenti mengiriminya air mata.


Saat ia menanyakan kepada sang ayah, apakah kirimannya sampai pada mereka, jawaban sang ayah sangat menyedihkan hatinya :


"Tak ada apapun yang sampai di sini, Anakku. Hanya bayanganmu dan maut yang mengendap-endap."


Sangat tragis memang! Ia mengirim rindu dan kecemasannya bersama beberapa titipan berupa surat dan foto, namun titipan itu hilang atau dirampas di perjalanan. Tak pernah ada kejelasan. Kampungnya memang telah lama dilanda kerusuhan. Pembakaran rumah penduduk hingga pembodohan penduduk di kampung itu terjadi hampir tiap hari.


Dari kalimat "ancaman" yang ditulis sang ayah, aku jadi ingin protes! Kenapa sang ayah begitu yakinnya, bahwa jika anak laki-lakinya pulang ke kampung halamannya pasti bakal mati! Seolah dia tahu betul, bahwa kematian pasti akan menimpa pada sang anak. Bukankah hidup dan mati hanya Allah yang tahu? Atau karena sang ayah sangat menyayanginya, hingga tak rela jika anaknya mati tertembak setelah pulang dan bertemu dengannya. Entahlah, mungkin jawaban itu ada pada Mbak Helvy.


Aku sama sekali tidak mengerti. Kenapa sang anak yang laki-laki malah dibiarkan pergi mencari ilmu, seolah sengaja membebaskannya dari petaka dan siksa yang ditimbulkan oleh orang-orang durjana yang ingin menguasai kampung itu. Bukankah sebagai anak laki-laki sudah seharusnya melindungi adik dan orang tuanya yang makin renta? Mengapa justru anak perempuannya yang sengaja dibiarkan tinggal dan tertekan menghadapi orang-orang durjana itu menyerang kampungnya?


Hingga sang anak menikah dan memiliki seorang istri serta dua orang anak, ia tetap tidak diijinkan pulang ke kampungnya. Ia memang rindu pulang, tapi dia hidup dalam damai dengan keluarga yang telah dibinanya. Sementara, adik perempuannya dan orang tuanya hidup dalam penderitaan, yang pada akhirnya kedua orang tuanya mati tertembak. Kini, sang adik perempuan yang telah berusia 20 tahun hidup sebatangkara, seorang diri tanpa perlindungan dari sang kakak laki-lakinya. Duhai…. , betapa sengsaranya gadis itu. Aku sempat menangis terisak-isak saat membaca akhir dari cerpen itu, di mana sang gadis menulis surat untuk sang kakak :


"Aku merindukanmu, tapi jangan pulang. Sejak lima tahun lalu, orang-orang yang entah siapa telah membunuhi orang-orang cerdas dan para pemikir di kampung kita. Di sini sudah banyak sarjana dan cendekiawan yang mati. Jadi, kumohon, jangan kembali……."


Tetes air mata gadis itu jatuh di atas kertas surat yang tak wangi.
"Tolong jangan pulang, Bang. Nanti Abang bisa mati."


Meski aku tetap tak mengerti, kenapa sikap sang adik sama dengan sang ayah : melarangnya pulang!, namun air mataku ikut menetes, seiring membaca tulisan terakhir dari sang adik untuk sang kakak tercintanya yang jauh di sana…….
***


By : Futicha Turisqoh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda