29 Agustus 2010

LOMBA MENULIS RESENSI BUKU ASMA NADIA PUBLISHING HOUSE (LMRBA)




CERITA YANG MENYENTUH DAN MENGGELITIK



By : Puput Happy



Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maman S. Mahayana pada sampul belakang buku "Emak Ingin Naik Haji" karya Asma Nadia : "Cerpen-cerpen Asma Nadia mengalir lancar. Tema-temanya menyentuh problem etik dan moral dalam balutan suasana religius. Maka karya-karyanya tidak sekedar menyuguhkan kenikmatan estetik, tetapi juga memancarkan penyadaran, betapa hidup ini begitu indah dan penuh makna jika ditaburi sikap toleran, peduli pada sesama makhluk, dan tidak kikir berbagi cinta pada kebenaran dan kemanusiaan," hampir sama dengan pendapatku setelah membaca Album Cerita Pilihan Asma Nadia : "Emak Ingin Naik Haji" tersebut.



Berkali-kali aku membaca cerpen-cerpen yang ada dalam buku Emak Ingin Naik Haji tersebut, dan perasaan gembira sekaligus tersentuh hati ini saat membacanya, yang membuat air mataku menitik. Bagaimana tidak, cerita yang mungkin oleh sebagian orang hanyalah kumpulan cerita sederhana, tapi bagiku merupakan cerita yang sangat berarti, sarat makna dan selalu terngiang-ngiang di kepalaku.



Dari mulai cerita tentang Zein yang ingin menghajikan ibunya dalam Emak Ingin Naik Haji, yang begitu kuat azzamnya untuk bisa mewujudkan keinginan itu, meski pada akhirnya ia hanya bisa menyaksikan ibunda tercintanya mengenakan pakaian ihram, mengelilingi ka'bah dengan tersenyum di langit dalam bayangannya yang mulai mengabur akibat ulah mobil yang menabraknya. Ia membawa mimpi yang agung itu hingga di saat terakhirnya.



Jiwaku bergejolak, air mataku menitik satu-satu hingga saat kubaca di akhir cerita itu…..



"Tapi angin telah merebut paksa lembaran koran yang belum lama terkepal di tangan Zein, setelah sebuah Porche hitam menabrak tubuhnya dengan keras.



Di langit, dalam bayangan yang mulai mengabur, Zein melihat Emak dalam pakaian ihram, mengelilingi Ka'bah. Wajah Emak yang bercahaya tersenyum menatapnya."



Berkali-kali kuusap air mataku. Betapa sebuah cerita pendek mampu membuatku terhanyut dalam cerita itu, sampai hatiku berkata, "Mbak Asma, kenapa kau bikin aku menangis begini?"



Bukan itu saja, cerita "Cinta Begitu Senja" setelah "Emak Ingin Naik Haji" juga sangat membuatku tersentak. Kisah cinta antara Fajar dan Senja yang masing-masing memendam cintanya begitu lama, dan cinta itu baru terkuak setelah usia mereka sudah di ujung senja. Kisah yang membuatku "gregetan", ingin marah, dan seakan tak bisa memaafkan mereka, Fajar maupun Senja yang menyimpan cintanya hingga bertahun-tahun. Cinta yang menyesakkan dada! Tidak adanya keterbukaan dalam mengungkapkan cinta telah membuat mereka hidup menderita. Betapa aku tertegun dengan ungkapan Senja dan Fajar yang saling menyalahkan :



"Aku perempuan! Itu sebabnya!" suara Senja mendadak keras, "Perempuan bukan tempat yang terbuka dalam membicarakan perasaan!"



"Kenapa tidak?"



Suara Fajar yang sekonyong-konyong tak kalah keras, mengagetkan Senja. Belum pernah ia mendengar Fajar bicara seperti itu. Tidak padanya, atau adik-adiknya yang lima orang. Tidak pernah, selama sejarah pertemanan mereka yang panjang.



"Perasaan milik siapa saja, Senja! Bukan kewajiban bagi laki-laki mengungkapkan perasaannya. Harusnya perempuan lebih peka soal ini."



"Peka? Jadi maksudmu aku tidak peka? Tidak sensitif? Begitu?"



"Bukan begitu, maksudku…."



Pertengkaran mereka membuatku ingin tertawa saja, apalagi saat Fajar bertanya,



"Senja, kenapa jadi rumit begini?"



Sungguh, kisah percintaan yang mengharukan. Masing-masing memiliki ego yang susah dimengerti.



"Sesuatu yang terlambat, mungkin memang tidak perlu dimulai!"



Sensitivitas! Mungkin itu yang kurang bisa diterima oleh sebagian orang. Betapa banyak orang yang sangat menjaga "kesensitivitasan", padahal menurutku keterbukaan itu perlu, sehingga perasaan menyiksa diri tidak akan tertjadi. Tapi terlepas dari pendapat orang tentang arti "sensitivitas", aku acungkan sepuluh jempol deh buat Mbak Asma! Hehehe… Karena dengan cerita itu, seperti ada pesan yang ingin diserunya :



"Ayolah, buang ego masing-masing…. Ayo kita mulai belajar terbuka dalam mengungkapkan perasaan masing-masing, karena perasaan itu milik semua orang, bukan hanya milik perempuan…."



Baru dua cerita yang kubaca saja sudah membuatku banyak berpikir. Asma Nadia begitu mampu mengemas cerita dengan apik dan sangat berkesan. Ditambah lagi cerita selanjutnya yang tak kalah menariknya, yaitu "Koran". Kelihatannya sih sepele saja, karena judulnya cuma satu kata : "Koran", tapi isi ceritanya begitu menggelitik! Dialog yang tersaji di dalamnya membuatku sering tertawa sendiri. Sangat renyah seperti kerupuk. Seperti dalam kalimat yang diucapkan oleh Udin, peran utama dalam cerita itu, "Orang kecil kayak kita, bisanya ya memang sok tahu, Mas! Mau sok pamer kan enggak bisa."



Yup! Aku setuju! Bukankah dengan rajin membaca Koran akan membuat otak kita penuh dengan informasi dan tidak kuper, yang menjadikan kita "selalu tahu" tentang segala sesuatu. Sebagai "hiburan yang mencerdaskan", katanya.



Orang cerdas itu baca koran, tau!



Aku jadi teringat dengan temanku, seorang penulis yang berprofesi sebagai tukang koran. Ia menjadi pintar menulis karena rajin membaca koran yang ia jual. Makanya aku tidak heran, jika banyak orang pintar yang berasal dari kalangan pecinta buku, koran, majalah, tabloid, internet, dan lain-lain. Begitu banyak informasi yang masuk ke dalam otaknya, yang menjadikannya cerdas dan bersahaja. Di balik kesederhanaannya, tersimpan kecerdasan yang tak banyak dimiliki oleh orang-orang kaya ataupun yang berpenampilan seperti orang kaya.



Cerita "Koran" itu seperti sengaja mengajak pembaca untuk lebih mencintai koran dan mau membacanya, agar menjadi pembaca yang cerdas dan peduli dengan peristiwa yang ada. Meski kadang kita sering dibikin kesal atau bosan dengan banyaknya berita kriminal yang ada di koran, bukan berarti kita harus menjauhi koran sejauh-jauhnya, yang membuat kita justru semakin tidak tahu apa-apa tentang kondisi masyarakat dan dengan segala fenomena yang ada. Jika tidak suka dengan isi beritanya, bukan berarti membenci korannya juga kan? Mungkin begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Asma Nadia.



Duh, rasanya akan menjadi panjang jika aku bahas satu persatu dari album cerita pilihan Asma Nadia tersebut. Yang jelas, isi ceritanya sangat bagus dan sarat makna. Buku kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji tersebut patut dimiliki oleh semua orang, sebagai penggugah kesadaran akan arti kehidupan. Dengan membacanya, perasaan kita akan menjadi lebih peka. Kita akan menjadi lebih bergairah untuk bisa membaca kehidupan sosial yang ada di sekitar kita, bisa membaca pikiran dan perasan orang lain, pun bisa membaca kisah-kisah orang lain yang banyak mengandung hikmah dan menjadi pelajaran berarti bagi hidup kita.



Namun begitu, aku selalu sedih jika membaca karya-karya Asma Nadia. Bukan karyanya yang membuatku bersedih, tapi karena kurangnya sentuhan dan sapaan dari Asma Nadia untukku. Ingin rasanya, sesekali dia menyapaku : "Hai, apa kabar?" (Halah! Lebay! Hehehe….ngarep.com) ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda