15 November 2010

KECEWA? KAMU NGUMPET DIMANA?

oleh Riawani Elyta pada 03 Oktober 2010 jam 12:33
Afwan ya, awalnya ini hanya curhat, tapi koq rasanya seru juga untuk dibagi. Kecewa disini, skupnya nggak luas-luas amat, hanya ingin menyikapi salah satu trend di FB, yaitu acara lomba-lombaan yang sekarang ini frekuensinya seriiiing banget. Bahkan hampir nggak ada minggu yang nggak ada lombanya meskipun hanya berupa quiz ato undian.

Dulu, sebelum kenal FB saya juga sudah getol nyari info tentang lomba-lombaan, bahkan kalau dirunut dari dulu, sejak kelas 1 SD saya juga udah ikutan bermacam jenis lomba. (yang jadoel ini gak usah dibahas lha ya, takutnya malah kege-eran, lumayan sering menang sih, deuuu…)

Saya hanya ingin bicara tentang salah satu trend lomba, yaitu lomba nulis. Dari sekian lomba nulis yang pernah saya ikuti, jangan tanya udah berapa kali saya kalah, karena jawabannya cuma satu : gak inget ! (tapi kalo ditanya berapa yang menang, insya Allah inget, karena jumlahnya baru dikit, hehe).

Apa yang saya ingat dulu, kalo pas membaca daftar nama pemenang, dan nggak nemuin nama saya disana, saya kecewa berat, sampe berkaca-kaca juga pernah, langsung terputar ulang masa-masa ‘perjuangan’ (halah!) saat mempersiapkan naskah untuk mengikuti lomba.

Tapi sekarang, malah sebaliknya, kalau saya nggak ketemu nama saya di daftar pemenang, saya malah kelimpungan mencari-cari rasa ‘kecewa’ saya. Koq nggak ada ya? Ngumpet dimana dia? Yah nggak perlu sampe berkaca-kaca segala sih, minimal ngerasa gimana kek gitu, ‘kan yang namanya ngikutin lomba, pasti ada unsur kerja kerasnya, masak sih nggak kecewa kalau kalah? Nyatanya, memang nggak kerasa. Sampai saya berpikir, apa perasaan saya masih normal? Hehe…

Lalu iseng-iseng saya ngumpulin sebab-sebab yang bikin saya nggak lagi merasa kecewa walaupun kekalahan datang beruntun dan kemenangan nongolnya hanya sesekali. Siapa tahu ada gunanya, buat teman-teman yang juga punya hobi sama dan sampai hari ini masih ngerasa gimanaaa gitu kalau hasil yang didapat nggak sejalan dengan yang diimpikan.

1.   Saya sangat yakin kalau juri juga manusia (lha iyalah, emang robot??), jadi yang namanya manusia, pasti punya batas, kelemahan dan kekurangan. Manusia bisa merasakan lelah, bete, ngantuk dan kelelahan. Jadi misalkan dalam satu hari juri dituntut untuk baca 50 naskah, dan ternyata naskah kita tepat di urutan ke-50, disaat juri sudah berada di puncak kelelahan, mata sepet dan super bete, walhasil, naskah yang harusnya dapat nilai 9 bisa turun jadi 7.

2.   Masih terkait sifat alamiah manusia, saya juga yakin kalau masing-masing manusia pasti punya selera yang spesifik. Jika lomba nulis diadakan oleh media atau penerbit, mungkin, kita bisa mengenali selera dari buku atau tulisan yang diterbitkan oleh media atau penerbit tersebut. Tapi tetap saja tak mudah untuk mengenali selera individu.

Mudahnya, kalau tetangga kita demen pop, giliran kita mutarin dangdut kenceng-kenceng, meski itu dangdut terbaik abad ini, tetap saja nggak akan nyambung dengan selera si tetangga, salah-salah, dia malah sakit hati.

Nah, gitu juga dengan juri lomba nulis, kali aja selera mereka lebih pada tulisan yang runut, efektif dan mudah dipahami. Giliran tulisan kita yang bertabur metafora, ya uwis, pastinya bakal terdiskualifikasi

3.   Saya selalu yakin pada kerja keras dan kekuatan doa.
Nah, di poin yang ketiga inilah tempat saya sering introspeksi. Sudah maksimalkah usaha saya? Atau jangan-jangan nulisnya buru-buru dan mepet deadline? (hayo ngaku siapa yang sama dengan saya? ^_^). Atau jika kerja sudah maksimal, bagaimana doa saya? Sudahkah sungguh-sungguh?

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 186 artinya : Apabila hambaKu bertanya kepada engkau tentang halKu, maka sesungguhnya aku hampir. Aku perkenankan doa orang yang meminta, bila meminta kepadaKu, tetapi hendaklah ia mengikut perintahKu, serta beriman kepadaKu. Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.

Barangkali saja doa saya sudah maksimal, tapi pada saat itu saya justru mengerjakan apa yang Ia larang, atau barangkali juga ada perintahNya yang saya lalaikan. Ya tentu saja usaha sekeras apapun tetap akan sia-sia.

4.   Nah, yang keempat ini mungkin kedengarannya rada ekstrim, mensyukuri kekalahan. Lho?  Karena yakinlah bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, termasuk kekalahan. Kekalahan akan selalu menggiring kita pada introspeksi untuk berbuat yang lebih baik, dan dengan sering ‘menikmati’ kekalahan, insya Allah kita akan lebih mampu mengontrol diri pada saat dianugerahi kemenangan.

Tahu sendiri ‘kan? Kalau sudah menang, manusia kadang nggak bisa mengontrol luapan rasa gembira, syetan juga gampang masuknya, trus gembar-gembor, bikin pengumuman sana-sini. Bukannya nggak boleh sih, mensyukuri kemenangan, tapi satu hal yang harus selalu kita ingat, di sekeliling kita ada puluhan, bahkan ratusan orang yang terkalahkan di ajang yang sama. Dan diantara jumlah yang banyak itu, mungkin hanya segelintir yang mampu berlapang dada, menerima kekalahan dan mampu dengan heroik mengucapkan selamat kepada pemenang. Lantas sisanya? Wallahu alam. Dan diluar dari itu, lebih banyak lagi yang tak merasa mampu untuk bersaing, dan hanya bisa menggigit jari dan memandang iri kepada sang pemenang.

saya masih ingat, pertama kali saudara saya berhasil tulisannya dimuat di media, senangnya bukan main, tapi hari ini, disaat tulisannya kembali dimuat, reaksinya tak lagi seheboh dulu, dan waktu saya tanya, dia dengan santai menajwab, ‘Sudah nggak ingat lagi ini tulisan yang keberapa, saking seringnya ngirim.’
Hm. Ternyata ‘buah’ dari keseringan ditolak pada akhirnya bisa mengontrol emosi pada saat karyanya dimuat.

Saya juga pernah ngalami hal yang sama, pertama kali menang lomba nulis yang cukup prestisius, rasanya pengen lompat2, trus nelpon emak, kakak, sodara2, ujung-ujungnya malah kelimpungan sendiri pas diminta traktir, hmmm……(untung aja waktu itu belum kenal FB, kalo udah, gak tahu deh isi status saya dah seheboh apa, hehe). Alhamdulillah, seiring dengan beruntunnya kekalahan yang terjadi setelah itu, pada saat berhasil menang lagi, saya gak lantas lompat2, dan lebih berusaha mengontrol diri.

5.   Terlepas dari sebab-sebab diatas, saya mulai belajar untuk meluruskan niat. Apa sih yang saya cari dari lomba? Lalu berusaha untuk selalu ingat, akan berlomba-lombalah dalam kebaikan. Jadi kalau lomba itu membawa kebaikan buat saya dan orang lain, ya udah, dicoba aja, kalau gagal, ya kembali lagi ke poin-poin diatas. Dan alhamdulillah, rasa kecewa saya menerima kekalahan jauh lebih cepat dan otomatis menghilang sebelum saya sempat membaca lagi poin-poin diatas ini.

Saya hanya berharap, bahwa dari proses sederhana ini, kelak saya juga bisa dengan lapang dada menerima kekalahan-kekalahan dalam hal yang lain, tanpa harus kehilangan semangat untuk terus berjuang.
Karena sesungguhnya perlombaan terbaik adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Justru pada saat kalah dalam perlombaan berbuat kebaikan ini dan saya tak merasa kecewa, saya pantas bertanya apakah saya masih ‘normal’ atau tidak. (ups!)

Sekali lagi afwan yaaaa kalau curhatnya rada dodol, bagi yang punya pengalaman tentang kekalahan dan mengatasi rasa kecewa silahkan kalau mau sharing, bagi yang kurang berkenan sama tag ini silahkan aja kalo mau di remove, insya Allah nggak akan kecewa koq, hehe…

Rumah yang lagi audzubillah berserakan,
Minggu malem, 03102010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda