17 November 2010

Mari Menulis Resensi

http://indonesiabuku.com/?p=2619

Diposkan oleh Diana AV pada 22 Dec 2009 
Oleh : Muhidin M Dahlan
Meresensi buku? Apa sih!?
• Meresensi adalah sebuah usaha seorang pembaca untuk memberikan komentar atas kesan buku yang sudah dibacanya. Komentar itu bisa berupa kritik dan pujian. Namun dalam perkembangannya, resensi telah menjadi metode tersendiri untuk memetakan jalan pikiran sebuah buku yang sedang dibaca.
• Meresensi adalah menuliskan kembali apa saja yang sudah kita serap dari buku. Dengan demikian meresensi sebetulnya adalah usaha memperpanjang ingatan kita akan sebuah buku lantaran ingatan manusia amatlah terbatas. Dengan meresensi, sebtulnya kita sudah menempuh jalan memperpanjang ingatan yang pendek dan mengabadikan ingatan yang fana.
Apa keuntungannya??
• Meresensi buku memberi 3 keuntungan: psikologi, ekonomi, dan jaringan. Menulis itu memberi suntikan spiritualitas kepada penulisnya, apalagi resensi itu mendapatkan sambutan dari pembacanya. Siapa sih yang tak senang tulisannya dibaca orang lain. Dengan dikenalnya nama sebagai penulis (resensi buku) secara otomatis jaringan pergaulan kita meluas.
• Jika sebuah resensi dimuat di media cetak komersial, kemampuan meresensi itu bisa memberikan asupan ekonomis. Bahkan beberapa media massa nasional membayar sebuah resensi yang dimuatnya dengan jutaan rupiah. Selain itu, beberapa penerbit yang bukunya diresensi kerap memberi tambahan honor dan sejumlah buku sebagai ucapan atas diresensinya buku mereka.
Jadi, kenapa tak dimulai saja?
1. Memilih buku
• Memilih buku memang susah-susah mudah. Tapi pilihlah buku yang disukai. Biasanya, gairah membaca kita menaik jika buku yang kita baca adalah buku yang tema-temanya kita sukai. Jika suka membaca karya-karya fiksi, tentu akan mogok jika diserahkan buku-buku ekonomi atau sains. Demikian pula, jika kamu suka buku bertema non fiksi seperti filsafat, akan susah dipaksa betah membaca buku anak-anak.
• Karena itu, dalam dunia penulisan resensi buku, kerap sebuah tema menjadi alamat seorang peresensi. Di sebuah blog, seorang peresensi buku hanya mau meresensi kalau buku itu buku anak-anak atau buku sastra saja. Bahkan ada yang spesialis meresensi buku-buku ekonomi dan manajemen.
• Jadi, pilihlah buku bertema yang sesuai dengan minat dan meresensilah.
2.Cantumkan data buku
• Data buku yang dimaksud adalah: judul buku, penulis (jika buku terjemahan, tuliskan judul asli dan penerjemahnya), penerbit (dan kotanya), waktu terbit, jumlah halaman, dan jika perlu juga cantumkan harga buku. Contoh:
CREATIVE WRITING: 72 Jurus Seni Mengarang
Penulis: Naning Pranoto
Penerbit: Primamedia Pustaka, Jakarta
Cetakan: I, Februari 2004
Tebal: 168 hlm
Harga: Rp 23.000
3. Membuat judul
• Pentingnya judul resensi seperti pentingnya penunjuk arah dalam rambu lalu lintas. Bayangkan jika ke sebuah kota yang tak kita kuasai petanya tak ada rambu besar petunjuk di perempatan di depan sebelah kanan mau ke mana, sebelah kiri mau ke mana dan kalau terus maju akan berujung ke mana.
• Judul adalah pintu pembuka seorang pembaca untuk masuk dalam tulisan kita. Ada beberapa jenis judul yang biasanya dijumpai dalam resensi-resensi yang sudah dipublikasikan. Kita bisa belajar dari sana. Ciri umumnya adalah:
a. Judul yang diolah dari judul buku itu sendiri. Misalnya,
“Lima Pertanyaan yang Selalu Mengusik” (dikutip dari 5 Tantangan Abadi terhadap Agama, karya Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahuddin Ahmad, Mizan, 2008. Dimuat Ruang Baca Koran Tempo Edisi 27 Oktober 2008)
b. Rangkuman dari tema utama yang diulas oleh buku. Ini pun dibagi dalam pelbagai jenis lagi seperti:
- judul yang sarkastis
“Konduktor Orkes Ekonomi Tamak” (Abad Prahara, Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia Abad Ke-21, karya Alan Greenspan, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Ruang Baca Kortem Edisi 04 Desember 2008, peresensi: EH Kartanegara
- judul yang menunjuk langsung pada tindakan tokoh utama dalam buku. Umumnya berlaku pada buku-buku biografi.
“Menyelami Pikiran Kiki Syahnakri” (Aku Hanya Tentara karya Kiki Syahnakri, Kompas 2008. Dimuat di Harian Jawa Pos edisi 18 Januari 2009; peresensi: Moh. Samsul Arifin)
- judul yang memberitahu sebuah buku serial
“Akhir Pengembaraan Laskar Pelangi” (Maryamah Karpov karya Andrea Hirata, Bentang, 2008. Dimuat di Harian Koran Tempo edisi 07 Desember 2008; peresensi: Erwin Dariyanto)
Dan macam-macam lagi. Silakan dikembangkan
4. Paragraf Pembuka
• Paragraf pembuka mestilah memikat. Ia seperti resepsionis di sebuah hotel yang bertugas memberi rasa tenang, penasaran, dan mengait tamu agar tak pindah ke hotel lain. Paragraf pembuka, dalam hal ini, adalah pengait pertama dan utama agar pembaca penasaran. Paragraf pembuka yang buruk membikin kita malas baca. Padahal resensi yang baik adalah memiliki pembuka yang bagus. Maka cari apa yang paling menarik dari buku itu yang perlu diletakkan di paragraf pembuka.
Ada macam-macam paragraf pembuka:
A. Deskripsi
“Emboss palu-arit tercetak samar di kertas putih bersih itu menghadirkan kembali rasa getir trauma masa lalu. Judul dengan warna merah menyala di samping logo penerbit bak darah mengalir, mengingatkan pada betapa banyak darah tertumpah yang menjadi tumbal gambar itu.” (Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan & Rhoma Ria, Merakesumba, 2008. Dimuat di situs iddaily dan beberapa situs lain; peresensi: Diana AV Sasa)
… paragraf pembuka
B. Pertanyaan
“Ya, buku yang dikemas elok dengan tata visual ‘nyeni’ ini merupakan kumpulan kolom yang pernah dimuat di Suara Merdeka tiap Minggu di halaman depan tepi kiri, di rubrik ”Celathu Butet”. Belum sampai membaca jauh, kita sudah digelitik sebuah informasi. Khususnya di halaman cover dalam. Di tempat ini di bawah judul buku dan penulis, tertulis informasi: Kolom Celathu Suara Merdeka September 2007-September 2009. Lho, ini guyonan apa sungguhan? Kalau guyonan, ya maklum; kalau sungguhan, kan masih perlu setidaknya satu tahun lagi untuk menuju September 2009?” (Presiden Guyonan karya Butet Kartaredjasa, Kitab Sarimin, 2008. Dimuat di Harian Suara Merdeka edisi 16 November 2008; peresensi: Triyanto Triwikromo)
C. Keterangan umum
“Layaknya pedang dan senapan, media komunikasi memainkan peran penting dalam pergolakan di Prancis pada abad ke-16. Kaum Protestan berpaling kepada pers untuk menyebarluaskan gagasan mereka. Kertas dan plakat yang menyerang massa Katolik dicetak di Swiss, diselundupkan ke Prancis, dan ditempelkan di tempat-tempat umum.” (Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg sampai Internet karya Asa Briggs dan Peter Burke, Yayasan Obor Indonesia, 2005. Dimuat di Harian Koran Tempo edisi 30 November 2008; peresensi: Dian R Basuki)
D. Kutipan tidak langsung
“Terus terang saya terpikat dengan ”provokasi” Sukardi Rinakit -dalam kata pengantar buku ini– yang menyamakan sosok Letnan Jenderal (purn.) Kiki Syahnakri dengan Livius, ksatria Romawi yang berkarakter kuat, sayang pada rakyat, dan mempunyai kepemimpinan kuat. Inilah yang mengantar saya menuntaskan halaman pertama hingga akhir buku sang jenderal ini.” (Aku Hanya Tentara karya Kiki Syahnakri, Kompas, 2008. Dimuat di Harian Jawa Pos edisi 18 Januari 2009; peresensi: Moh. Samsul Arifin)
E. Kutipan langsung
“Anda, pada suatu titik dalam perjalanan hidup, barangkali pernah terjebak jalan buntu. Anda terperangkap di persimpangan jalan. Ke kiri menuju neraka. Ke kanan mengarah ke neraka. Maju ke depan mengantarkan ke neraka. Berbalik arah Anda akan sampai di neraka juga. Tidak ada lagi yang bisa Anda lakukan. Anda sungguh mendamba jalan keluar. Dan, Anda beruntung. Malaikat penolong datang menyelamatkan Anda dari situasi kritis, dilematis, atau kematian.” Metafora Peter Kingsley dalam buku In the Dark Places of Wisdom dengan tepat menggambarkan pergulatan Cordula Maria Rien Kuntari menekuni jurnalisme. (Timor Timur Satu Menit Terakhir karya Cordula Maria Rien Kuntari, Mizan, 2008. Dimuat di Harian Jawa Pos edisi 25 Januari 2009; peresensi: J. Sumardianta)
F. Silakan dikembangkan lagi…
5. Memaparkan Isi Buku
• Diperlukan keluwesan menulis dalam memaparkan isi buku. Ada yang memaparkan berdasarkan bab demi bab yang berarti linear atau lurus. Ada juga yang memaparkan hanya hal-hal pokok yang menonjol dalam buku. Jadi tak mesti semuanya. Yang penting dari seluruh proses membaca buku itu adalah menemukan ide-ide pokok.
• Yang penting juga di sini adalah kelancaran menyambung antar kalimat dan kalimat sehingga pergantian antar paragraf terlihat bulat. Umumnya mereka yang tak terlatih, pergantian antar paragraf itu seperti roda kereta yang tiba-tiba seperti persegi. Bayangkan saja gimana rasanya menaiki kereta beroda seperti itu.
6. Beri kritik
• Seorang peresensi bukan juru bicara sebuah penerbit atau juru bicara penulis. Ia berada di antara pembaca umum dengan produsen buku (penerbit dan penulis). Peresensi adalah mata bagi pembaca umum untuk melihat secara kritis buku yang diterbitkan dan bakal calon dikonsumsi masyarakat. Kalau buku itu buruk, peresensi akan mengatakannya buruk. Bila baik, peresensi tak segan-segan mengatakannya baik. Umumnya yang dikritik adalah salah cetak, gaya penulisan, sampul, bahkan logika atau kutipan-kutipan yang tersaji dalam buku. Jika buku terjemahan, maka biasanya yang dikritik adalah kualitas terjemahan.
Berikut ini diberikan satu contoh kritik:
Judul Buku: Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Peresensi: Diana AV Sasa
Pada halaman akhir dilampirkan beberapa sumber tulisan, sehingga nampak bahwa karya ini ilmiah. Akan tetapi sumber itu tidak benar-benar dirujuk, hanya sekadar dicantumkan saja. Jadi tidak jelas pada bagian mana sumber itu memberi kontribusi pada tulisan di dalam buku. Tidak ada foot note, apa lagi referensi. Sehingga, jika kita ingin menggali data lebih banyak, kita harus membaca sumber data itu lebih jauh-yang mayoritas berbahasa asing. >>
… kritik
<>
… kritik
<>
… kritik
<< Dengan sebuah kalimat “saya tidak pernah berjalan di atas bumi Panarukan” Pram mengakhiri penuturannya. Sebuah akhiran yang semakin membuat rancu ketika karya ini sering disebut—dan dinyatakan sendiri oleh penyusun—sebagai catatan perjalanan. Jika catatan perjalanan, maka perjalanan dari mana ke mana. Dari Blora ke Rembang atau Lasem? Jakarta – Bogor? Anyer – Bandung? Jakarta – Surabaya? Tidak jelas. Jika yang dimaksudkan adalah perjalanan hidup Pram, maka buku ini tengah kesulitan mencari genrenya.
7. Mengunci Tulisan
Umumnya kalimat pengunci tulisan adalah bagi siapa buku ini diperuntukkan. Peresensi yang sudah membaca buku itu dengan tuntas tentu mengetahui kalangan mana yang ingin disasar buku ini dan berguna bagi apa. Contoh: >>
… mengunci
<< “Hendaknya buku ini menjadi pijakan awal bagi generasi selanjutnya untuk menyusun literasi yang lebih komprehensif, terstruktur baik, dan ilmiah mengenai Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Sebuah jalan yang telah membawa pengaruh perubahan besar di sektor ekonomi, budaya, dan sosial bangsa ini hingga sekarang. Sehingga nanti akan ada sebuah literasi sejarah yang bisa lebih layak untuk dijadikan referensi pelajaran sejarah formal yang selama ini hanya berpaku pada satu sumber. Maka anak cucu kita akan mendapat informasi yang tepat mengenai sejarah bangsanya. Dan tidak sekali-sekali melupakannya.” (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels; Peresensi: Diana AV Sasa)
8. Panjang tulisan
Panjang dan pendek itu tergantung. Kalau menulis di surat kabar harian atau majalah berita, biasanya maksimum 900 kata diketik di MS Word atau 2.5 halaman satu spasi. Jika menulis di jurnal ilmiah, bisa sampai 20 halaman. Jika menulis di internet tentu lebih pendek sekira 600 kata atau 1.5 halaman kwarto.
LATIHAN
Perhatikan resensi ini dan cari kekurangannya, lalu coba buat bentuk lebih baiknya menurut Anda
RESENSI NOVEL (Perempuan Berkalung Sorban )
Identitas Novel
Judul Buku : Perempuan Berkalung Sorban
Penulis : Abidah El Khalieqy
Penerbit : Arti Bumi Intaran
Cetakan : IV
Tahun Terbit : 2009
Tempat Terbit : Yogyakarta
Sinopsis :
Dalam novel ini pada bagian pertama diceritakan mulai dari masa kecil tokoh utama yakni Annisa, anak dari ibu yang bernama Hajjah Mutmainah, da ayahnya yang bernama Kyai Haji Hanan Abdul Malik pendiri pesantren Tambak beras, Tebuireng ( Bahrul Umum ) di daerah Jombang, selain itu anisa memiliki dua kakak laki-laki yang bernama Rizal dan Wildan. Selain itu juga memiliki paman yang bernama lek Khudori ( sapaan Anisa kepada pamannya ).
Pada bagian kedua disampaikan bahwa anisa ini dari sejak kecil sudah mulai kelihatan akan kebandelannya terhadap orang tuanya, selain itu anisa juga sering kali memberontak akan hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, sehingga nisa ini sering mengadu segala kegajalan atau ketidaksukaannya terhadap sesuatu pasti disampaikan kepada lek Khudori, karena hanya lek khudori yang peduli akan nasib-nasib perempuan, selain itu lek Khudori juga sangat mendukung akan kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan sebatas dalam koridor syariah.
Selanjutnya dalam bagian ketiga diceritakan pula kisah anisa dalam mempertaruhkan masa remaja untuk bersenang-senang, dan mencari hal-hal yang baru harus tertunda bahkan tidak mengalaminya karena pada saat anisa masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama atau Tsanawiyah ( istilah dalam pondok ), nisa harus menikah dengan seorang Sarjana Hukum yang bernama Samsudin, anak seorang Kyai ternama yang memiliki harta yang melimpah, dan Samsudin ini adalah pewaris lima hektar tanah dan satu hektar kebun kelengkeng.
Meskipun nisa menikah dengan seorang yang terpelajar dan kaya serta anak seorang kyai, tetapi nisa tidak merasakan keindahan pernikahan tersebut, hal yang diraskan nisa tidak lain adalah penganiayaan dan pemerkosaan belaka, nisa merasa seperti dijadikan sebagai budaknya dan hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu syahwatnya belaka.
Pada bagaian keempat dikisahkan bahwa nisa selalu menceritakan penderitaanya tersebut kepada lek Khudori( pamannya yang saat itu sedang melanjutkan S2 di Kairo, Mesir ) melalui surat. Kemudian pernikahan nisa ini semakin hari semakin berantakan, karena kebejatan suaminya akhirnya nisa pun dipoligami dengan seorang janda yang bernama Kalsum, dan memiliki anak satu yang bernama fadilah ( anak hasil hubungan gelap / sebelum menikah ). Setelah sekian lama kehidupan rumah tangga ini, semakin rumit dan samsudin pun tidak tahan tinggal dirumah akhirnya dia pun sering keluar malam dan menginap dirumah seorang janda yang genit yang berjualan jamu di daerah samsudin tinggal. Beberapa waktu kemudian pamannya nisa yang bernama Lek Khudori itu telah selesai menjalankan pendidikannya, dan kemudian pulanglah ia ke Indonesia, dan bertemu dengan nisa.
Akhirnya pada saat tasyakura atau penyambutan lek Khudori nisa pun akhirnya memberanikan dirinya untuk bercerita kepada ibu dan ayahnya akan kejadian atau penderitaan yang dirasakan nisa karena ulah Samsudin. Setelah itu akhirnya keluarga nisa pun segera bertindak, dengan menjatuhkan talak tiga terhadap nisa. Selanjutnya nisa pun telah menyelesaikan sekolah Aliyahnya, dan akhirnya ia ingin membuka lembaran baru di Jogja dengan melanjutkan di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dan tanpa nis aketahui ternyata nisa itu diawasi oleh Lek Khudori, dan ternyata lek Khudori pun juga mendaftar untuk menjadi pengajar di Perguruan Tinggi di Jogja dan akhirnya kisah merekapun berlanjut di Jogja.
Setelah mereka bertemu akhirnya tak lama kemudian lek Khudori melamar nisa dengan mendatangi orang tua nisa, dan akhirnya mereka pun direstui dan menikah, mereka hidup di Jogja dan memiliki anak satu, itu semua atas keridhoan Tuhan, karena jika sudah kun fayakun,maka apa yang menjadi kehendah Tuhan pasti akan terwujud.
Analisis terhadap novel
Kelebihan novel
novel ini menggunakan bahasa yang lugas atau menggunakan bahasa sehari-hari ( pergaulan sehari-hari ) sehingga mudah untuk dipahami oleh pembaca.
novel ini menyajikan banyak ilmu ( multidisipliner ), sebagai contoh ilmu tentang agama, ilmu tentang kesehatan reproduksi, ilmu tentang social ( tata cara kehidupan bermasyarakat ) semua itu ada dalam novel ini.
novel ini juga menyajikan pendapat yang fenomenal yakni hak perempuan sangat diangkat dalam novel ini, pada khususnya pada kesehatan reproduksiatau pada hak reproduksinya sangat diperhatikan secara tuntas, selain ityu kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan juga diangkat dalam novel ini.
berdasarakan latar belakang penulisnya, maka tidaklah heran jika latar cerita dalam novel ini adalah di pondok, karena penulis adalah lulusan pondok pula.
berdasarkan amanatnya cukup bagus untuk disimak dan dikritisi lebih lanjut.
IDA YENI RAHMAWATI
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2007
*) Contoh ini diambil dari http://ukmpenelitian.uny.ac.id/artikel/resensi-novel-perempuan-berkalung-sorban.aspx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda