22 Januari 2011

Bukan Sekedar Ingin Didengar


oleh Kahar S. Cahyono pada 22 Januari 2011 jam 9:18
Sore nanti, rangkaian diskusi buku ’Bicaralah Perempuan’ akan dimulai. Kami mengawalinya dari jantung pertahanan, sekretariat FSBS. Dari sini, rangkaian diskusi berikutnya akan mengalir di berbagai tempat di Serang-Banten. Yang sudah terjadwal, misalnya, pada tanggal 30 Januari 2011 nanti, juga akan diadakan orasi ’Bicaralah Perempuan’ di Gedung Pertemuan FKGS, Cikande.
Hanya di Serang? Untuk sementara, ia. Kecuali jika ada yang bersedia memfasilitasi, diskusi seperti ini dilakukan di daerah lain.

Apalagi, para penulis buku Bicaralah Perempuan tersebar di berbagai pelosok tanah air, Bekasi, Jambi, Singkawang, dan lain sebagainya. Maklumlah, kami hanya bermodal dengkul dengan segenap mimpi, bahwa satu ketika kaum perempuan Indonesia akan menjadi lebih peduli terhadap hak dan kepentingan mereka.

Jika ditarik mundur, terhitung sejak Nopember 2010, saya begitu bersemangat mengucapkan dua kata ini; ‘bicaralah perempuan.’ Buat saya, kata-kata ini sangat dahsyat. Dia memiliki kekuatan yang hebat untuk menggerakkan. Untuk membangkitkan jiwa-jiwa yang selama ini terdiam saat menyaksikan berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Berulangkali harus saya katakan, berdasarkan data dari Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Serang, jumlah wanita yang menjadi buruh di sejumlah pabrik di Kabupaten Serang lebih banyak daripada laki-laki. Catatan terkini, jumlah pekerja perempuan mencapai 60.038 orang, sedangkan laki-laki hanya 26.928 orang. Masalahnya, di tempat kerja, mereka rentan sekali terhadap diskriminasi, pelecehan seksual, dan ketidakadilan gender. Ini baru di dalam dunia kerja, lalu bagaimana dengan kehidupan di masyarakat umum? Jangan ditanya. Dalam kultur masyarakat yang cenderung patriarkhi seperti sekarang, kekerasan terhadap perempuan hampir kita dengar seperti iklan. Setiap saat melintas di depan mata.

Ingatan saya kembali pada pertengahan tahun 2009, saat kawan-kawan Biro Perempuan Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) mulai mengadakan diskusi rutin bulanan untuk membicarakan isu-isu perempuan. Saat itu, kami berhasil memetakan akar masalah. Ada banyak hal, namun yang paling menggedor-gedor perhatian saya adalah terkait dengan rendahnya akses informasi yang berkorelasi terhadap rendahnya SDM.

Dari sana, kami mulai berbicara tentang literasi di kalangan pekerja. Ini penting, karena membaca adalah jendela dunia. Agar perempuan tidak hanya tahu dapur, sumur, dan kasus. Setidaknya kami ingin mengakhiri budaya bisu. Bahwa sikap mendiamkan permasalahan, kendati sudah jelas-jelas kita berada dalam posisi sebagai korban adalah sikap bodoh yang sempurna.

Kegiatan literasi yang pernah diselenggarakan di Sekret FSBS

Pernah satu ketika, kami menerima kiriman bulletin Lembur dari Trade Union Rights Centre (TURC), lalu menjadikan isi bulletin tersebut sebagai bahan diskusi. Kawan-kawan menyambut dengan antusias. Itulah sebabnya, saya pernah membuat sebuah tulisan dengan mengatakan, bahwa tidak benar jika dikatakan bahwa buruh pabrik malas membaca. Mereka bukan mesin industri, keinginan untuk terus tumbuh,berkembang, dan memiliki wawasan luas jelas sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.

Kami juga pernah mengadakan pelatihan menulis. Memang, belum ada buku yang berhasil ditelurkan dari proses ini. Setidaknya beberapa tulisan kawan-kawan bisa ditampung dalam Majalah Garis, yang penerbitannya difasilitasi oleh Biro Pelayanan Buruh Jakarta. Ketika dwilogi bicaralah perempuan berhasil diterbitkan, semangat itu menyala kembali. Bahkan semakin terang benderang.

Jangan dikira apa yang kami lakukan ini mudah, tetapi toh kami tidak menyerah. Setelah agenda itu dilakukan, hasilnya mulai nampak. Namun ketika agenda itu terhenti, semua kembali pada asalnya. Kami melakukan lagi, ada reaksi, lalu kembali ke asal lagi. Begitu seterusnya.

Hingga sampaikan kami pada sebuah kesimpulan, bahwa agenda pemberdayaan, tidak boleh ada kata berhenti.

Hingga akhirnya, kami memiliki kesempatan istimewa dengan merangkum semua itu dalam ‘bicaralah perempuan.’ Buku yang diterbitkan Leutika Prio ini ditulis oleh 22 Orang. 16 orang penulis berasal dari berbagai daerah di Indonesia, sebagian diantaranya bahkan saat ini berada di luar negeri. 3 orang penulis berasal dari FSBS, yang memotret berbagai kekerasan dalam dunia kerja di Serang – Banten, dan 3 orang penulis puisi dengan syair-syairnya yang menghentak. Mereka adalah Melati Premasita Suci, Dian Nafi, Faujiah Lingga, Jaladara, Miyosi Ariefiansyah, Ariyanti, Dian Prihati, Yuli Riswati, Nessa Kartika, Selvy Erline S, Resti Nurfaidah, Khoirul Walid, Futicha Turisqoh, Rosa Listyandari,  Susanah Sutardjo, Okti Li, Kahar S. Cahyono, Argo Priyo Sujatmiko, Murah Asih, Chaerudin Saleh, Ana Westy, dan Assyafa Jelata.

Setelah buku ’Bicaralah Perempuan!!!’ terbit, disusul buku kedua yang berjudul ’Senyum Bulan Desember’. Jadilah sebuah dwilogi buruh perempuan, yang menjadi karya fenomenal di awal tahun 2011 ini.
Saya paham, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di Serang. Tetapi juga terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Pada titik itulah, pertemuan antara FSBS dan Komnas Perempuan menginspirasi kami untuk menjadikan kampanye ini sebagai kampanye global. Bukan hanya dalam skala lokal. Puncaknya, pada momentum Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, kami mengundang seluruh penulis di Indonesia, dimanapun mereka berada, untuk berpartisipasi dalam antologi Bicaralah Perempuan.

Hot News:
Kedua buku ini bisa dipesan melalui inbox Fb, atau kirimkan e-mail ke: bicaralahperempuan@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda