16 Mei 2011

The Writing Design : Mendesain Tulisan

Dimana kekuatan tulisan?

Dialog? Deskripsi? Alur? Atau pada produktivitas alias cepat menghasilkan tulisan baru? Pada jaringan yang luas dan komunitas beragam?

Sesaat setelah dosen menyampaikan materi Desain Pelatihan, terbayang bahwa banyak bagian dalam hidup kita berlalu tanpa desain. Diri kita tumbuh mengikuti waktu, dari hari ke hari. SD hingga PT, lalu bekerja dan menikah. Seolah siklus itu terjadi wajar tanpa perlu usaha berarti. Padahal untuk hal kecil, kita perlu mendesain dengan teliti.

Suatu saat, saya diminta menulis tentang karir perempuan. Saya mengambil peran domestik dan publik. Ketika sibuk mencari referensi, rasanya cukup tertinggal jauh dengan masyarakat luar sana yang rajin berdiskusi lewat dunia maya. Misal, situs Berapa Lama Anda Selesaikan Pekerjaan Rumah Tangga? (saya lupa2 ingat ..how long have you completed your housework?) Disitu para ibu berbagi : mencuci 1-2 jam, memasak 2-3 jam, membersihkan rumah 4-5 jam. Kira-kira begitulah.

Pekerjaan rumah tangga, yang dianggap hanya pekerjaan sambil lalu bagi sebagian orang; ternyata meneyrap energi sedemikian besar dan perhatian pula. Jika tidak didesain dengan matang, pekerjaan rumah bukan saja tidak selesai baik tetapi juga menguras energi sehingga waktu untuk membaca, menghafal Quran, sosial kemasyarakatan mungkin pula tak akan tercapai.

Begitupun, apa target pekerjaan rumahtangga? Pernah menonton Desperate Housewives? Saya juga lupa-lupa ingat (hehe..) tetapi disitu ada tokoh bernama Bree yang mengerjakan semua pekerjaan rumahtangga demikian sempurna. Sampai mengelap sendok garpu perak, seprei tidak boleh kusut sedikit, tak boleh ada debu di ujung tangga. Jika memang desain rumah kita seperti itu, ya..jadilah demikian. Beda bagi mereka yang punya anak balita, pastilah desain rumahnya beda. Target utama : tidak ada barang berbahaya yang akan terinjak atau terjangkau. Masalah kerapihan.....masyaAllah, baru ditata sudah ditarik!

Kembali kepada The Writing Design.

Saya sendiri baru menyadari lama kalau selama ini hanya menulis mengalir. Gondok juga ketika ditanya orang : targetnya apa? Sasarannya apa? Trus nanti, buku ini ketika dikonsumsi, harapannya mampu mengubah macam bagaimana? Wah,wah, saat menulis, saya hanya mengikuti kata hati.

Tetapi ternyata sebisa mungkin, terutama pekerjaan-pekerjaan besar, harus didesain dengan baik. Kalaulah belum mampu mendesain “buku itu nanti untuk apa”, perlu mendesain “buku itu nanti selesai bagaimana/selesai kapan.”

Tahukah anda, saya termasuk orang pemalu ketika mempromosikan buku?

”Hah..mbak Sinta sudah mau nerbitin buku?”

Itu komentar teman-teman yang tahu sebentar lagi TAKHTA AWAN akan launching. Terus kapan nulisnyaaaa?

Aduh, saya malu sekali. Saya malu kalau harus bilang begini begitu, seolah saya yang terbaik ketika menulis. Tapi, nggak ada salahnya berbagi. Semoga bermanfaat desain kecil-kecilan yang sudah saya buat.



Time Design alias Desain Waktu

Berapa lama untuk menyelesaikan 1 novel? 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun?

Ketika harus menulis lanjutan Taudar –usai menulis EXISTERE yang jauh sekali settingnya antara Dolly dan Mongolia- pikiran betul-betul blank. Mau nulis apa ya? Siapa aja tokohnya? Alurnya bagaimana? Dan yang tidak kalah penting : referensinya bagaimana?

Sebagaimana saran sekian banyak penulis top : menulislah apa yang kau bisa, maka saya pertama kali mencoret di buku berapa kira-kira jumlah bab Takudar nantinya. Ohya, sebut saja 12 bab.

I...

II... sampai XII.

Hm, lalu?

Kalau novel itu ditargetkan selesai 1 tahun (12 bulan), berarti 1 bulan 1 bab. Kalau 1 bab = 50 halaman, berarti 50 : 25 =2. Kenapa 50 : 25? Asumsi 5 hari malas...hehe.... Berarti setidaknya sehari harus menulis 2 halaman. Kalau hari ini ada tugas kampus, bikin laporan praktikum dll? Ya, kalkulasi aja hari yang ditinggalkan. Tertinggal 5 hari, berarti ada satu hari yang ngebut 10 halaman. Sekali lagi, referensi harus sudah ada di tangan, jadi kita tinggal mengembangkan.

Desain waktu ini akan mempermudah kita mengecek. Lho? Sudah Januari 2011 kok tulisanku belum selesai, padahal aku mulai nulis Januari 2010? Berarti kita harus cepat-cepat mengejar ketertinggalan.



Self Design alias Desain Diri

Kata orang, penyakit malas tidak ada obatnya. Pakai antibiotik atau anti nyeri, belum tentu sembuhnya. Yang pasti penyakit ini harus dideteksi dini, tingkat lanjut atau parah. Menular atau tidak menular. Ouch...

Setelah merumuskan Design Waktu, adakalanya penulis (termasuk saya...) terpacu dengan DL alias deadline. Tidak tahu bagaimana ceritanya, jika jatah waktu kurang seminggu lagi, badan bisa segar bugar! Mata menyala! Tidur bukan barang penting dan sanggup berjam-jam di depan komputer. Tetapi hal demikian bukan perkara betul (seperti ejaan lama ya?)

Sebagai diri pribadi, pasti banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Mahasiswa, dosen, istri, bu RT, mengurus murid dan anak-anak. Jika didaftar, banyak sekali agenda hari ini! Pernahkah membuat daftar harian alias schedule senin, selasa sampai minggu?Akan terlihat celah-celah kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk menulis disitu. Biasanya juga, setelah melihat daftar pekerjaan, rasa malas (sedikit) sirna.

Bolehlah mencuri-curi waktu menonton televisi barang sejenak, lalu kembali pada schedule semula.



Writing Design atau Desain Tulisan

Tahun-tahun pertama menulis, kita masih bingung dengan pilihan tulisan. Seingat saya yang mulai menulis ter- publish sejak 2000an, bahkan sampai 3-5 tahun masih mencoba beragam jenis tulisan. Fiksi, non fiksi. Anak, remaja, dewasa. Ini karena saya ingin mencoba meluweskan keahlian, menjalin hubungan dengan beberapa penerbit dan editor, ingin melihat sejauh mana respon pasar terbaik.

Bisa dibilang sekitar 2006 lah mulai menggarap secara serius novel Lafadz Cinta bersetting Belanda- Haramain. Dan sejak saat itu, rasanya menemukan diri saya yang sesungguhnya : oh, ternyata enjoy banget menulis fiksi budaya, fiksi historis, fiksi yang perempuan. Lama sih, 1 buku bisa 1 tahunan tapi rasanya senang ketika karya khas ’aku’ terbit.

Masing-masing penulis punya energi psikis untuk meng eksplorasi apa kelebihan dirinya. Ada yang demikian emosional menuangkan dalam bentuk dialog, ada yang dalam bentuk deskripsi, dsb.

Tak ada kata lain selain belajar dan membaca.

Saya punya rekan luarbiasa, Maharani Aulia, salah seorang di PELITA. Ia punya keahlian menulis cerita anak dan menterjemahkan (80 Buku!). Kalau kami berjumpa di PELITA, saya dan dia berbagi ilmu. Lia, membawa pengetahuannya seputar puisi anak-anak, cerita anak seperti Uncle Tom’s Cabin dll.

Sebaliknya, saya mengajukan judul Samarkand, Taj Mahal, Educational Psychology (cieee!) sebagai bahan baku tulisan. Dari situ kami belajar : bagaimana cara penulis hebat menuangkan gagasannya?

Oh, Harafisy Naguib Mahfouhz menggunakan kata-kata yang sederhana.

Oh, Samarkand menggunakan deskripsi, dialog yang luarbiasa. Setting sejarahnya pun, jempol dua! Bahkan 3 zaman.

Kalau buku John Man? Apalagi yang membuatnya menarik ya?

Dengan perbandingan literasi, kita akan mencoba menguatkan bentuk.

Kita ingin diakui sebagai penulis apa?

Penulis serbabisa? Oke, tak masalah. Ada penulis-penulis hebat yang bisa menulis secara baik fiksi nonfiksi. Mbak Asma Nadia dan mbak HTR misalnya.

Di FLP ada teh Imun yang menulis tema cinta dengan indah, mbak Afifah Afra yang mampu membuat tulisan motivasi dengan Subhanallah. Mas Ali Muakhir dan Benny Ramdhani yang memiliki kerajaannya sendiri di dunia tulisan anak-anak. Ganjar di fiksi fantasi. Naqiyyah, MAharani Aulia di cerita anak juga

Saya pribadi senang menulis cerita anak. Ada 4 yang telah terbit (Janji Cici, Upi Bertanya, Lulu sayang adik & Bu guru sayang). Ingin menulis cerita anak lagi tapi sementara ini begitu senang menggarap fiksi sejarah. Nggak tau kenapa, ketika mempelajari kembali sejarah lampau, seolah menemukan potongan diri kita sebagai muslim yang hilang.

Saat menulis historical fiction misalnya, pasti ada banyak kendala dan ke depan, banyak kritik.

Timeline yang tidak tepat.

Sejarah yang tidak akurat.

Tokoh yang simpang siur.

Memang, kritik ini seringkali membuat kita takut menuliskan fiksi sejarah tetapi jangan takut. Sastra sendiri bukan buku ajar sejarah. Ia memotret orang, perjalanan hidup, ruang-ruang sosial dan banyak lagi. Semua melalui serangkaian pengolahan dan perenungan, penafsiran lewat kacamata sang penulis, tentunya asal tidak keluar dari norma yang ada.

Akan ada orang yang memuji, sebagaimana akan banyak yang menghujat. Sungguh kita tak berniat membuat kesalahan apalagi sengaja melakukan. Semua kritik harus dipelajari dan menjadi cambuk untuk melakukan yang lebih baik.

Net Design atau Desain Jaringan

Kata Stephen King, bapak penulsi thriller, silakan saja kalau bukumu mau ditulis, dibaca, dicetak sendiri. Tetapi buku kita diharapkan dapat memiliki arah perubahan sosial. Mungkin orang jadi lebih peduli jilbab, lebih peduli keutuhan rumahtangga, lebih peduli peran perempuan di rumah dst.

Untuk itu, buku perlu dibuat sebaik-baiknya.

Mau tidak mau, kita harus melihat seberapa banyak orang meng apresiasi buku kita? Jika ide kita bagus tetapi orang enggan membaca, sayang sekali. Iya kalau tulisannya jelek. Kalau ternyata bagus tetapi penulisnya tidak bisa membuka jaringan, bagaimana?

Coba kontak teman-teman SD-SMP-SMA-PT.

Teman-teman kerja suami.

Arisan keluarga besar (daripada ngomongin uang dan barang, tawarkan buku...)

Pengajian.

Komunitas hobiis yang lain.

Perpustakaan daerah & kota. dll

Lho, kan distribusi sudah diurusi sama jaringan promosinya penerbit?

Tidak cukup hanya sampai disitu. Promosi penerbit hanya menjangkau toko-toko buku. Sementara masyarakat kita sebagian besar enggan ke toko buku, maka perlu menyisihkan waktu luang untuk berpikir jaringan.
By: Sinta Yudisia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda