24 Juni 2011

Apresiasi dan Bedah Cerpen, Edisi Minggu Kedua 24 Juni 2011

Assalamamualaikum Wr Wb...



Selamat malam temen-temen. Kembali kita hadir disini Balai Desa kita yang tercinta untuk Apresiasi dan Bedah Cerpen bagus dari teman kita Fatih Muftih



Seperti biasa, siapkan dulu meja yang besar untuk konsumsi dan peralatan bedahnya. dan saya akan menyajikan Hidangan utama kita.



Baik tanpa buang waktu kita nikmati dulu hidangan utama kita, lalu setelahnya kita mulai membedah perlahan dari ringan sampai yang terbengis. Tapi mohon juga kritik membangun dan saran positif buat penulis, baik dari diksi, tela, amanah plot atau mungkin penokohan dan setting.



Selama acara Apresiasi dan Bedah Cerpen, mohon kesadarannya bagi seluruh warga, jangan komen di posting lama dulu, kecuali ada alasan penting yang sangat urgent.



Psikosomatis!

Oleh: Fatih Muftih

Diterbitkan di http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/04/28/psikosomatis/ tanggal 28 April 2011.



Sudah tiga hari ini Pak Bejo uring-uringan. Tidak seperti biasanya. Setidaknya untuk dua tahun terakhir. Ia mulai melihat kembali kaleidoskop hidupnya, yang ternyata sangat tidak beraturan. Mulai dari kaya mendadak dan disusul dengan kemiskinan yang lebih mendadak. Semua bisnisnya hancur dan merembet ke semua masalah pelik dalam hidupnya.

Iyem, istrinya yang dulu, dan dulunya lagi pernah dijuluki sebagai ratu arisan kini lebih sering tinggal di rumah. Selain takut diolok teman-teman arisannya karena tidak pernah lagi hadir dalam setiap arisan, ia lebih memilih untuk merawat kakanda pujaan hatinya yang terbaring terkena stroke. Ya. Pak Bejo terkena stroke.

Andai aku bukan orang yang tidak takut pada aturan agama, maka sudah dari kemarin aku meninggalkanmu yang sudah tidak mampu lagi melayani birahiku. Gerutu istrinya dalam hati.

Seakan ada sambungan nirkabel antara Pak Bejo dan Iyem. Pak Bejo juga menggerutu dalam hatinya. Jika aku sembuh nanti, maka aku akan mencari istri yang lebih seksi darimu. Tentunya yang sanggup melayaniku ketika sehat ataupun stroke.

Begitulah keadaan psikologis kedua pasang suami istri yang telah hidup bersama selama 20 tahun. Mereka berupaya untuk selalu menyembunyikan perasaannya. Walau sebenarnya ada ikatan batin selembut bluetooth yang selalu menghubungkan kedua pasangan tersebut.

Pak Bejo sudah tidak bisa lagi banyak bicara. Bibirnya sudah sulit digerakkan. hanya gumaman saja yang bisa keluar dari mulutnya. Seperti rengekan seorang bayi. Setiap rengekan pun telah Iyem pahami artinya. Ada rengekan khusus jika meminta makan, minum atau untuk buang air. Itulah hebatnya pasangan ini. walau ada semak kering yang siap terbakar jika tersentuh oleh percik api.

Akan tetapi semak kering itu kini sudah benar-benar kering. Tak ada lagi yang mampu membasahinya. Iyem, yang merasa tubuhnya masih seksi dan masih bisa laku walau menjanda, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Pak Bejo.

Iyem sudah semakin liar dan tidak lagi takut pada hukum agama. Ditinggalkannya secarik surat perpisahan yang ia letakkan di ranjang Pak Bejo. Isinya jelas. Iyem minta cerai. Tanpa menunggu waktu lama Iyempun sudah pergi meninggalkan Pak Bejo sendiri dengan strokenya.

Dengan sisa tenaga, Pak Bejo menghubungi anaknya yang bekerja di luar kota. Ia mengharapkan kepulangan anaknya untuk merawat dirinya di rumah. Tedi, anak tunggalnya yang bekerja di luar kota, mengiyakan pinta bapaknya.

Sesampainya di rumah setelah membaca surat ibunya, ia langsung ambil peduli dengan kesehatan bapaknya yang sudah semakin parah.

“Bapak, berobat ya!” Ajak Tedi.

Pak Bejo hanya menganggukkan ajakan anaknya. Walau sebenanya jiwa menolak. Akan tetapi Tedi bukanlah ibunya yang bisa mengerti apa arti dari rengekan Pak Bejo. Semua rengekan bapaknya itu diartikan setuju oleh Tedi.

Dipilihnya oleh Tedi seorang dokter spesialis stroke yang paling hebat di kotanya. Dengan harapan agar bapaknya bisa kembali bugar seperti sedia kala.

“Dok, bagaimana keadaan Bapak saya?” tanya Tedi.

Dengan mengernyitkan dahi sambil membetulkan kacamatanya, dokter itu menjelaskan analisanya, “Ayah Anda terkena stroke yang parah. Sangat parah bahkan. Karena ini nanti juga akan berindikasi kepada diabetesnya. Saya tidak bisa melakukan tindakan lebih lanjut kecuali hanya memberikan resep ini.”

Setelah membaca resep yang sebenarnya tidak terbaca, Tedi pergi dengan perasaan kecewa. Bagaimana mungkin seorang spesialis hanya memeberikan secarik kertas resep dan memalak bayaran yang mahal. Dasar.

Akan tetapi upaya untuk menyembuhkan Bapaknya tidak berhenti sampai di sini. Jika medis tidak lagi sanggup, non medis menjadi alternatif selanjutnya. Setelah mendapat informasi tentang dukun sakti dari seorang temannya, Tedi bergegas menuju alamat yang dimaksud.

Dukun memang pribadi unik lagi nyentrik. Dandanannya menunjukkan kesaktiannya dengan beberapa kalung batu tergantung di lehernya. Sambil komat kamit, ia menyalakan kemenyan. Sepertinya akan ada ritual khusus. Tedi hanya melongo dibuatnya.

Diawali dengan deheman, dukun itu memaparkan analisa dari hasil komat-kamitnya. “Ayah anda sedang menjadi target dari beberapa orang yang tidak disukainya. Kebencian itu mereka wujudkan dengan melumpuhkan ayah anda. Kekuatan yang merasuk dalam tubuh ayah anda begitu kuat. Saya pun tidak jamin dapat mengusir semua gangguan itu dari ayah anda.” Lalu dukun itu terdiam. Matanya tetap fokus pada kemenyan yang tak henti mengeluarkan asap. “Mungkin ini bisa dipertimbangkan.” Lanjut dukun tersebut.

Seperti orang kehausan yang mendapat air, Tedi langsung memaksa dukun itu untuk menceritakan jalan terkahir untuk menyembuhkan ayahnya. “Apa itu, Mbah?”

“Kita harus melakukan ritual mentas balak. Kelak dengan ritual ini semua energi negatif yang dialami ayah anda akan sembuh perlahan-lahan. Namun…” Dukun itu menghentikan penjelasannya.

“Apa Mbah? Katakan saja!” Kali ini Tedi lebih garang memaksa dukun itu untuk menjabarkan ritual tersebut.

“Ritual ini membutuhkan mahar yang tidak sedikit. Mungkin sekitar dua juta. Itu semua sudah lengkap dengan perlengkapan yang lain. Jika mau ambil penawaran spesial juga akan kami sediakan. Bukan hanya sekedar perlengkapan ritual saja, juga termasuk waktu spesial untuk konsultasi. Bagaimana, Pak Tedi? Paket apa yang hendak anda jadikan pertimbangan.” Ujar dukun tersebut.

Dukun sekarang ternyata juga sudah mulai aneh. Keangkeran bajunya belum tentu mencermikan kewibawaannya. Atau jika boleh dikata, mungkin seluruh kalung batu yang dikenakan merupakan imitasi. Namun, yang membuat hati Tedi terpingkal-pingkal adalah tentang adanya penawaran paket penjualan yang dilakukan oleh seorang dukun.

Daripada terjadi keributan berlarut-larut, Tedi membayar dukun tersebut sesuai dengan bill yang tertera di pintu masuk rumah prakteknya.

Ternyata dukun juga doyan duit. Aku tidak berhak dan tidak mungkin menasehati dukun tersebut tentang menjadi dukun sejati. Pikir Tedi. Alasan yang tidak dapat dicerna oleh rasio membuat Tedi terbisu dengan sebuah pertanyaan.

Apa sebenarnya penyakit yang menimpa ayahnya

***

In tidak boleh dibiarkan terus berlarut. Tedi mulai khawatir jika penyakit yang menimpa ayahnya ini adalah penyakit yang diwariskan oleh leluhurnya. Jangan-jangan ia yang akan mewarisi penyakit aneh ini selanjuntnya. Pikiran negatif makin menjajah otak Tedi.

Kesehatan Tedipun beberapa hari ini mulai menurun. Badannya terlihat makin kurus. Sedangkan Pak Bejo, ayahnya hanya bisa merengek. Sebenarnya rengekan itu adalah obat yang diminta Pak Bejo. Akan tetapi Tedi tidak mewarisi keahlian ibunya dalam memahami rengekan bapaknya.

Wuss… Seberkas cahaya menabarak imajinasi Tedi. Seperti ilham. Akan tetapi bukan juga ilham. Malam itu juga ia membawakan “obat” mujarab untuk ayahnya. Mirna. Gadis panggilan paling top di desanya. Mirna diminta untuk melayani Ayahnya sehari dua kali, pagi dan malam. Tentu saja dengan bayaran besar tiap akhir bulannya. Tiga puluh juta. Sontak saja Mirna tidak bisa menolak angka yang terbilang fantastis untuk servis lonte di desanya yang rata-rata pendapatan sebulannya hanya sepuluh juta.

Benar saja. Sebulan sudah Mirna melakakukan tugasnya dengan professional. Kesehatan Pak Bejo semakin membaik. Bahkan kini ia sudah bisa berjalan dengan normal. Hanya tinggal mulutnya saja yang masih sulit digunakan untuk berbicara. Akan tetapi kondisi ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan seks adalah kebutuhan primer bagi lelaki dewasa. Bila itu lama tidak dipenuhi akan menjadi benih penyakit di badan seorang lelaki dewasa. Pikiran yang risau akan menjadi pupuk yang paling subur untuk penyakit dalam tubuh.

Di akhir masa kerjanya, sebagai bonus untuk Tedi, Mirna memberikan sebuah servis spesial untuknya. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih telah memilihnya sebagai pekerja tetap. Siapa yang kuasa menolak bonus tersebut. Sebelum meberikan bonus, Mirna membisikkan sesuatu pada Tedi, “Ayahmu psikosomatis.”





BANGKITNYA SURAU KAMI

Penulis: Fatih Muftih

Tanggal Publikasi: 15 April 2011 di http://mediasastra.com/cerpen/748/bangkitnya_surau_kami

Genre: Cerpen
Bahasa: Indonesia
Label: Fatih Muftih

Statistik: 0 komentar, 98 kali dibaca

Penilaian Anda: tidak ada

Sekilas memang mirip dengan cerpen milik AA. Navis, tapi percayalah, ini bukan plagiat dari AA. Navis.



BANGKITNYA SURAU KAMI

Oleh: Fatih Muftih

Terik Matahari masih mengguyur langit Tanjungpinang siang ini. Kota yang juga merupakan ibukota Kepulauan Riau ini jika siang panasnya memang bukan main. Belum lagi ditambah dengan butiran debu yang berasal dari bukit-bukit bauksit yang sedang disengat kobelco menambah sesaknya udara panas kota yang juga berjuluk Kota Gurindam.

Namun, keadaan itu semua tidak mematahkan semangat seorang remaja berbaju kurung (baju koko) untuk pergi ke surau menunaikan ibadah sholat dzuhur berjamaah. Surau tua yang atapnya sudah tidak lagi utuh. Jika ditanya tentang dinding dan warna catnya, sudah bagaikan kulit jagung yang terbakar oleh sengatan bara api. Warna putih yang dulu mendominasi kini sudah mengelupas memunculkan kembali warna asalnya. Untung saja tempat wudhu yang juga sudah lapuk masih mampu mengalirkan air bagi setiap umat muslim yang ingin menunaikan ibadah sholat.

Remaja itu dengan suaranya yang sangat pas-pasan memekikkan panggilan semesta, yang dilantunkan untuk para pekerja, para siswa, para guru, juga ibu-ibu rumah tangga untuk meluangkan waktunya sejenak untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur sebagai menu sebelum menuju meja makan.

Allahu Akbar. Allahu Akbar. La Ilaha Illallah



Kami Selaku Moderator

Hylla Shane Gerhana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda