By:
Puput Happy
Saya
sempat tertegun setiap Bagus, salah satu muridku, selalu menangis histeris
begitu ayahnya pergi setelah mengantarnya sekolah. Ia sama sekali tak mau
ditinggal, ingin selalu ditemani ayahnya selama belajar di sekolah. Sebagai
murid Taman Kanak-Kanak yang masih duduk di kelompok A, para guru memakluminya,
meski sebenarnya semua murid diharapkan mandiri dan lepas dari orangtua begitu tiba di sekolah.
Yang
membuatku heran, meski Bagus mau ditinggal, jika ia sedang ngambek, langsung
nangis dan memanggil-manggil ayahnya. Padahal hampir semua siswa jika menangis,
yang dipanggilnya adalah ibunya. Tapi berbeda dengan Bagus. Ia tak pernah
sekalipun memanggil ibunya, meski hanya sebentar. Yang ada dalam pikirannya
seolah cuma ayahnya.
“Ayaaaaahh!!
Ayah! Bagus pengin pulang….! Cepetan telepon Ayah! Ayaaahh…..!” teriaknya tiap
menangis. Semua guru sering kewalahan menghadapi Bagus yang cenderung memaksa
ayahnya segera datang ke sekolah. Dia bisa bertahan berjam-jam menangis hingga
ayahnya datang menjemputnya. Tak dihiraukannya segala nasihat ataupun rayuan
para guru untuk diam dan kembali belajar.
Dan
begitu ayahnya datang, Bagus langsung menghentikan tangisnya. Ia mendadak ceria
dan bercengkerama dengan ayahnya, seolah lupa bahwa ia baru saja menangis.
Pemandangan yang menyenangkan ketika melihat mereka tertawa-tawa dan bercerita.
Didorong
rasa penasaran dan ingin tahu kebiasaan Bagus yang selalu memanggil ayahnya,
bukan ibunya ketika menangis, membuatku ingin berbincang-bincang dengan ayah
Bagus.
“Maaf
ya Pak, kalau boleh saya tahu…. Kenapa Bagus selalu memanggil “Ayah” ketika
menangis, bukan “Ibu” atau “Mama”? Bukankah seorang anak biasanya selalu
memanggil ibunya jika menangis? Ini yang mengherankan kami sebagai gurunya
Bagus….” tanyaku.
Ayah
Bagus sempat tersenyum dan bercerita tentang keluarganya.
“Iya
Bu…. Bagus sangat bergantung pada saya, begitu juga kakaknya. Saya juga tak
pernah jauh dari anak-anak. Mereka sangat dekat dengan saya, sampai kemana-mana
selalu bertiga.”
“Lho,
memangnya Ibu kemana?” tanyaku heran.
“Ibunya
anak-anak jarang di rumah. Setiap pagi jam enam sudah berangkat kerja, dan
pulangnya sore. Jadi Ibunya anak-anak jarang komunikasi. Meskipun istri saya
ada di tengah-tengah mereka, mereka jarang sekali bertanya atau becanda. Bahkan
mereka tidak pernah menanyakan atau merasa kehilangan jika Ibunya tidak
pulang-pulang. Mereka seolah tidak butuh seorang ibu. Justru mereka akan
menangis histeris jika saya tidak ada di samping mereka…..” jawabnya panjang
lebar.
“Terus,
ibunya anak-anak tidak merasa cemburu dengan kedekatan Bapak dan anak-anak?”
tanyaku.
“Tidak,
Bu…. Istri saya juga sepertinya tidak ambil pusing dengan sikap mereka yang
seolah tidak peduli dengan kehadiran ibunya. Istri saya memang orangnya cuek
dan tidak mempermasalahkan hal itu. Dia malah bersyukur jika mereka tidak rewel
ketika hendak berangkat kerja, sehingga ia merasa tidak terbebani.”
“Memangnya
istri Bapak kerja di mana?” tanyaku lagi.
“Mengajar,
Bu…”
“Ohh….
Berarti istri Bapak seorang guru ya? Terus, Bapak tidak kerja? Kok bisa selalu
ada di rumah?”
“Saya
juragan kambing, Bu, hehehe…. Jadi
bisa nyantai kerjanya.” jawabnya sambil tertawa.
Mendengar
penuturan dari ayah Bagus tersebut membuatku banyak berpikir. Kenapa ada
seorang ibu yang kurang peduli dengan keadaan dirinya dan anak-anaknya?
Bukankah sudah menjadi fitrahnya jika setiap anak membutuhkan kehadiran seorang
ibu? Mungkin ini akibat dari aktivitas rutin seorang istri di luar rumah untuk
bekerja atau menggapai karir.
Saya
jadi salut dengan peran ganda ayah Bagus di rumah. Ia bisa membagi waktunya
untuk anak-anak. Ia tetap bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, tapi masih
sempat memberikan waktunya untuk anak-anaknya tercinta. Kasih sayangnya tak
terhingga. Ia mampu menjadi Ibu bagi anak-anaknya di saat istrinya tidak bisa
mendampingi mereka. Sementara saya dan guru-guru yang lain jadi tidak
bersimpati dengan ibunya Bagus yang kurang
respect dengan kegiatan Bagus di sekolah. Jika ada pertemuan wali murid,
pasti yang datang ke sekolah adalah ayahnya, tak pernah sekalipun kami melihat
ibunya.
Ini
mengherankan, sebab peran dan fungsi seorang ibu
adalah sebagai “tiang rumah tangga” amatlah penting bagi terselenggaranya rumah
tangga yang sakinah yaitu keluarga yang sehat dan bahagia, membuat rumah tangga
menjadi surga bagi anggota keluarga, menjadi mitra sejajar yang saling
menyayangi bagi suaminya. Untuk mencapai ketentraman dan kebahagian dalam
keluarga dibutuhkan isteri yang shaleh, yang dapat menjaga suami dan
anak-anaknya, serta dapat mengatur keadaan rumah sehingga tempat rapih,
menyenangkan, memikat hati seluruh anggota keluarga.
Menurut Baqir Sharif al-Qarashi
(2003 : 64), bahwa para ibu merupakan sekolah-sekolah paling utama dalam
pembentukan kepribadian anak, serta saran, untuk memenuhi mereka dengan
berbagai sifat mulia, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. yang artinya: “Surga
di bawah telapak kaki ibu”, menggambarkan tanggung jawab ibu terhadap masa
depan anaknya. (Zakiyah Daradjat, 1995 : 50)
Dari segi kejiwaan dan kependidikan,
sabda Nabi di atas ditunjukan kepada para orang tua khususnya para ibu, harus
bekerja keras mendidik anak dan mengawasi tingkah laku mereka dengan menanamkan
dalam benak mereka berbagai perilaku terpuji serta tujuan-tujuan mulia.
Para ibu bertanggungjawab menyusun
wilayah-wilayah mental serta sosial dalam pencapaian kesempurnaan serta
pertumbuhan anak yang benar. Sejumlah kegagalan yang terjadi diakibatkan oleh
pemisahan wanita dari fungsi-fungsi dasar mereka.
Ibu-ibu yang sering berada di luar
rumah yang hanya menyisakan sedikit waktu untuk suami serta anak-anak telah
menghilangkan kebahagian anak, menghalangi anak dari merasakan nikmatnya kasih
sayang ibu, sebab mereka menjalankan berbagai pekerjaan di luar serta
meninggalkan anak disebagian besar waktunya. Lalu, bagaimana dengan peran ayah
Bagus yang seolah tengah menggantikan peran ibu, sementara ibu Bagus masih ada
di samping ayahnya? Mungkin ini yang perlu menjadi perenungan buat kita
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda