Catatan
Harian:
By:
Puput Happy
Saya sempat
bingung ketika beberapa orangtua murid mengeluhkan anaknya yang sekolah
di Taman Kanak-kanak (TK) tempat saya mengajar yang belum bisa membaca, menulis
dan berhitung (calistung). Padahal, teman-temannya sebagian besar sudah
lancar calistung. Karena khawatir anaknya ketinggalan dan tidak bisa masuk ke
Sekolah Dasar (SD) favorit pilihannya, ia pun beberapa kali menyampaikan
keinginannya kepada saya untuk bisa sesegera mungkin mengajari anaknya menjadi pintar membaca, menulis, dan berhitung. Seolah menuntut agar
anaknya cepat pintar dalam waktu singkat, bagaimanapun caranya! Saya sebagai
guru mereka jadi merasa dipaksa untuk menyulap anak-anak mereka dalam waktu
secepat mungkin untuk menjadi anak yang bisa dibanggakan dari segi akademisnya.
Mereka memohon kepada saya:
“Bu, tolong
dong, anak saya dipacu untuk segera bisa membaca, menulis, dan berhitung, biar
nanti saat masuk SD sudah bisa semuanya. Kan malu Bu, sekolah TK selama dua
tahun tapi nggak ada perubahan sama sekali .…”
“Aduh Bu,
bagaimana dengan anak saya? Kenapa anak saya belum bisa membaca, padahal sudah
mau masuk SD? Bantu saya dong Bu .…”
“Bu, saya
pusing, ditegur suami saya terus, gara-gara anak saya nggak pinter-pinter.
Tolong dong Bu, dorong anak saya biar jadi pinter …. jadi kan saya nggak
diomelin suami saya terus ….”
“Bu, tolong
awasi anak saya, untuk tidak kebanyakan main di sekolah …. Suruh anak saya
belajar serius. Kalau main terus, kapan pintarnya?”
“Bu, saya
capek mengajari anak saya membaca. Masak tiap hari belajar tapi nggak bisa-bisa
juga? Saya harus bagaimana, Bu? Tolongin saya dong Bu …. Saking kesalnya, sampai
aku cubitin anak saya. Habis, menjengkelkan sekali!”
“Tolong dong
Bu, anak saya di-les privat di rumah, biar cepat pintar, nggak bodoh terus .…
Bisa ya Bu, nanti datang ke rumah?”
***
Itu beberapa keluhan
yang saya dapat dari orangtua murid yang anaknya kurang bisa mengikuti
pelajaran calistung. Dari keluhan-keluhan itu, bisa saya ambil kesimpulan, bahwa
sebagian besar dari orangtua murid masih belum mengerti akan arti pendidikan di
Taman Kanak-kanak, di mana anak-anak belajar sambil bermain atau bermain sambil
belajar. Ini artinya hakikat pendidikan pra-sekolah masih belum dipahami benar
oleh mereka selaku guru utama dalam keluarga.
Masuk akal
juga mengapa banyak orangtua - khususnya para ibu - bereaksi keras merespon
keterlambatan anaknya dalam membaca. Bagi mereka, keterampilan anak membaca
bisa jadi merupakan sebuah "prestasi" membanggakan yang layak
diceritakan kepada kerabat dan relasi. Makin kurang berkenan lagi, bila para
orangtua juga mempersepsikan, lancar baca adalah jaminan paling oke untuk bisa
mengikuti pelajaran di jenjang pendidikan selanjutnya.
Kalau sudah
begitu, yang terjadi bisa ditebak. Banyak orangtua lalu beramai-ramai menempuh
"jalan pintas" yakni memanggil guru les privat mengajari anaknya
supaya cepat bisa baca. Kalau perlu, "Anakku
harus lebih lancar daripada teman-teman di kelasnya!”
Sungguh tidak
salah, membaca merupakan salah satu kemampuan dasar yang sangat penting untuk
dikuasai supaya anak dapat belajar lebih luas. Oleh karena itulah, tahapan dan
cara mengajarkan membaca perlu dicermati supaya tidak salah dalam menanamkan
dasar yang sangat penting ini.
Huruf
merupakan lambang bunyi yang abstrak untuk anak yang sedang belajar membaca dan
menulis. Anak yang dipaksa untuk menghafalkan lambang bunyi dapat merasa
bingung atau cenderung menolak jika suasana dan cara yang digunakannya tidak
disesuaikan dengan pemahaman dan perhatian anak. Kebingungan anak itu dapat
tampil dalam kekeliruan menulis huruf "d" padahal yang diharapkan
adalah "b"; menulis huruf "p" padahal yang dimaksudkan
adalah "b", dan seterusnya.
Keinginan
orangtua supaya anaknya bisa baca dalam waktu singkat sering dituruti oleh para
guru dengan menempuh jalan pintas. Guru lalu memaksa diri dan muridnya belajar
membaca dengan menghafalkan lambang bunyi. Murid "dipaksa" melafalkan
rangkaian huruf sebagai kata, tetapi tanpa makna yang dipahami dan menjadi
perhatian anak yang sedang belajar.
Kalau
situasinya demikian, guru akan mengajar membaca dengan metode: ba-bi-bu-be-
bo, ca-ci cu-ce-co,da-di-de-do sebagai jurus mujarab guna
menjawab keresahan orangtua. Lebih parah lagi, banyak orangtua juga tak acuh
akan tahap kepekaan anak dalam membaca dan cara yang benar dalam mengajarkan
membaca yang mengembangkan kecerdasan. Umumnya, orang tua hanya ingin agar
anaknya trampil membaca.
Mengharuskan
semua anak TK untuk bisa baca tulis, tampaknya menjadi hal yang kurang
bijaksana mengingat setiap anak memiliki kemampuan dan kesiapan belajar baca
tulis yang berbeda satu sama lainnya. Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang
penting untuk dapat diajarkan pada anak TK, ketimbang hanya terfokus pada
kemampuan baca tulis semata, misalnya penanaman disiplin, kemandirian, tanggung
jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap kecerdasan intelektual
anak, seperti pada kegiatan baca tulis, memang penting, namun perlu diupayakan
jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu berlebihan
sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek kecerdasan lain
yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial, emosional, dan sebagainya,
yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam
menghadapi masa depannya kelak.
Namun, karena
melihat banyaknya orang tua murid kelompok B yang menghendaki anaknya cepat
bisa calistung demi persiapan memasuki Sekolah Dasar, akhirnya kami dari pihak
sekolah mengambil jalan alternatif dengan memberikan jam pelajaran tambahan
bagi kelompok B sebelum pulang sekolah. Dan itu mendapat respon positif dari
semua orang tua murid. Bahkan, ada beberapa orang tua murid yang mendatangkan
guru privat ke rumahnya demi terwujudnya keinginan mereka.
Berbicara
tentang anak TK, hingga saat ini masih menjadi polemik mengenai boleh tidaknya
mengharuskan anak-anak TK untuk bisa membaca dan menulis. Pendapat yang
mengharuskan anak TK bisa baca tulis, biasanya dilatar belakangi oleh keinginan
untuk bisa masuk SD dengan mudah karena pada saat tes masuk SD, ada banyak
sekolah yang mensyaratkan calon siswanya untuk bisa baca tulis. Sedangkan pendapat
yang berlawanan dengan hal tersebut, mengatakan bahwa mengharuskan anak TK bisa
membaca dan menulis, berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang
seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang
seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan,
sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi-potensi kemampuan
anak secara optimal kelak kemudian hari. Dengan adanya polemik tersebut, tidak
jarang membuat orangtua menjadi bingung, pendapat mana yang harus diikuti,
karena masing-masing pendapat, tampak memiliki alasan yang cukup kuat.
Dalam
menyikapi hal ini, sudah selayaknyalah kita mempertimbangkan alasan-alasan yang
melatarbelakangi kedua pendapat tersebut, untuk kemudian mencari jalan tengah
yang dapat menjadi sebuah solusi yang bijaksana bagi anak. Bukankah kita
sebagai orangtua atau guru memang menginginkan potensi dan kemampuan anak dapat
tumbuh optimal melalui stimulasi pendidikan atau pengajaran yang kita berikan
kepada mereka?
Berbicara
tentang pendidikan anak usia dini, Sebenarnya sah-sah saja mengajarkan
pelajaran baca tulis pada anak-anak TK, asalkan anak sudah siap untuk menerima
pelajaran tersebut atau biasa disebut sebagai sudah muncul masa pekanya. Adanya
kesiapan atau kepekaan tersebut, biasanya muncul pada usia sekitar 4 - 6 tahun.
Hal ini misalnya ditandai dengan adanya ketertarikan anak pada
kegiatan-kegiatan pra membaca dan pra menulis seperti adanya kematangan visual
motorik untuk dapat memegang alat tulis dengan benar atau meniru beberapa
bentuk sederhana, kemampuan memusatkan perhatian, keinginan atau minat yang
kuat untuk melihat gambar-gambar/tulisan di buku atau sekedar membuka-buka
buku/majalah, senang bermain dengan huruf-huruf, dan sebagainya.
Selain memperhatikan
masa peka anak untuk belajar baca tulis, penting pula untuk mengetahui
bagaimana cara memberikan pelajaran baca tulis tersebut. Mengacu pada
karakteristik umum anak TK, dimana aktivitas bermain menjadi aktivitas dominan
mereka, maka perlu diingat bahwa dalam memberikan pelajaran baca tulis pada
anak TK hendaknya dilakukan dengan pendekatan yang menyenangkan anak dan tidak
memaksa anak. Pendekatan informal dimana pelajaran disampaikan dalam koridor
bermain tampaknya menjadi sesuatu yang cocok untuk diterapkan pada pengajaran
baca tulis anak-anak TK. Pendekatan informal yang dapat dilakukan, misalnya
membacakan buku cerita sambil memperlihatkan gambar dan tulisan di buku/majalah
yang sedang dibacakan, menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf
atau tulisan pada ruang bermain atau kamar tidur anak, mecoba meniru bentuk
lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat
mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain
tebak-tebakan huruf, menelusuri bentuk huruf dengan jari, dan sebagainya.
Proses
belajar menuju kemampuan baca tulis pada anak TK sebaiknya tidak dilakukan
dengan pendekatan formal, seperti layaknya anak-anak SD. Karena hal ini
dikhawatirkan akan membuat anak merasa tertekan dan jenuh, mengingat kemampuan
anak untuk bisa berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat
terbatas dan secara umum anak masih berada dalam dunia bermain. Apalagi bila
dalam memberi pelajaran tersebut dilakukan dengan kekerasan, misalnya disertai
dengan bentakan-bentakan, hinaan atau ejekan manakala anak belum mampu
mengikuti pelajaran baca tulis yang diberikan, maka bukan tidak mungkin anak
akan tumbuh menjadi anak rendah diri, yang justru hal ini akan menghambat
perkembangan kemampuannya secara optimal kelak kemudian hari.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan bermain sambil belajar, merupakan
cara terbaik menuju kemampuan baca tulis pada anak TK. Guru dan orang tua
hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar
yang sesuai untuk anak-anak TK mereka. Orangtua atau guru perlu menyesuaikan
cara mengajar baca tulis sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tiap anak.
Selama ini
Taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak
memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang
dilakukan di Taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan
alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak
diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan
huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Dan perbedaan definisi belajar memang menjadi pangkal persoalan dalam
mempelajari apa pun, termasuk belajar membaca. Selama bertahun-tahun belajar
telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras
pikiran dan konsentrasi.
Teori
psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama
kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum. Pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di
bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak
belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana
anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan
belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara
berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang
masih berusia balita.
Piaget
khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada
anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya
anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci
dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.
Pembebanan
yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang
anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi,
pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan
pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Fauzil
Adhim (2006) menyebutnya dengan 'semangati
jangan bebani'.
Secara
fisiologis syaraf mata anak balita belum siap untuk membaca, disebutnya masih
kontralateral. Masih terbalik-balik, seperti antara b dan d. Karena itu resiko
balita yang diajar membaca untuk terkena kesulitan belajar (baca-tulis)
nantinya lebih besar. Informasi yang sama di dapatkan pada buku Jalaludin
Rahmat, tentang cara otak belajar. Waktu terbaik untuk belajar membaca
sesuai dengan perkembangan otak justru pada usia sekolah dasar.
Beberapa
literatur menunjukan bahwa tidak ada jaminan seseorang yang lebih dahulu bisa
membaca akan lebih sukses di masa depan daripada mereka yang terlambat. Banyak
tokoh sukses yang justru terlambat membaca. Di buku Right Brained Children in a
Left Brained World disebutkan tokoh2 Albert Einstein, George S. Patton, William
Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. Anak2 di Rusia baru membaca
di usia 7 tahun, tapi mereka cerdas-cerdas.
Sebuah
penelitian menyatakan bahwa akibat memaksakan lancar calistung di usia dini
khususnya dibawah 5 tahun. Adalah pemahaman membaca yang kurang.
Pemahaman membaca anak-anak usia 9-15 tahun yang sangat minim. Kita bisa lihat
anak-anak usia SD klas 3-6 dengan pemahaman membaca yang sangat kurang . Hal
itu salah satunya bisa dilihat dalam menjawab soal cerita, kebanyakan anak-anak
SD sangat kesulitan, bahkan pertanyaannya kemana... jawabnya kemana... yang
dikarenakan tidak paham makna soal yang berupa cerita. Hal ini sebetulnya
fatal, akibatnya banyak dari kita yang tidak senang membaca, karena membaca
merupakan hal yang sulit. Akibatnya prestasi anak usia SD dan SMP
Indonesia rangking 32 dari 34 negara dalam pemahaman membaca dan kompetisi
matematika.
Menurut suatu
penelitian di Finlandia, anak yang belajar membaca saat mendapat pendidikan
formal di usia 7 tahun memiliki reading
achievement (prestasi membaca) lebih bagus dibanding anak lain yang belajar
membaca di usia 6 tahun atau sebelumnya. Hal ini diketahui ketika dilakukan tes
pada anak-anak tersebut di usia 9 atau 10 tahun.
Kesimpulannya,
tak ada hubungan bahwa anak yang belajar membaca di usia lebih dini akan lebih
maju kemampuan membacanya. Jikapun ada yang seperti itu boleh jadi sifatnya kasuistik
sehingga tak bisa dipukul rata dan diterapkan sama pada semua anak. yang
penting untuk anak usia dini bukanlah mengajar membacanya, tetapi mengajarkan budaya
membaca. Belum tentu anak yang bisa membaca lebih dahulu akan suka membaca.
Persoalan membaca,
menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena tersendiri
khususnya di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai
diajarkan pada tingkat pendidikan SD. pada perkembangan terakhir, hal itu
menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah
dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat
pelajaran calistung. Sehingga banyak institusi pendidikan SD mentargetkan
kemampuan calistung sebagai pra syarat masuk SD, bahkan SD hanya mau
menerima anak-anak yang sudah bisa membaca, menulis dan berhitung. Nah, ini dilema bukan?
Pemberian
materi calistung pada anak usia TK harus disesuaikan dengan dunianya yakni
bermain sambil belajar. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk mengajari anak
calistung, misalnya saat pelajaran olahraga dengan permainan ‘bintang beralih’
permainan itu akan mengajarkan anak tentang angka dan berhitung.
Tapi sayangnya masih banyak guru yang belum paham cara memberi materi calistung pada anak TK. Mereka ada yang masih memberikan murni pelajaran tanpa ada unsur bermain, seperti 3+3, 2x3 dan sebagainya. Konsep pembelajaran yang mereka berikan seperti layaknya SD padahal belum saatnya.
Tapi sayangnya masih banyak guru yang belum paham cara memberi materi calistung pada anak TK. Mereka ada yang masih memberikan murni pelajaran tanpa ada unsur bermain, seperti 3+3, 2x3 dan sebagainya. Konsep pembelajaran yang mereka berikan seperti layaknya SD padahal belum saatnya.
Selain itu,
kemampuan setiap anak juga berbeda, ada anak yang usia tersebut sudah paham
tapi ada pula yang masih belum paham. Jika dipaksakan akan berdampak negatif
pada perkembangan anak. Namun demikian hal ini juga menimbulkan dilema
tersendiri bagi sekolah, di satu sisi mereka dituntut tidak memaksa anak belajar
calistung.
Namun di sisi
lain, orangtua menghendaki selepas lulus TK bisa calistung untuk kesiapan masuk
SD. Padahal ada pula orangtua yang menghendaki anaknya masuk SD meski usianya
masih 6 tahun lebih atau kurang dari 7 tahun. Selain itu, jika dulu pengenalan
calistung adalah tugas guru di kelas 1 SD namun sekarang banyak sekolah
menghendaki ketika masuk SD sudah bisa dasar-dasar calistung. Calistung juga
kerap dijadikan model seleksi untuk memasuki SD terutama sekolah favorit.
Dengan alasan penjajakan jika sekolah kelebihan pendaftar untuk menyeleksi
calon siswa dengan penjajakan salah satunya calistung.
Dengan model
tambahan pelajaran, namun calistung tetap diberikan dengan model bermain sambil
belajar. Guru juga rajin memantau perkembangan si anak untuk disampaikan kepada
orangtua. Jika ternyata belum paham padahal orangtua memaksa untuk memasukkan
ke SD, guru menyarankan orangtua untuk menstimulasi di rumah.
Kuatnya
keinginan orangtua agar anaknya yang di TK sudah bisa calistung, membuat tempat
les calistung kelarisan. Tantangan dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks
memang menuntut kreativitas dari seorang guru. Fenomena tersebut menjadikan
dirinya termotivasi untuk menawarkan metode baru yang bisa membantu anak
belajar calistung tanpa merasa terbebani yaitu lewat metode fonetis.
Agar siswa tidak ketinggalan dan bisa belajar calistung secara cepat, tentunya dengan tetap menggunakan metode yang menarik dan menyenangkan sesuai dengan usia anak. Misalnya mengenalkan huruf dengan menggunakan logo, sehingga lebih mudah diingat anak. Begitu pula untuk membaca tidak lagi mengeja berdasarkan suku kata, tapi langsung dibaca. Meski secara sepintas cara ini terkesan sederhana tapi cukup efektif.
Agar siswa tidak ketinggalan dan bisa belajar calistung secara cepat, tentunya dengan tetap menggunakan metode yang menarik dan menyenangkan sesuai dengan usia anak. Misalnya mengenalkan huruf dengan menggunakan logo, sehingga lebih mudah diingat anak. Begitu pula untuk membaca tidak lagi mengeja berdasarkan suku kata, tapi langsung dibaca. Meski secara sepintas cara ini terkesan sederhana tapi cukup efektif.
Karena
tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran
membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan
harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan
menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai
keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami
kesulitan. Lalu, apa yang harus kita lakukan ??? Menentang arus atau
mengikuti arus ? Ini PR buat kita selaku guru Taman Kanak-kanak, juga orangtua
murid sebagai guru pertama di rumah.
***SELESAI***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda