09 Maret 2010

ALUR, PLOT, NARASI, DAN DESKRIPSI

02 April 2006 - 19:34 (Diposting oleh: Rumah Dunia)

[Nulis Yuk 4] ALUR, PLOT, NARASI, DAN DESKRIPSI

Oleh Gola Gong

Setiap saya menjadi montir bengkel cerpen di sekolah-sekolah atau di kelas Menulis Rumah Dunia, selalu saya mendapat pertanyaan klasik dari para (calon) penulis pemula, “Bagaimana cara menuliskan alur atau plot? Bagaimana dengan saya sendiri? Apakah soal alur cerita sudah saya tentukan dari awal menulis? Ataukah dibiarkan mengalir begitu saja, seketemunya begitu?

JENIS
Saya menulis cerita fiksi (cerpen atau novel) selalu mengawali dengan sinopsis. Kalau novel, tentu sinopsisnya per-bab. Saya tidak pernah menulis tanpa perencanaan matang. Saya khawatir dalam perjalanannya ngelantur kemana-mana, menghabiskan enerji, waktu, dan pikiran saja. Yang paling baik memang memulai dengan membuat sinopsis. Dimana di dalam sinopsis itu ada unsur tokoh/karakter, latar tempat, latar waktu, konflik, alur/plot, dan ending. Tanpa itu semua, cerita seolah sayur tanpa garam.

Coba kita perhatikan, apakah sinopsis yang kita buat sudah terasa kuatkah alur/plotnya? Alur itu adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu, yang melibatkan tokoh/karakter, konflik, dan latar. Di jurnalistik “Berita selalu mengandung peristiwa dan setiap peristiwa adalah berita.” Jadi, sebuah cerita fiksi tanpa alur/plot pastilah bukan cerita.

Alur cerita itu jenisnya beragam; yang bergerak maju (progresif), mundur atau kilas balik (flashback), dan gabungan keduanya. Menurut Ahmadun Yosi Herfanda (Redaktur Sastra/Budaya Republika), alur dibangun oleh narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action). Narasi itu penggambaran dinamis, gerak (action) tokoh-tokohnya, benda-benda yang menjadi penyebab atau akibat aksi para tokoh cerita. Deskripsi penggambaran suasana yang statis, cenderung tetap, seperti suasana alam di pagi hari, ruang tamu yang rapih, atau sekolahan kita yang lengang saat jam belajar. Dan dialog adalah kata-kata yang diucapkan oleh para tokoh yang kita buat. Ada dialog lahir (terucapkan), ada dialog batin (tidak terucapkan).

Sekedar contoh narasi: Agam melemparkan batu ke danau. Batu itu mencebur ke permukaan danau dengan keras, menimbulkan bunyi “bum”! Air danau bergelombang dan angsa-angsa liar itu berlarian seperti pesawat terbang yang hendang take off. Agam bangkit dari persemubunyiannya dan mengejar angsa- angsa liar itu untuk dijadikan santapan malamnya. Jaring pun dilemparkan ke udara, menyergap angsa-angsa liar itu.

Terasa antara tokoh “Agam” dengan angsa dan danau ada aksi-reaksi dan dinamis.

Contoh deskripsi: Embun membasahi dedaunan, membuat alam terasa sejuk dan dingin. Semua orang terlena dan bersembunyi di balik selimutnya.

Statis, bukan?

Sedangkan contoh dialog (lahir ) yang terucapkan: “Aku tidak akan melakukannya! Itu dosa!” Dan dialog (batin) tidak terucapkan: Dia merasa, bahwa jika hal itu dilakukan adalah dosa. Hatinya tetap mengatakan, jangan, jangan lakukan itu. Ya, kau paksa dengan cara apapun, aku tidak mau melakukannya! Itu dosa! Hatinya menegaskan.

ALUR

Nah, manakah yang lebih unggul dari 3 jenis alur itu? Untuk para (calon) penulis pemula, sebaiknya mencoba alur maju (progresif) dulu, karena itu lebih mudah, sesuai dengan kronologi cerita. Kita juga tidak susah memikirkan transisi waktunya. Pada novel trilogi saya; Pada-Mu Aku Bersimpuh (Dar! Mizan, 2001) saya memakai alur maju. Sesekali memang saya selipkan flash back dari para tokohnya. Tapi itu tidak mendominasi. Walaupun dengan era komputerisasi seperti sekarang, jika di tenah perjalanan kita ingin merubah alur sangatlah mudah, tinggal memindah-mindahkan bab atau paragraf (copy-paste) saja. Hanya hati-hati, jika kita tidak piawai mengolah diksi (pemilihan kata) dalam narasi, deskripsi, dan dialog pasti akan membosanka. Kata-kata yang kita rangkai akan menjadi kalimat kosong tak bermakna. Hal ini bisa diakali dengan membuat kejutan-kejutan kecil melalui adegan (action) dalam tulisan. Dengan begini pembaca yang hampir beralih ke topik lain bisa kita gaet lagi untuk meneruskan membaca tulisan kita.

Sedangkan untuk alur mundur, harus memperhatikan transisi waktu, dan latar belakang konflik harus kuat. Ini karena pembaca sudah disuguhi ending atau bagian terakhir tulisan. Biasanya ini menarik perhatian, seperti ada rahasia besar yang ingin kita temukan jawabannya. Alur mundur ini saya sarankan bagi penulis-penulis yang sudah trbisa dengan format/struktur karangan yang konvensional (pengenalan karakter/masalah, konflik, pemecahan masalah/ending). Nah, jika sudah terbiasa itu, kita tinggal meletakn ending di awal cerita, lalu ada flash back pengenalan masalah/karakter dan seterusnya. Ini juga gampang-gampang susah. Gampangnya, kita punya banyak kesempatan untuk mengolah dan menjebak pembaca kita pada sebuah misteri, sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Jia kita piawai, biasaya pembaca akan terkecoh setelah membaca ending ceritanya. Lho, ternyata ini cerita masa lalu si tokoh.

PLOT
Lantas, apakah plot itu? Ahmadun mengingatkan dalam makalahnya di ”Bengnkel Cerpen Ode Kampung”, bahwa plot adalah rangkaian sebab-akibat yang memicu krisis dan menggerakkan cerita menuju klimaks. Di dalam alur ada plot. Tapi plot bukanlah alur. Ibarat tubuh, alur adalah fisiknya, dan plot adalah ruh atau ‘kekuatan dinamis’ yang penuh gairah membangun konflik, atau mesin yang menggerakkan cerita ke arah klimaks dan ending. Jadi alur saja tanpa adanya plot, cerita kita jadi garing juga.

Contoh sebuah alur yang mengandung plot adalah: Asih memoles bibirnya dengan lip stick murahan, seolah sedang menyembuyikan warna bibirnya yang kehitaman dan kering, sehitam nasibnya dan sekering jiwanya.Dia tahu, ketika polesan pertama menyapu bibirnya, dia sudah menutupi kebenaran yang mestinya disampaikan kepada anaknya di kampung dan suaminya yang sedang mendekam di penjara.

Di dalam alur yang ber-plot inilah permasalahan para tokoh cerita saling digesekkan, dibenturkan satu sama lain menjadi persoalan baru yang sangat kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya menuju akhir cerita (ending). Di sinilah kita sebagai pengarang harus mempunyai wawasan, kecerdasan dan kearifan pengarang ‘diuji’ oleh permasalahan yang diciptakannya sendiri, apakah ia mampu menemukan solusi yang cerdas dan arif sehingga karyanya mampu memberikan sesuatu (something) kepada pembacanya. Sesuatu yang mendalam, dimana kita sebagai pembaca bisa memetik hikmah di balik cerita itu.

***

*) Dimuat di “Bengkel Cerpen Annida” Maret 2006

Hal yang harus kita lakukan pertama kali adalah menemukan sinopsis dengan alur cerita yang menarik. Setelah itu, mulailah kita bekerja dengan menuliskannya. Ada para penulis yang menciptakan konflik dengan cara analitik atau menjelaskan langsung (deskripsi) tokohnya. Misalnya:

Aini duduk di pos ronda. Karung teronggok di tiang. Dia menyeka keningya. Punggung tangannya basah. Ini hari panas sekali. Mungkin pertanda akan hujan. Dia baru sekitar 1 jam mengelilingi perumahan; mencari-cari rongsokan. Karungnya baru terisi seperempat. Di bak sampah tikungan jalan komplek, dia hanya memperoleh beberapa botol minuman plastik. Di bak sampah rumah nomor 9, hanya ada 2 botol plastik minuman ukuran besar….

Saya membuka paragraf pertama cerpen “Gadis Pemulung Masuk Televisi” dengan cara menjelaskan tokoh pemulung “Aini” secara analitik atau langsung. Ini memang membatasi imajinasi para pembaca. Tapi coba perhatikan jika saya membangun konflik dengan cara dramatik, atau menyusupkannya lewat dialog:

“Aku tidak akan membunuhnya, tidak bisa. Karena aku mencintainya. Apapun akan kupertaruhakan untuk melindunginya,” tangan kanan Bram menarik pisau dari balik ujung celananya, terselip di dalam sepatu bootnya.
”Kalau begitu, aku akan membunuhnya. Itu perintah boss.”
”Baiklah,” mata Bram menatap mata Deni. ”Seperti tadi sudah aku katakan, apa pun akan aku pertaruhkan untuk melindunginya.” Bram berdiri, memeluk Deni. ”Hidup harus memilih, Sahabat.”
”Akhhh...”
”Harus kita akhiri pekerjaan kotor kita. Aku sudah muak menjadi pembunuh bayaran.”
”Kau...?” Deni mendorong tubuh Bram, tapi tangan Bram menggepit tubuhnya dengan kuat. Deni meraba ulu hatinya. Sebilah pisau menancap. ”Ahhh,” jari-jarinya mencekal rambut Bram, ketika pisau itu mencabik-cabik isi perutnya.
“ Maafkan aku, Sahabat. Dia sudah memberiku banyak pencerahan. Apa yang kita lakukan selama ini salah, dilaknat Allah…”
”Ahh.. .

Itu adalah cerita cerpen ”Sahabat Sejati” yang sedang saya garap. Saya langsung membukanya dengan dialog. Saya ingin membebaskan pembaca, agar berimajinasi lewat dialog-dialog dan deskripsi tokoh ”Bram” dan ”Dedi”. Dari dialog dan deskripsi; gabungan analitik dan dramatik, terasa konflik lebih terbuka dan menjanjikan peluang berimajinasi bagi pembaca. Karakter Bram yang dingin pun terwakili. Pasti cerpen ini nanti akan ada revisi, perbaikan di sana-sini, karena sebuah karya yang baik adalah yang melewati banyak revisi.

Bagaimana? Sekarang berani menulis ‘kan!

***

Rumah Dunia, 28 Jan 2006

*) Dimuat di rubrik “Bengkel Cerpen Annida”, Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda