08 Maret 2010

RUH SEBUAH TULISAN

07 April 2008 - 12:52 (Diposting oleh: Rumah Dunia)

RUH SEBUAH TULISAN

Oleh Nursalam AR

Sahabat, mari kita bicara soal dua karya sastra termasyhur di Indonesia saat ini. Yakni novel Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy konon dicetak ulang hingga lebih tiga puluh kali sejak pertamakali terbit pada 2004. Di layar lebar, filmnya – meski banyak dinilai tak sesuai dengan isi novelnya -- yang digarap Hanung Bramantyo sukses memikat tiga juta orang untuk datang menonton ke bioskop. Belum terhitung yang membeli DVD bajakannya. Sementara Laskar Pelangi karya Andrea Hirata juga tak kalah masyhur. Selain best-seller nasional, dielu-elukan sebagai The Indonesia's Most Powerful Book di berbagai talkshow termasuk di layar kaca, Laskar Pelangi juga akan difilmkan dengan arahan Riri Riza. Sebuah catatan fenomenal mengingat kedua novel itu notabene karya perdana kedua penulis muda tersebut.

Lebih mengagumkan lagi, Laskar Pelangi ditulis oleh Andrea Hirata yang belum pernah membuat sepotong cerpenpun. Tak hanya itu, pemuda asli Belitong yang alumnus S-2 Perancis ini pun melengkapinya dengan tiga novel lain yakni Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov---yang secara keseluruhan merupakan Tetralogi Laskar Pelangi. Habiburrahman yang santri Al Azhar kelahiran Semarang juga membawa gerbong Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2, Pudarnya Cinta Cleopatra, Di Bawah Mihrab Cinta dan beberapa karya best-seller lainnya yang juga bernafaskan religi romantis.

Namun tak ada karya manusia sesempurna kitab suci. Banyak kritik yang datang untuk kedua karya tersebut. Mulai dari tudingan mengeksploitasi cinta atau poligami – seperti yang terkesan ditonjolkan dalam film Ayat-Ayat Cinta – hingga cibiran untuk Laskar Pelangi bahwa keberhasilannya semata-mata karena trik pemasaran yang canggih. Kita pun mafhum bahwa keduanya bukanlah kitab suci yang agung dan tanpa cela. Namun kritik tak proporsional juga ibarat racun. Melemahkan si orang sehat. Dalam hal ini berlaku kebenaran pepatah 'makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa'. Ini keniscayaan hukum alam yang diguratkan Tuhan. Karya sastra sekaliber roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck-nya Hamka atau Belenggu gubahan Armin Pane pada zamannya juga dicap tak enak: picisan, cabul dan cengeng. Tetapi perjalanan waktulah yang menggosok intan agar cemerlang cahaya yang memancar.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, dengan arif, layak kita bertanya mengapa kedua novel karya dua penulis usia 30-an tersebut mampu mengharubiru jagad sastra sekaligus merambah ranah populer publik negeri ini?

Sekian banyak orang bersaksi bahwa Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi mengubah hidup mereka lebih tenang, lebih baik. Seperti halnya karya-karya besar yang membawa perubahan di dunia, sebut saja novel Uncle Tom's Cabin buah karya Harriet Beecher Stowe (1852) yang menginspirasi semangat perubahan terhadap perlakuan rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam atau berwarna di Amerika Serikat, novel-novel tersebut mengandung ruh tulisan yang kuat yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan pembacanya. Sesuatu yang datang dari hati niscaya sampai ke hati.

Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika, wawasan, elan vital (semangat) kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis di sini barangkali hanya sekian persen. Karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru bisa jadi lebih dominan. Di samping juga ia memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity (kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke depan).

Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi --dalam hukum Kekekalan Energi Newton—yang tak dapat musnah namun berubah bentuk. Energi dari sebuah tulisan karena pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata sampailah ke pembaca dalam bentuk inspirasi. Terciptalah keajaiban-keajaiban . Histeria gadis-gadis berjilbab untuk berfoto bersama Kang Abik –panggilan populer Habiburrahman dan berbagai testimoni tentang peningkatan iman para pembaca Muslim, atau tobat totalnya seorang pecandu narkoba setelah membaca karya Andrea Hirata. Merekalah yang hati-hatinya telah tersentuh, tercerahkan.

Hati nurani, demikian nama lengkap hati, menurut Nurcholish Madjid, berasal dari kata bahasa Arab, "nur" yang artinya "cahaya". Hati adalah tempat cahaya bersemayam, yang menerangi kegelapan logika. Sementara ilmu adalah cahaya, yang sejatinya berjodoh di hati. Jika keduanya bercumbu itulah perkawinan kimiawi yang serasi.

Di sisi lain, seseorang dapat menjadi aktivis Marxisme tulen setelah membaca Das Capital-nya Karl Marx. Barangkali dedikasi Marx selama setiap hari dalam 20 tahun berkutat di perpustakaan umum – dengan biaya hidup disokong rekannya, Friedrich Engels – untuk menyusun Das Capital menjadikan energi kemarahannya terhadap kapitalisme dan kemiskinan tersalurkan tuntas dan meradiasi sebagian pembacanya. Inilah yang harus diakui secara fair kebenaran makna pepatah bahasa Arab, man jadda wa jada, siapa berusaha keras maka ia akan memperoleh hasilnya. Siapapun pelakunya.

Di ujung spektrum lain, banyak penulis menimba energi Ilahiah melalui olah kontemplasi kepada Tuhan, Zat Tertinggi, sang causa prima yang menggerakkan semesta sebagai sumber inspirasi. Para ulama, misalnya Sayyid Quthb – dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur'an – terbiasa melakukan sholat tahajud sebelum mulai menulis. Sementara Barbara Cartland, yang populer dengan novel-novel romantisnya, melakukan ritual berdandan sedemikian rupa sebelum menulis. Semata-mata demi memompa kepercayaan diri, menimba energi kepenulisan.

Maka punyailah visi ketika menulis, alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan berjibakulah ketika melahirkan sebuah tulisan. Seperti jihad seorang ibu saat melahirkan anaknya. Karena kita adalah ibu dari 'anak-anak' tulisan kita. Bahkan kita adalah 'tuhan' atas segala tulisan kita. Ingatlah, Tuhan tak pernah lelah mencipta semesta. Itulah energi Ilahiah atau profetik yang semestinya jadi sumur inspirasi sejati agar kita punya stamina dan nafas panjang dalam karir kepenulisan.

Karena apapun caranya, menulis tak beda dengan berolahraga. Ia butuh energi. Jika energi pendorong lemah alhasil yang lahir hanyalah tulisan yang alakadarnya, loyo, dan tidak punya ruh atau soul. Jika ia manusia, tulisan semacam itu hanyalah mayat, yang tak bernyawa. Atau bahkan bangkai. Percayalah, seperti kata Dale Carnegie, no one kick the dead dog. Tidak ada yang peduli dengan bangkai. Sederet karya di atas dipuji sekaligus—ada yang--dicaci- maki karena mereka hidup, bernyawa.

Kampung Melayu, 24-25 Maret 2008
www.nursalam. multiply. com
-"When there's a will there's a way"
Nursalam AR
Translator & Writer
021-91477730
0813-10040723
http://nursalam. multiply. com
YM ID: nursalam_ar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda