09 Mei 2010

Jenny Bangga

JENNY BANGGA SEBAGAI BURUH MIGRANT ASAL BANTEN

04 Mei 2010 jam 6:02
Oleh Gol A Gong

“Tidak ada kata yang dapat kuberikan kecuali doa untukmu. Sahabat, dalam sejarah perjalanan manusia. Itulah kehidupan kita. Diruang kecil itu ada mimpi kita bersama. Jauh di depan sana, pun untuk membaca ruang itu dan mimpi itu kita harus memasuki koridor yang panjang; sarat rintangan namun sarat pula akan beban. Kitapun sering bertemu dengan ruang buntu dan berdebu. Yang kadang membuat kita ragu. Sahabat, bukankah kita pernah terjaga dari mimpi itu? Lalu termangnu dalam hampa. Meninggalkan realita yang sangat jauh dari asa. Sahabat, kadang kita melalui lorong yang sangat luas. Hingga kita bisa melangkah bersama. Namun ada masanya kita melalui lorong yang sempit. Hingga kita terpaksa menapakinya bergantian. Sendirian…!!! Bila kau terjaga dari mimpimu dan kau merasakan keresahan, ingatlah doaku selalu menyertaimu. Dan bila kau terjaga dan merasa kesunyian, ingatlah tawa kita yang selalu menggema di senja itu. Sahabat, semoga Tuhan mengumpulkan kita kembali di jalanNya. Sebagai bagian dari golongan hambaNya yang bertaqwa. Amien. (Catatan kecil dari sahabat TKW, Erna Hendarko, Hsinchu)
***

Ketika aku membaca ”catatan kecil” dari Erna Hendarko kepada Jeny Ervina di atas itu, betapa aku merasakan perjuangan berliku, yang dialami para buruh migran di Taiwan. Aku juga merasakannya di Hongkong, Malaysia, dan Arab Saudi. Aku memiliki beberapa kawan, yang bekerja di negara-negara itu sebagai TKW – tenaga kerja wanita. Aku selalu mendoakan mereka, semoga tidak mendapatkan majikan yang jahat. Aku pernah merasakan langsung, betapa pahit-manis hidup mereka, ketika berada di Malaysia. Malah aku pernah menyaksikan langsung, bagaimana mereka bersembunyi ketakutan di konsulat jendral, lari dari kejaran polisi setempat karena ilegal, dan tulisan di sebuah kamar sumpek yang lebih miriup kandang ayam, ”Kutinggalkan hutang di kampungku, sawah dan sapi pun sudah habis terjual.”

Pada kumpulan 16 cerita pendek ”Gadis Bukan Perawan” (Kumcer GBP) karya jenny Ervina, aku merasakan jerit tangis perempuan Indonesia, yang bekerja sebagai buruh migran di Taiwan, bahkan di seluruh dunia. Kisah ini sudah rahasia umum, terjadi pada hampir setiap buruh migran perempuan Indonesia di seluruh dunia. Mereka membanting tulang mencari nafkah untuk mengubah nasib hidup keluarga. Tapi nasib getir menimpa mereka; diperkosa, dihina, disiksa, bahkan dikhinati suami tercinta. Di Banten, sering aku mendengar kisah pilu seperti ini; TKW pulang dengan perut buncit alias hamil. Bahkan ada yang melahirkan di bandara dan kemudian ditankap polisi, karena bayinya dibuang di pinggir jalan. Kenyatan hidup para buruh migran ni diungkap oleh Jenny Ervina, buruh migran asal kampung Petir, Serang – Banten, yang sudah 2 tahun bekerja sebagai ”care taker” di sebuah keluarga di Taiwan, tidak dengan cara meratap-ratap, tapi juga dengan ceria.

Aku berkenalan dengan Jenny lewat jejaring sosial; Facebook. Jenny mengaku “bangga sebagai orang Banten”. Selalu pertanyaan pertama yang aku lontarkan setiap berkenalan dengan buruh migran, ”Apakah boss-mu baik?” Alhamdulillah, boss Jenny termasuk yang baik.

Lalu Jenny mengirimkan “harta karun”, berupa 16 cerita pendek. Aku terhenyak. Kaget. Dia berasal dari Petir, sekitar 15 kilometer selatan Serang, ibu kota provinsi Banten. Kampung yang tidak memiliki tradisi menulis fiksi. Sebuah kampung yang bisa dikatakan ”terisolir”; jalanan berlubang dan kecil, padahal alternatif bagus menuju Rangkasbitung. Kampung penghasil rambutan, durian, tapi kini generasi mudanya cenderung merapat ke kawasan pabrik di Serang Timur, ketimbang ke perguruan tinggi.
Jenny di Taiwan tinggal di sebuah keluarga, dimana dia mengurusi seorang lelaki tua, yang sudah jompo. Dia mengurusi ”Kakek”, membawa jalan-jalan ke taman, ke dokter dan urusan keseharian lainnya. Boss Jenny sangat mendukung kegiatan menulis Jenny. ”Daripada waktu Jenny diisi dengan hal-hal negatif. Yang penting tidak mengganggu pekerjaan.” Di sela-sela mengurusi ’kakek”, Jenny menulis dan merampungkan Kumcer GBP. Kadang SMS Jeny mebuat saya khawatir, karena saat aku SMS, dia sedang mengurusi ”kakek”. Saya membayankan, boss Jenny memergoki dan sapu atau setrika melyang ke tubuhnya! Alhamdulillah, itu tidak terjadi.

Aku beruntung, mendapatkan anugrah ketika menerbitkan kumcer GBP ini. Gong Publishing tidak sekedar menerbitkan, tapi mengemban hasrat mengenalkan penulis pemula atau penulis lokal ke pasar nasional. Hal idealis lainnya, terkait dengan situasi dan kondisi di Banten, yaitu menggerakkan literasi lokal. Ini bagia dari gerakan kebudayaan ”saatnya otak, bukan otot”.

Di kancah kepenulisdan nasional, Jenny kini tercatat yang pertama menulis dan menerbitkan kumcer sebagai buruh migran asal Indonesia pertama, yang bekerja di Taiwan. Sebelumnya adalah para buruh migran di Forum Lingkar Pena Hongkong. Lewat SMS, Jenny memberi tahu, bahwa dia juga pernah aktif di FLP Bekasi sebelum merantau ke negeri seberang. Kinii, selain menjalani profesi sebagai seorang “care taker” dengan status Buruh Migran Indonesia di Taiwan. Jenny juga mengikuti program belajar mendengar atau “Ting Ke” di National Tsing Hua University dan memilih jurusan sastra China.

Kumcer GBP beredar di toko-toko buku Gramedia dan Tiga Serangkai pada awal Juni 2010. Soft launchingnya pada HARI KEBANGKITAN BUKU di Rumah Dunia, Sabtu 15 Mei, pukul 13.00 WIB. Sayang, Jenny tidak bisa hadir, karena harus mengurusi si kakek tua yang kesepian di Taiwan. Tapi kata Jenny lewat SMS, “Jenny nggak bisa hadir, tapi Jenny akan mengutus Abah. Pasti Abah kaget ketika tahu Jenny menulis buku.”

Semoga hari-hari Jenny di negeri seberang semakin beragam setelah kumcer GBP ini terbit. Dan tentu boos Jenny semakin mendukung, sehingga banyak lagi lahir karya-karya dari Jenny. Insya Allah. (*)

Serang, April 2010
Penerbit
Gol A Gong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda