Membaca tulisan kawan-kawan dari kelompok buruh di Serang ini serasa membaca karya sastra para penerima award penulisan bergengsi di nusantara. Yang membedakan adalah, semua aksara tersebut menghantarkan tuturan buah pengalaman nyata soal pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh sahabat-sahabat kita buruh perempuan.
Sejauh yang saya tahu, dan catatan yang lekat terekam dalam ingatan saya awal tahun 90an saat melakukan pengorganisasian dengan kawan-kawan buruh di Depok dan Tangerang, kesaksian para korban, termasuk didalamnya liputan media maupun artikel tentang perburuhan, menyajikan realitas yang sungguh tak masuk akal. Korban penghamilan di pabrik sering disederhanakan jadi urusan satpam, yang dijadikan sayembara dengan imbalan tertentu agar ada yang mengawini korban. Atau para korban dikumpulkan di balik korden, lalu "peminat" diminta memilih berdasarkan kaki-kaki yang terlihat dari korden yang menggantung.
Belum lagi penggeledahan di gerbang saat keluar masuk. Pemeriksaan menstruasi atau memastikan buruh tidak membawa keluar benda perusahaan, sering dilakukan dengan sangat melecehkan dan penuh kecurigaan, seakan tubuh para buruh ini tak bermilik. Dengan merdekanya satpam laki-laki menggunakan kekuasaannya untuk menggeledah, buruh-buruh perempuan tergagap marah terbekam, perusahaan diam menganggap hal tersebut kelaziman keamanan.
Itu 20 tahun lalu, saat kondisi politik masa orde baru masih sangat menekan, kita harus memasukkan sendal-sendal ke kamar kalau berkumpul untuk diskusi agar hindari pantauan Ketua Rukun Tetangga (RT) yang jadi intelijen kampung untuk mengerem pengorganisasian buruh. Apakah kondisi politik paska reformasi otomatis membuat perubahan bagi buruh? Isu kekerasan seksual atau pelecehan seksual, sering tidak berhubungan dengan membaiknya kondisi politik, karena isu perempuan kerap tidak dianggap senadi dengan demokratisasi atau reformasi. Padahal harusnya ia perjuangan yang sekeping.
Pengertian dan spektrum masalah
Kekerasan seksual bentuknya bisa lebih mudah dipahami. Pengertian umum (definisi) yang sering digunakan : (a) sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis jender, (b) tindakan seksual, atau percobaan untuk mendapatkan tindakan seksual, atau ucapan yang menyasar seksual, atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahanan, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif, atau atas seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya dan (c) tindakan yang bersifat seksual itu tidak terbatas pada serangan fisik kepada tubuh seseorang dan dapat termasuk tindakan-tindakan yang tidak melibatkan penetrasi ataupun kontak fisik
Tetapi pelecehan seksual kerap lebih samar karena salah satu ukurannya adalah tindakan pelecehan tersebut "tidak berkenan atau tidak dikehendaki" oleh si korban. Jadi tindakan fisik, lisan, sikap, isyarat seperti rabaan, siulan, rayuan, mimik atau tatapan yang berkonotasi seksual, bisa masuk katagori pelecehan seksual ketika si korban tidak menghendakinya. Tetapi memang ini menjadi debat teoritik, karena dalam satu kultur patriarkat (budaya yang mengunggulkan laki-laki), tindakan terhadap perempuan lewat siulan, godaan, colekan, dianggap lazim, baik bagi si korban maupun pelaku yang tidak bisa berjarak dari kultur tersebut.
Bahkan si perempuan merasa tersanjung dan laki-lakinya merasa jantan dan ”gaul”. Jadi mengandalkan ukuran dikehendaki atau tidak oleh korban, pada konteks masyarakat tertentu, justru mengaburkan substansi pelecehan seksual, yaitu merendahkan dan menaklukkan dengan kuasa kelelakian.
Untuk itu ukurannya bukan subyektif semata, tetapi justru ukuran martabat kemanusiaan.
......
Perjuangan; "tak takut miskin untuk kedaulatan perempuan"
Hebatnya, cerita kawan-kawan membawa pesan tersendiri, bahwa kendati mereka penyangga keluarga dan tidak punya cadangan hidup, tetapi bagi mereka perjuangan martabat manusia sebagai perempuan harus lebih penting. Mereka tidak takut lapar, tidak takut dipecat, tidak takut miskin. Perjuangan bukan saja untuk mereka, tetapi mereka ingin yang lain tidak mengalami hal serupa.
Proses pembuktian yang tidak rasional dan tidak ramah korban, posisi yang dilemahkan dan akses jaringan vertikal yang tak berbanding dengan pelaku, stigmatisasi dan penyalahan korban; semua dilampaui sebagai perjuangan. Inilah bentuk nyata korban yang jadi pembela. Kita ingat Marsinah, simbol nyata untuk penaklukan gerakan buruh melalui kekerasan seksual. Menyasar seksualitas perempuan dianggap teror strategis, pesan penghancuran kehidupan. Tetapi, gerakan perempuan dan gerakan buruh selalu menghitung satu korban harus ditagih dengan berlipat- lipat suara lantang perjuangan keadilan.
Kita harus berjuang dan bersinergi dengan berbagai pihak agar ada kebijakan nyata soal kekerasan seksual termasuk didalamnya pelecehan seksual yang menganga dalam jengkal-jengkal kehidupan kita. Bahkan anggota legislatif perempuan juga rentan dan ada yang jadi korban. Ini nyata dan mendesak. Tapi kebijakan tidak cukup, karena membongkar isi kepala manusia-manusia sekitar kita, perlu energi dan strategi yang tak kenal titik.
......
Kata Pengantar dari Yuniyanti Chuzaifah (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan)
===============================
Nantikan jadwal terbitnya, di Leutika Prio.
===============================
PARA PENULIS
Aku Hanyalah Korban (Melati Premasita Suci)
Jadi Siapa Bilang Kalau Luka (Dian Nafi)
Ketidakberdayaanku (Faujiah Lingga)
Labirin Luka Suryati (Jaladara)
Demi Sebuah Harga Diri (Miyosi Ariefiansyah)
Kisah Fitri (Ariyanti)
Si Buta yang Tak Berdaya (Dian Prihati)
Bangkitlah Wahai Perempuan (Yuli Riswati)
Bicaralah Perempuan (Nessa Kartika)
Me Vs My Bos, (Selvy Erline S)
Pembantu-pembantu Ibu Yuki (Resti Nurfaidah)
Hak Buruh atas Eksploitasi dan Harga Diri Mereka (Khoirul Walid)
Harga Seorang Wanita (Futicha Turisqoh)
Menjadi Perempuan Hebat (Rosa Listyandari, S.S.)
Diam di Tengah Siksaan (Susanah Sutardjo )
Sesak perempuan Terinjak (Okti Lilis Linawati)
Cerita dari Serang – Banten (Kahar S. Cahyono, Argo P, Sujatmiko, dan Murah Asih)
Puisi-puisi (Abu Gybran)
Puisi-puisi (Assyafa Jelata)
Puisi-puisi (Ana Westy)Lihat Selengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda