Kisah
Pahit Kehidupan:
By:
Puput Happy
Kejadian
itu tak pernah hilang dari ingatanku. Kadang aku ingin membencinya jika
mengingat peristiwa itu. Meski aku dan Ibuku sudah memaafkannya, namun rasa
sakit hati selalu saja mengusik perasaanku.
Waktu
itu aku masih kecil, usia 9 tahun kalau tidak salah. Masih duduk di bangku
kelas III SD. Pagi itu aku disuruh Ibu ke warung. Sebut saja warung Bu Sutarmi
langganan Ibu, yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Ibu hanya berpesan,
“Put,
pagi ini nggak ada lauk buat makan …. Ibu lagi nggak punya uang, gimana ya?
Coba kamu ke warung Bu Sutarmi, bilang saja disuruh Ibu mau hutang kerupuk RP
1000,- saja dan uangnya besok” perintah Ibu.
“Ya,
Bu” jawabku.
Aku
pun menurut saja, karena aku memang selalu patuh dengan perintah Ibu. Ibuku
memang sering tidak memegang uang, karena Bapakku waktu itu marantau ke Jakarta
sebagai buruh di pabrik roti, dan pulang kadang dua bulan sekali. Sebagai
penjahit kecil-kecilan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
terutama menyekolahkan aku dan adik-adikku.
Sedikit
berlari aku pergi ke warung Bu Sutarmi. Sepanjang jalan aku bernyanyi, gembira
seperti biasanya. Sesampai di depan warung Bu Sutarmi, aku langsung berseru:
“Bu
Tarmi, aku disuruh Ibu untuk hutang kerupuk RP 1000,’! Uangnya besok!”
Tapi
aku heran, karena Bu Tarmi tidak menjawab sepatah kata pun. Padahal suaraku
cukup lantang. Karena Bu Tarmi tidak menjawab, kuulangi lagi kata-kataku.
Mungkin saja Bu Tarmi tidak mendengar, makanya tidak menjawab.
“Bu
Tarmi! Aku disuruh Ibu hutang kerupuk Rp 1000,-! Uangnya besok, kata Ibu!”
seruku lebih kencang lagi. Tapi Bu Tarmi tetap saja tidak menjawabnya. Karena
aku kesal, aku pun mengulangi kata-kata yang sama. Mungkin karena Bu Tarmi
nggak tahan dengan seruanku yang semakin lantang, dia menjawabnya dengan ketus,
“Nggak
ada!”
Aku
kaget dengan jawaban Bu Tarmi, sebab aku melihat dengan jelas di depanku
terpajang sekantong plastik besar kerupuk kesukaan kami.
“Loh,
itu ada …. Kok bilangnya nggak ada?” jawabku heran.
Bu
Tarmi tidak menjawabnya, tapi malah masuk ke dalam. Aku dibiarkan saja berdiri
di depan warungnya. Kukira Bu Tarmi mau mengambil sesuatu di dalam, tapi cukup
lama aku menunggunya, dan Bu Tarmi tak kunjung keluar. Kutatap kerupuk itu.
Entah mengapa tiba-tiba hatiku sakit sekali, dan tanpa terasa airmataku meleleh
pelan-pelan.
“Ibu
…. Bu Tarmi bohong, kerupuk itu ada, tapi dia bilangnya nggak ada ….”
Karena
aku terlalu lama berdiri di depan warung Bu Tarmi, aku pun segera beranjak
pulang. Sepanjang jalan aku menangis sesunggukan. Apalagi perutku mulai terasa
perih karena lapar. Tak kuhiraukan orang-orang yang menyapaku dan bertanya,
“Kamu
kenapa, Put? Kok nangis?”
Tapi
aku diam saja. Dadaku sesak, hingga tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Bahkan
airmataku makin deras menetes. Sesampai di rumah, Ibuku malah heran dan
bertanya,
“Loh,
kok nangis? Kerupuknya mana?”
“Kata
Bu Tarmi nggak ada …. Padahal aku ngeliat kerupuk itu ada, bahkan masih banyak
di kantong plastik besar ….” jawabku sambil menangis sesunggukan.
Mendengar
jawabanku, Ibuku malah langsung terisak-isak, bahkan lebih kencang isak
tangisnya dari aku. Ibu tidak menjawab apa-apa, hanya tangisannya saja yang
membuatku semakin tidak tega melihatnya.
Cukup
lama kami larut dalam tangis. Perutku makin melilit-lilit minta diisi.
“Bu,
lapar …. Kita makan apa sekarang? Masak cuma nasi sih?”
“Bu
Tarmi nggak ngasih kita kerupuk mungkin karena kita hutang, nggak langsung
bayar …. Ya sudah, nasinya digoreng saja ya?” jawab Ibu.
“Ya,
Bu ….” jawabku senang. Untung Ibuku pintar, jadi selalu ada jalan untuk bisa
makan. Ibuku memang kreatif, ada saja yang bisa dijadikan lauk untuk makan
keluarga. Segala daun-daunan di pekarangan bisa dimasak, jika nggak ada uang
untuk beli lauk. Dan salutnya lagi, aku dan adik-adikku tidak ada yang protes,
dan sudah terbiasa hidup perihatin hingga kami bisa kuliah dan bekerja.
Aku
bersyukur, karena orangtuaku kini tidak lagi harus jungkir balik untuk
menghidupi kami, karena aku dan adik-adikku sudah mandiri, bahkan kini mereka
bekerja di tempat-tempat bergengsi yang tidak semua orang bisa bekerja di sana.
Kisah pahitnya kehidupan keluargaku di masa lalu kini terbayar sudah. Allah
telah menggantinya dengan rahmat yang berlimpah. Terimakasih, Tuhan …..
Ibu,
andai kau tak setegar itu, mungkin kami tidak bisa menjadi seperti yang
sekarang ini …. Tangismu membuatku mengerti, bahwa kau sedang berjuang.
Keikhlasanmu membuatku sadar, bahwa aku harus belajar banyak darimu. Ku ingin
sepertimu, yang tetap baik pada semua orang meski mereka telah banyak menyakitimu.
Ku ingin tetap sabar sepertimu, meski amukan badai tak henti-hentinya
menerpamu. Belajar darimu membuatku bangga akan tentangmu. Kini ku mengerti,
surga memang berada di bawah telapak kakimu. Terimakasih, Tuhan, karena Kau
telah menganugerahiku Ibu yang baik. Kumohon, satukan kami dalam rahmat-Mu,
amin ….
Kini,
meski waktu telah berlalu hingga bertahun-tahun, rasa sakit hati itu masih
membekas, dan airmata ini tetap setia hadir kala mengingatnya. Saat ku
menyaksikan keberangkatan Bu Sutarmi naik haji, entah mengapa hati dan
pikiranku tiba-tiba menjadi kecut, dan terlontar dalam pikiranku:
“Sebentar
lagi kau menyandang Ibu Hajjah, tapi hingga kini kau belum meminta maaf pada
Ibuku. Apa kau lupa, kau telah membuat hati Ibuku sakit. Demi sesuap nasi untuk
anak-anaknya, Ibu rela berhutang kerupuk padamu, tapi kau membiarkan kami tetap
kelaparan. Apa artinya uang seribu bagimu jika dibandingkan dengan banyaknya
ongkos naik haji. Meski kau sudah menyandang Ibu Hajjah, bagiku kau masih belum
pantas menyandang nama itu. Kau terlalu kikir dan tidak berhati sama sekali.
Apa kau bisa bahagia di tanah suci sementara ada hati yang pernah kausakiti?”
Rabbii,
maafkan hatiku yang susah ‘tuk memaafkannya …..
***
(NB: Sutarmi bukanlah
nama sebenarnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda