24 November 2013

Haruskah Bercerai


13852974042079339981

Saya jadi tercenung dengan curhatan teman. Dia bilang, ini perasaan lama, yang ingin ia ungkapkan, tapi tidak tahu mesti cerita ke siapa. Ia takut dosa, karena ini masalah aib suami, katanya. Ia juga bilang, bahwa sebenarnya sejak kenal aku ia ingin cerita, tapi tidak berani. Selama ini ia hanya mengeluhkan penyakitnya saja yang tidak kunjung sembuh. Sudah 6 tahun ia tidak bisa tidur. Meski sudah ke dokter hingga menjalani  terapi bekam maupun ruqyah, tetap saja tak bisa tidur.

Dia stress berat, depresi yang berkepanjangan. Tiap hari dia hanya berprasangka yang bukan-bukan, bahkan bisa dikatakan ia selalu negative thinking. Sudah kunasihati untuk membuang perasaan buruknya itu, tapi hingga kini masih saja selalu berpikiran buruk. Saya sampai kesal, kenapa dia tak kunjung berubah. Padahal sudah berkali-kali kukatakan, kunci kesembuhan cuma satu: buang pikiran-pikiran buruk!
Saya heran, meski saya sudah berkali-kali mengingatkan untuk berpikiran positif, ia masih saja curhat dengan keluhan-keluhan yang membuatku bosan membaca SMS-nya. Tapi saya berusaha untuk bersabar dan mengerti, karena yang merasakan dia, bukan aku. Mungkin jika dia jadi aku, mungkin akan sama, ingin mencurahkan kegundahan hatinya yang tak kunjung hilang.

Seiring berjalannya waktu, dan mungkin baginya hanya aku yang bisa dijadikan tempat bercerita, aku semakin mencium ketidakberesan dalam rumah tangganya. Setelah kupancing dengan pertanyaan-pertanyaan, barulah aku tahu letak permasalahannya. Penyakit insomnia yang dirasakannya selama ini lebih karena  perasaan tertekannya selama ini. Ia bilang, sudah tiga kali suaminya selingkuh! Dan yang bikin ia marah, teman-temannya di FB cantik-cantik semua! Dan ia ingin bercerai!

Oalah…. Ternyata yang bikin gara-gara tuh teman-teman suaminya di FB toh? Duh, polos banget dia …. Tapi jika ingat kerja suaminya yang jauh di Malaysia sana, menurutku wajar-wajar saja jika dia mencari kesenangan di FB, apalagi kondisinya yang jauh dari istri. Saya tidak bisa menuduh suaminya tidak setia terhadap istri, sebab itu semua perlu bukti.

Yang membuatku tak habis pikir, masak hanya gara-gara dia tertekan karena kecemburuannya itu lantas ia ingin bercerai?? Apa semua masalah akan segera selesai jika jalan yang ditempuh adalah bercerai? Mungkin bagi keduanya (suami atau istri) bisa menjalani  roda kehidupan ini dengan enjoy tanpa beban, meski tanpa pendamping hidup. Tapi, apakah enjoy juga bagi anak? Di mana-mana yang namanya anak ya pasti butuh ayah/ibu kandung selama orangtuanya masih hidup.

Bercerai memang hak setiap orang, tidak ada yang melarang. Toh agama juga membolehkan, meski itu perbuatan halal yang dibenci agama. Menurut saya, jika masih ada cinta, kenapa harus bercerai? Bagaimanapun memiliki cinta lebih baik daripada hidup tanpa cinta. Lain halnya jika sudah tak ada lagi rasa cinta di antara keduanya, keputusan ada pada mereka, dan tentu saja harus melibatkan anak juga.
Berbicara tentang perceraian, banyak hadits yang membahas masalah ini. 

Diriwayatkan oleh Abu Daud r.a.:

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍعَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.

Artinya: Kami (Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”

Menurut al-Asqallani perceraian yang dibenci adalah perceraian yang terjadi karena tidak ada sebab yang jelas. (Fath al-Bari, ibidMenurut al-Khattabi, maksud dibencinya perceraian itu karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan terjadi perceraian tersebut, seperti perlakuan yang buruk dan tidak adanya kecocokan. Jadi yang dibenci bukanlah perceraian itu sendiri, tapi hal lain yang menyebabkan terjadi perceraian. Allah sendiri membolehkan perceraian. Di samping itu, Nabi juga pernah menceraikan beberapa istri beliau, meski ada yang beliau rujuk kembali (Aun al-Ma’bud., loc. cit.)

Paralel dengan perceraian, dalam syariat Islam juga terdapat sesuatu yang halal, tapi dibenci. Hal itu seperti seseorang melaksanakan shalat di rumah, padahal tidak ada alasan yang membuatnya tidak bisa shalat di masjid. Begitu pula seperti melaksanakan jual beli di saat berkumandang azan Jum’at. Di sisi lain, setan memang paling menyukai terjadinya perceraian antara suami istri padahal perceraian merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah (Mirqah al-Mafatih, juz 6, hal. 420)

Menurut Imam Nawawi, perceraian ada empat macam, yaitu wajib, haram, makruh, dan mandub (sunah).

Wajib jika pejabat berwenang telah mengutus dua orang juru damai (hakam) untuk mendamaikan, tapi setelah diupayakan ternyata menurut mereka berdua yang terbaik (maslahat) adalah bercerai, maka perceraian adalah wajib (Syarh an-Nawawi li Sahih Muslim, juz 10, hal. 52)

Makruh jika tidak terjadi masalah dalam rumah tangga, tapi salah satu suami atau istri menuntut cerai tanpa ada sebab yang jelas. Inilah yang dimaksud dengan hadis di atas.

Haram jika (1) istri dalam keadaan haid sedangkan ia tidak menuntut cerai dengan ganti rugi dan tidak ada permintaan untuk diceraikan; (2) istri dalam keadaan suci dan sudah “digauli” oleh suami namun belum jelas apakah istri hamil atau tidak; (3) jika suami memiliki beberapa orang istri yang telah diatur giliran masing-masing; lantas suami menceraikan salah satu istrinya sebelum ia menunaikan giliran untuk istri tersebut.

Mandub jika sang istri tidak bisa menjaga kehormatan dirinya atau salah satu atau dua-duanya merasa tidak bisa menjalankan kewajiban yang telah diatur oleh syara’.

Dalam Umdah al-Qari, diungkapkan perceraian ada dua macam,
Yaitu sunni dan bid’i. Perceraian sunni adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan suci dan selama dalam keadaan suci tersebut, istri tidak pernah disetubuhi oleh suami; serta perceraian itu disaksikan oleh dua orang saksi. Perceraian bid’i adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan haid; atau dalam keadaan suci tapi sudah pernah disetubuhi; atau tidak disaksikan oleh dua orang saksi. (Umdah al-Qari bi Syarh Sahih al-Bukhari, juz 20, hal. 225)
Wallahu a’lam bishshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda