(penulis Perempuan Senja)
dari Poros sastra Orange Jogjakarta
(Sekedar membaca kumpulan puisi Andhika Mappasomba)
Mawar
dan Penjara.
Sebuah puisi dan kisah pun bercerita.
Mawar dan Penjara,
kumpulan puisi yang tidak hanya sekedar puisi yang lahir dari penjara.
Banyak kisah yang menyertainya meski hanya lewat penjara. Lalu apa yang
tabu dari penjara itu sendiri? tak sekedar menampilkan kedirian yang
lahir dari apa yang dipandang sebagai hal yang tabu.
Terlepas
dari sisi mawar sebagai lambang atas perempuan, serta penjara sebagai
tempat pesakitan yang tak lagi menakutkan. kumpulan puisi ini telah
benar-benar mampu menghadirkan tempat yang berbeda. kehadiran buku ini
kemudian menjadi sebuah cerita sendiri tentang sebuah interupsi yang
tak akan pernah berhenti atas apa yang ada. sebuah realitas sosial yang
luka dan semakin sakit .
Puisi Mawar dan Penjara yang ditulis
Andhika Mappasomba di balik jeruji polsekta sembilan makassar dibulan
desember 2002, tak pernah henti diulas. perbincangan ini pun tak hanya
sekedar ulasan. puisi ini kemudian menjadi roh dari setiap seruan
perubahan dan perlawanan terhadap apa yang tak semestinya terjadi.
puisi ini mampu bertahan selama delapan tahun sebagai sebuah roh
perlawanan yang diapresiasi dalam segala bentuk seni. Ditransformasikan
ke dalam seni lukis, teater, dan musik.
selama masih ada tanah berpijak dan air pelepas dahaga
kecuali ada tangan jahil yang datang mencabutnya
tapi yakin saja, walau tercabut akarnya, bekasnya akan tetap ada
hingga suatu hari
ada jari-jari lentik yang datang kembali
menancapkan bunga mawar yang baru
Petikan
puisi ini, menegaskan betapa sebuah keberanian mampu menjadi tanah
berpijak untuk menegakkan kebenaran. lebih lanjut, Andhika Mappasomba
memberikan semiotika yang berbeda terhadap mawar. Mawar yang
dilahirkannya tak lain adalah sebuah idealisme dan harapannya tentang
perubahan yang tak selalu diraih dengan kekerasan walau sesekali mesti
menjadi sebuah jalan perubahan.
Apa yang hendak disampaikan
Andhika dalam kumpulan puisinya ini menjadi karakter yang utuh secara
sadar dalam dirinya. Ia ternyata tak mampu melepaskan diri terhadap
kelembutan itu sendiri sambil mungkin saja menyelipkan sebilah badik di
pingganggnya yang sesekali ditengoknya. menikamkannya pada wajah
keresahan di Republik ini, seperti apa yang baru-baru saja dilakukannya
ketika bertemu Pansus Century ketika bertandang ke makassar.
Mawar
dan Penjara lahir dari kegelisahan yang digerakkan oleh jiwa muda yang
refolusioner. sebab pada masa itu, kekuatan pergerakan menjadikan
andhika selalu turun ke jalan bersama aktivis-aktivis mahasiswa
lainnya, baik sebagai piranti aksi maupun simpatisan. ketika itulah,
kisah mawar dan penjara menjadi semakin kuat dan hidup.
Terlepas
dari puisi-puisi yang telah banyak dituliskannya dengan kisah yang tak
pernah berubah, Andhika Mappasomba tak serupa pesastra lainnya yang
memilih membenamkan dirinya dalam kamar menatap ke jendela pelan-pelan
dengan nanar. Andhika seperti kebanyakan ia disapa adalah seorang
demonstran ulung. Pembaca tulisan-tulisannya adalah massa aksinya yang
diagitasi dengan teks-teks yang sangat revolusioner. Tak hanya itu, hal
sederhana namun tak lazim bagi setiap seniman, adalah skuter tuanya
yang selalu dijulukinya aladin selalu menemaninya bertualang merangkai
kisah-kisah kecil di dunia sastra hingga ke pelosok terpencil republik
ini.
Seperti halnya geliat sastra yang sempat menjaya di
Makassar dengan kelompok-kelompok diskusi yang selalu intens
membincangkan kesusastraan di republik ini, Andhika menjadi penggiat
ulung untuk mengembalikan geliat yang selama ini telah tertidur lelap
lama sekali. Apa yang dilakukannya dalam perjalanan panjangnya ke
setiap dusun-dusun yang mungkin saja tak pernah diketahui dalam peta
menjadikannya mampu membentuk berbagai komunitas sastra di setiap
dusun, memberdayakan pemuda yang memang sebelumnya telah memiliki
potensi bersastra. Kebiasaan uniknya ini pulalah yang selalu
mempertemukannya dengan penggiat-penggiat sastra lainnya.
Apa
yang melanda dunia kesuastraan kita menjadi tak lagi mengaung dan
bermimpi hingga tak pernah terbangun lagi dan menampakkan taringnya
lagi menjadi kisah tersendiri bagi Andhika. ruang-ruang diskusi yang
berusaha dibangunkannya kembali menjadi efek tersendiri bagi
perkembangan dunia kesusastraan kita. Kisah penyair rombeng yang
diungkapkannya dalam salah satu puisi pada kumpulan puisinya, Mawar dan
Penjara seolah menegaskan dirinya yang sederhana dan biasa-biasa saja
namun menjadikan ia sebagai penyair yang betul-betul berbeda dari
penyair lainnya yang di republik ini. Jika WS. Rendra dijuluki sebagai
burung merak, maka tak salah jika ia menjadi icon dalam puisinya
sendiri. Jika kelak kau bertemu dengan seorang lelaki di tengah
perjalan panjangnya dengan skuter tua dan setangkai mawar serta khas
topi rimba warna hijaunya yang tak pernah bersih, maka ialah andhika
mappasomba seorang penyair yang tak ingin dijuluki siapa-siapa.
Sebelumnya,
puisi ini pula pernah diterbitka bersama dalam kumpulan puisi dan
cerpen ingin ku kencingi mulut monalisa yang tersenyum pada tahun 2004
bersama Anis K. Al-Asyari. lalu apa yang menjadikan Mawar dan Penjara
menjadi semakin mengaung? Teks-teks yang membangunnya memang sederhana,
namun seperti apa yang menjadi kekuatan setiap puisi adalah
metaforanya, maka puisi Mawar dan Penjara juga memiliki kekuatan
metafora yang dalam dan tajam.
Maka pantaslah kiranya jika kumpulan puisi Mawar dan Penjara ini
menjadi incaran pembaca sastra masa kini.